Nukilan.id – Situs sejarah yang kaya di beberapa Gampong (Desa/kelurahan) dalam kota Banda Aceh yang sarat dengan berbagai peninggalan benda-benda kuno tidak diragukan lagi merupakan sebuah warisan yang sangat mahal harganya. Gampong Pande misalnya, adalah tempat pertama dimana kota Banda Aceh hari ini berada telah didirikan sejak tahun 1205 M. seabagaimana diketahui kota Banda Aceh sendiri pada tanggal 16 April 2020 yang lalu telah genap berusia 815 tahun. Sebuah usia yang sangat tua untuk sebuah kota provinsi, bahkan lebih tua dari Ibukota Nasional Indonesia Jakarta yang baru berusia 493 tahun pada juni 2020 yang lalu. Situs peninggalan yang sangat banyak tersebar di berbagai sudut kota Banda Aceh seharusnya bisa menjadi warisan nasional bahkan dunia melayu Islam.
Baca juga: Peduli Situs, MAA Banda Aceh Ziarah ke Makam Ulama di Gampong Pande
Mehmet Özay seorang Ilmuwan Turki dalam sebuah tulisannya yang sangat panjang menyampaikan beberapa pendapatnya tentang pentingnya menjaga kawasan warisan budaya tersebut yang dimuat oleh Dunyabulteni.net, Ia menyampaikan sangatlah penting untuk melindungi kota dan wilayah, dimana Banda Aceh hari ini yang menerapkan kebijakan Wisata Islami juga harusnya mampu menjaga warisan sejarah kota melalui kebijakan islamisasi kota dengan melibatkan lembaga-lembaga yang mapan, seabagaimana dahulu kala sejak abad ke 11 Aceh telah dikenal sebagai subjek dalam perdagangan dan hubungan regional maupun internasional.
Buku Kesultanan Aceh Darussalam (Açe Sultanlığı ) yang di tulis oleh Mehmet Özay yang dipublikasikan Oleh Universitas Muhammad Al-fatih, Istanbul, 2018.
Menurut Özay , Berdirinya pemukiman di kawasan di kawasan barat laut di pintu keluar Selat Malaka juga menjadi bukti keterkaitannya dengan dunia luar, terutama melalui dunia Melayu dan Teluk Benggala serta Samudera Hindia.
Baca juga: Peusaba Minta Pemerintah Pusat Lindungi Situs Sejarah Aceh
Mengikuti perkembangan situs yang berpusat di Banda Aceh pada tahap-tahap awal sejarah dan periode selanjutnya, Pande menjadi lokasi yang berafiliasi dengan kawasan istana di Kesultanan Aceh Darussalam yang didirikan pada tahun 1510-an. Dalam hal ini, fakta bahwa Kampung Pande telah menjadi wilayah yang menjadi pusat keluarga dinasti dan kuburan para guru terkemuka yang bisa kita lihat sampai hari ini.
Gampong Pande dinamakan karena pada masanya merupakan tempat penempaan alat-alat pandai besi dan alat-alat perang lainnya, merujuk pada kata “pande” berarti adalah kawasan yang sarat akan “kepandaian” atau “keahlian” atau “muhendis” dalam bahasa Turkinya. Pande juga berarti “perak” sejenis logam yang sering digunakan oleh para ahli untuk membuat peralatan perang dan permesinan dan karena itulah kawasan ini, menurut Ozay menonjol dengan keahliannya dalam sejarah Aceh.
Baca juga: Temuan Situs Makam Raja dan Ulama Besar Aceh di Gerbang Tol Kajhu
Tidak hanya Gampong Pande, kampung-kampung lainnya seperti pemukiman gampong Bitay, Eumpeorum, Peulanggahan, dan gampong Jawa, telah dianggap sebagai wilayah perdagangan di wilayah tersebut dan menampung berbagai masyarakat yang datang dan menetap di wilayah itu melalui Selat Malaka, hingga hari ini telah meninggalkan fitur yang lengkap dan unik sejak ratusan tahun yang lalu.
Sebelum dimulainya ekspedisi kapal uap dari Singapura dan Kepulauan Penang pada abad ke-19, wilayah Kampung Jawa yang berbatasan dengan Pande merupakan titik keluar masuknya jamaah haji dari berbagai bagian Pulau Jawa dan Sumatera menuju Tanah Suci.
Ada beberapa pendekatan terkait hubungan Pande dengan kelompok yang diketahui datang ke sini dari Kekhalifahan Ottoman menjelang akhir abad ke-16. Kisah ini terdapat dalam sumber-sumber yang otentik dari manuskrip yang bisa kita temukan dalam arsip nasional Turki maupun kantor arsip Prov. Aceh.
Hal ini juga sering diceritakan sedemikian rupa tentang bagaimana proses beberapa kelompok yang berasal dari berbagai negeri datang dan menetap di Kampung Bitay juga di kawasan tetangga Emperoum dan Kampung Pande karena berbagai alasan seiring waktu.
Oleh karenanya Mehmet Özay dalam opini yang disampaikan di dalam bahasa Turki tersebut, merespon beberapa tulisan dan advokasi yang disampaikan melalui rilis yang disampaikan oleh Ketua Peusaba Mawardi, Ia menyayangkan kebijakan yang terkesan acuh dan terkesan menelantarkan kawasan peninggalan sejarah di Kampung Pande yang seharusnya dilindungi.
Membangun proyek perluasan penimbunan sampah di kawasan tempat bersejarah adalah sebuah bentuk “pengabaian terhadap sejarah” yang seharusnya dipelihara dengan baik dengan cara memprioritaskan perlindungan aset sejarah dan peradaban dalam masyarakat Aceh apalagi Aceh dikenal sebagai masyarakat yang mengedepankan aspek Islam di atas segalanya, Sungguh sangat menyedihkan jika Pemerintah tidak menemukan tempat lain yang lebih “layak” sehingga harus mengorbankan situs budaya yang mahal untuk sebuah urusan sampah dan kebersihan.
Ia menegaskan bahwa pembangunan pusat pengumpulan sampah di komplek Kampung Pande ini akan merusak lingkungan dan tekstur sejarah wilayah tersebut. Oleh karena itu, inisiatif ini harus dievaluasi karena akan dinilai sebagai pengkhianatan terhadap aset sejarah dan budaya.
Menemukan (lagi) Nilai-nilai yang sempat Hilang.
Özay yang telah meneliti tentang sejarah Aceh selama 10 tahun dan telah menerbitkannya dalam sebuah buku tentang “Kesultanan Aceh Darussalam” ke dalam bahasa Turki ini, juga sangat berharap agar adanya upaya bersama di Aceh baik dari individu, lembaga, dan pemerintah yang bekerja sama dalam menjaga warisan produk sejarah, budaya dan peradaban Aceh dengan melibatkan akademisi, peneliti, kolektor, relawan, dan lembaga swadaya masyarakat.
Data-data yang ditemukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat Aceh, yaitu MAPESA/Masyarakat Peduli Sejarah Aceh telah menjelaskan sejarah wilayah itu tidak terbatas pada batu nisan saja. Sebagaimana studi arkeologi bawah air dan permukaan yang dilakukan di berbagai wilayah Asia Tenggara mengungkap keberadaan budaya dan peradaban terkait, Kampung Pande merupakan wilayah kandidat untuk mengungkap rahasia masa lalu yang tersembunyi dengan penelitian-penelitian yang mereka lakukan.
Wilayah semenanjung yang menghadap ke Selat Malaka ini, ketika masa Kesultanan Aceh pada periode klasik telah menjadi kerajaan besar dengan pusat kerajaannya tepat berada di ujung Sumatra yang menghadap ke Samudera Hindia, sementara pada saat yang sama peran pelabuhan di sebelahnya telah menjadi pusat maritim dan perdagangan internasional yang sangat penting, bahkan tercatat pada abad ke-16 Pelabuhan Aceh adalah pelabuhan tersibuk di kawasannya.
Tidak jarang sesekali terjadinya perang dan aktivitas pembajakan, dikarenakan banyak kepentingan yang menginginkan untuk menguasai wilayah kaya rempah ini. Oleh karenanya Ozay, lagi-lagi mengungkapkan pentingnya arkeologi bawah air dan wilayah permukaan tanah untuk melihat betapa besarnya pengaruh Aceh pada masanya.
Bahkan dalam survei yang dilakukan oleh para arkeolog Perancis dan Jerman yang datang ke wilayah tersebut setelah Tsunami, data yang akan menjelaskan kekayaan hubungan komersial wilayah tersebut di masa lalu telah diperoleh. Setidaknya kita bisa menerka hal itu dari penemuan dirham emas yang muncul di wilayah tersebut dari waktu ke waktu selama musim hujan, yang mendapatkan curah hujan tinggi setelah Tsunami, adalah sebuah data yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Terlepas dari konteks alamiah ini, Ia menilai adalah kerugian besar jika tidak ada studi arkeologi bawah air dan permukaan yang komprehensif yang dilakukan di Kampung Pande. Selain itu, transformasi kawasan tersebut menjadi pusat berkumpulnya imigrasi bisa mencegah akses penelitian purbakala oleh para ahli terhadap konstruksi dan tekstur historis serta kemungkinan akses penelitian terhadap data bawah tanah dan bawah air.[bidikindonesia.com]
Baca juga: Sepenggal Sejarah Peralihan Hindu-Islam di Aceh