Nukilan.id – Presiden Joko Widodo meminta DPR RI segera merampungkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset. Hal ini disampaikan Jokowi menanggapi langkah DPR yang dengan cepat membatalkan RUU Pilkada usai dikritik oleh masyarakat dengan aksi demonstrasi besar-besaran untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengusungan pasangan calon (paslon) dalam Pilkada sejak Kamis (22/8/2024) lalu.
“Respons yang cepat adalah hal yang baik, sangat baik dan harapan itu juga bisa diterapkan untuk hal-hal yang lain juga, yang mendesak. Misalnya seperti RUU Perampasan Aset,” ujar Jokowi dalam keterangannya yang dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (27/8/2024).
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPR RI, Puan Maharani mengatakan bahwa setiap pembahasan RUU haruslah memenuhi persyaratan yang ada. Ia juga mempertanyakan balik terkait harapan Jokowi agar RUU Perampasan Aset segera dirampungkan apakah akan menjadi lebih baik atau tidak.
“Yang pasti setiap pembahasan undang-undang itu harus memenuhi persyaratan yang ada. Apakah dipercepat akan menjadi lebih baik? Itu tolong tanyakan (ke Jokowi),” kata Puan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, dilansir Detik, Kamis (29/8/2024).
Puan menambahkan pihaknya harus melihat waktu lagi untuk mengesahkan RUU tersebut. DPR, sambung Puan, saat ini sedang fokus menyelesaikan hal-hal penting lain sebelum berakhirnya masa jabatan mereka.
Pengamat politik Jannus TH Siahaan mengatakan sebenarnya Presiden Jokowi juga tidak terlalu serius dalam mendorong penyelesaian RUU Perampasan Aset. Isu itu, kata Jannus disampaikan Jokowi bukan hanya untuk menyudutkan DPR saja, tapi kabarnya juga digunakan untuk menyudutkan massa yang dituduh tidak melakukan aksi demonstrasi serupa untuk kasus ini.
“Kali ini, aspirasi RUU ini kembali dinaikkan pihak Istana karena tempo hari DPR gagal meneruskan upaya untuk mengubah beberapa pasal di dalam putusan MK yang menggagalkan Kaesang Pangarep untuk maju di Pilkada,” ujar Jannus dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/8/2024).
Sementara peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyebutkan bahwa sikap DPR yang tidak mau merampungkan RUU Perampasan Aset ini merupakan upaya tebang pilih. Ia menyoroti sikap DPR saat melakukan proses revisi UU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), UU TNI, dan UU Polri. Serta yang teranyar terkait dengan revisi UU Pilkada di mana DPR hanya membutuhkan waktu dua hari untuk merencanakan hingga membahas revisi sebelum memasuki pembicaraan tingkat II di hari ketiga.
“Perbedaan perlakuan DPR atas rencana pembahasan dan penyelesaian RUU-RUU di atas menunjukkan cara DPR memandang prioritas. Dan kita bisa menyimpulkan dari perlakuan mereka yang tebang pilih itu,” ujar Lucius Karus dikutip Kompas, Jumat (30/8/2024).
Pakar hukum Universitas Airlangga (Unair), Hardujo Wiwoho menilai RUU Perampasan Aset merupakan produk hukum yang sangat penting untuk memerangi korupsi di Indonesia. Hardujo menjelaskan perampasan aset adalah mekanisme yang sangat diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kekayaan hasil tindak pidana.
“Langkah Presiden Jokowi untuk mendorong DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset adalah sebuah keharusan dalam upaya kita memerangi korupsi secara sistematis,” kata Hardjuno dalam keterangannya, Rabu (28/8/2024).
Disusun Sejak 2008
RUU Perampasan Aset bersumber dari hasil konvensi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasinya pada 18 April 2006 silam. Pada 2008, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menginisiasi perancangan draft tersebut dengan mengadopsi hasil konvensi UNCAC menjadi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATD). Aturan ini diharapkan menjadi upaya untuk mengembalikan kerugian negara karena berbagai tindak pidana terutama korupsi, terorisme, narkotika, dan kejahatan lainnya.
RUU ini mengatur pengelolaan aset dari sembilan jenis kegiatan, yaitu penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian aset.
Terkait dengan aset tindak pidana rampasan, dalam RUU ini disebutkan batasannya. Aset yang dirampas oleh negara adalah aset dengan nilai Rp100 juta ke atas dan aset yang berkaitan dengan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 4 tahun atau lebih.
“Upaya efektif untuk menumpas kejahatan dengan motif ekonomi adalah dengan merampas aset yang dapat menghidupi kejahatan tersebut menggunakan instrumen hukum yang disahkan dalam undang-undang yaitu dengan menggunakan RUU Perampasan Aset,’’ ujar Kepala PPATK, Ivan Yustivandana dalam keterangannya, Kamis (25/11/2021).
Namun, RUU ini baru berhasil masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2023. Presiden Jokowi kemudian mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR bernomor R22/Pres/05/2023 yang dikirim tanggal 4 Mei 2023, namun hingga kini belum ada pembahasannya.
“Hal ini patut dikritisi, terutama jika melihat bagaimana peliknya upaya pemulihan kerugian negara di lapangan. Sebagai contoh, kerugian keuangan negara yang timbul dari tindak pidana korupsi di tahun 2022 saja mencapai angka Rp48,786 triliun dengan tingkat pengembalian kerugian melalui pidana tambahan uang pengganti hanya sebesar 7,83 persen dari total kerugian negara atau setara Rp3,821 triliun,” tulis peneliti hukum ICW, Lalola Easter dalam Tajuk Rencana ICW, Kamis (26/10/2023).
Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto dalam rapat dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yang saat itu masih dijabat oleh Mahfud MD mengatakan bahwa semua anggota DPR patuh pada “bos” atau ketum partai mereka masing-masing.
Jika ketum partai mereka menyetujui, sambung Bambang, maka RUU tersebut bisa disahkan. Karena itu, dia meminta pemerintah untuk melobi para ketum partai.
“Republik di sini gampang masalahnya. Lobinya jangan di sini. Ini semua nurut bosnya masing-masing,” kata Bambang dalam rapat di Komisi III DPR, Jakarta, dilansir CNN Indonesia, Rabu (29/3/2023). Belakangan, Bambang mengaku pernyataan tersebut hanyalah gurauan.
Menkopolhukam saat itu, Mahfud MD juga menyebutkan adanya dugaan transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan. Hal ini membuat RUU Perampasan Aset kembali disorot publik. Selain itu, kasus dugaan korupsi yang menyeret eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo semakin menguatkan kemarahan publik. Rafael kemudian divonis 14 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Lalu pada Rabu (29/3/2023), Mahfud MD mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya sudah mengetahui dan memiliki data intelijen terkait dengan pencucian uang. Mahfud MD bahkan menyebutkan ada data aliran uang tak wajar yang melibatkan berbagai instansi pemerintah yang mencapai Rp1.492 triliun.
Dua Sisi RUU Perampasan Aset
Di satu sisi, RUU Perampasan Aset diperlukan untuk menyelamatkan uang negara dari tindak kejahatan, terutama bagi pejabat yang tidak bisa membuktikan asal-usul kekayaannya. Namun di sisi yang lain, aturan ini juga bakal rawan disalahgunakan oleh penguasa demi kepentingan pribadinya.
UU ini nantinya memungkinkan pemerintah untuk menyita aset hasil kejahatan seseorang tanpa proses pengadilan dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi. Namun demikian, UU ini juga bakal membuka konflik kepentingan elite yang sangat besar. Negara akan mendapatkan legitimasi untuk bertindak sewenang-wenang dalam merampas aset seseorang. Dua sisi inilah yang menjadi wajah RUU Perampasan Aset.
“Di satu sisi ia akan menopang pemberantasan korupsi, di sisi yang lain ia bisa menjadi alat negara buat melanggar hak-hak privasi yang menghambat demokrasi. Sisi buruk Undang-undang Perampasan Aset akan makin tajam ketika politik dan hukum dikuasai oligarki, seperti yang terjadi saat ini,” tulis redaksi Tempo dalam editorialnya, Minggu (9/4/2023).
Karena itu, menurut pakar hukum TPPU, Yenti Garnasih, aturan ini harus dibarengi dengan integritas penegak hukum. Karena bagaimanapun, RUU ini penting untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara. Namun tanpa integritas dari para penegak hukum sendiri, maka RUU Perampasan Aset akan menjadi bumerang.
“Meskipun nanti ada asset recovery (pemulihan asset), itu masih berkaitan dengan bagaimana integritas dan profesionalitas mereka (penegak hukum),” sebut Yenti dilansir detikX, Kamis (6/4/2023). ***
Reporter: Sammy