NUKILAN.id | Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk memperpanjang Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Sangat disayangkan bahwa Komnas HAM aktif dalam mendorong penyelesaian non-yudisial namun malah bungkam dan pasif dalam mendorong penyelesaian secara yudisial yang sejak lama mengalami kemacetan setelah hasil penyelidikan diberikan kepada Kejaksaan Agung. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 75 Undang-Undang (UU) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
Dari seluruh pihak yang menangani dan mengurusi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, harusnya Komnas HAM adalah pihak yang paling memahami urgensi dari penyelesaian secara yudisial yang substantif dan mendorong akses keadilan sebagai salah satu muatan dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Selain itu, Tim PPHAM yang telah dibentuk serta implementasi pelaksanaan rekomendasinya pun bukan tanpa masalah. Mulai dari dasar hukum, tupoksi, komposisi tim yang berisi setidaknya dua sosok bermasalah, tidak munculnya kewajiban menuntut pertanggungjawaban para pelaku, hingga pertanyaan seputar efektivitas dan mekanisme kerja yang patut dipertanyakan sebab berlangsung hanya dalam hitungan bulan.
Begitupun dengan masa kerja Tim Pemantau PPHAM yang ditetapkan hanya berlangsung sampai 31 Desember 2023 oleh Keppres No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Lebih lanjut, sampai masa kerja berakhir, belum ada kanal ataupun mekanisme resmi dari pemerintah yang menyediakan akses terhadap Laporan Tim PPHAM secara utuh.
KontraS juga mencatat proses pendistribusian pemulihan yang bersifat materialistik masih dilakukan dengan cara serampangan, seperti adanya data yang tidak sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, pendistribusian yang tidak merata, dan pemberian kesaksian korban tidak yang sesuai standar yang layak, mulai dari pernyataan kerahasiaan (confidential informed consent) secara tertulis hingga kesiapan tim terhadap reaksi traumatik atau psikologis korban.
Pernyataan pengakuan Presiden Joko Widodo atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat pada 11 Januari 2023 silam rupanya tidak mampu menjadi pengingat bagi Komnas HAM untuk aktif berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam mendorong penyelesaian secara yudisial sesuai dengan mandat dan tanggung jawab moral lembaga.
“Respon Komnas HAM tentu sangat disayangkan, mengingat selain hak pemulihan bagi korban yang sangat penting sebagai bagian pertanggungjawaban negara, namun akses terhadap kebenaran dan keadilan bagi para korban dan keluarga korban menjadi juga tidak dapat dinegasikan. Komnas HAM juga harus terus aktif mendorong mekanisme hukum dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia,” ujar Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS.
Temuan tulang belulang yang diduga kuat merupakan tulang dari para korban pembunuhan dalam kasus Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998), merupakan barang bukti untuk melanjutkan proses hukum hingga ke tahap Pengadilan HAM ad hoc. Akan tetapi, Komnas HAM tidak melakukan upaya apapun termasuk mendorong Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan pro justitia oleh Komnas HAM terhadap kasus Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998).
Komnas HAM justru membiarkan pembangunan living park di lokasi reruntuhan Rumoh Geudong sekaligus lokasi penemuan tulang belulang tersebut. Hal ini merupakan sikap yang buruk dalam penyelesaian secara yudisial karena berpotensi merusak barang bukti atau obstruction of justice.
“Dengan demikian, KontraS mendesak Komnas HAM aktif berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mendorong penyelesaian secara yudisial dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat demi terwujudnya kondisi yang kondusif bagi penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia serta memelihara kepatuhan terhadap sistem hukum yang ada sebagai jaminan atas kepastian hukum bagi para korban dan terduga pelaku,” ujar Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS.
KontraS juga mendesak Presiden RI dan jajarannya untuk tidak mengabaikan dan melupakan kewajiban dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat sesuai dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000 dan standar HAM internasional demi terpenuhinya hak-hak korban secara menyeluruh dan mencegah kultur impunitas terus berulang di Indonesia.
Editor: Akil Rahmatillah