Nukilan.id – Dewan Pimpinan Pusat Partai Nanggroe Aceh (DPP PNA) Versi Kongres Luar Biasa (KLB) Bireun menanggapi surat penolakan dari Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenkumham Aceh, perihal Permohonan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan Kepengurusan Partai Nanggroe Aceh.
Hal ini tercantum dalam surat dengan nomor, W.1.AH.11-03.877 pada (6/12/2021), yang menolak usulan permohonan DPP PNA hasil KLB Bireun.
Ketua Umum DPP PNA Versi KLB Bireun, Samsul Bahri alias Tiyong mengatakan, Kanwil Kemenkumham Aceh baru membentuk Tim Penelitian dan Verifikasi Berkas pada (14/4/2021) atau 19 bulan sejak permohonan dan dokumen persyaratan diajukan yaitu pada 23 September 2019 dengan surat bernomor : 455/DPP-PNA/IX/2019.
Padahal dalam Permenkumham Nomor 34 tahun 2017 pasal 15 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemeriksaan dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak dokumen persyaratan diterima.
“Atas fakta tersebut kami mempertanyakan profesionalitas pihak Kanwil Kemenkumham Aceh dalam melaksanakan tugas administratif pemeriksaan atau verifikasi terhadap dokumen permohonan AD/ART dan Kepengurusan yang kami ajukan. Atas fakta tersebut patut diduga pihak Kanwil Kemenkumham Aceh tidak taat dan telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Tiyong dalam keterangan tertulisnya kepada Nukilan.id Jum’at (17/12/2021).
Dijelaskan, berdasarkan materi surat yang diterima dari Kakanwil Kemenkumham Aceh dapat dipastikan beberapa alasan yang dijadikan argumentasi penolakan terutama terhadap hasil penelitian dan verifikasi dokumen faktual DPP PNA Versi KLB diragukan prosesnya.
“Dan berdasarkan fakta merujuk pada AD/ART PNA jumlah peserta yang hadir dan menghadiri langsung acara KLB sebanyak 681 orang dengan melibatkan partispasi dari unsur Majelis Tinggi Partai (MTP), Dewan Penasehat Pusat, Komisi Pengawas Partai, Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), dan Dewan Pimpinan Kecamatan (DPK),” jelas Tiyong.
Oleh karena itu, kata dia, jika merujuk pada argumentasi proses kehadiran dalam KLB dapat dipastikan jumlah peserta sesuai dengan Anggaran Dasar PNA Pasal 65 ayat (2) yaitu Kuorum keabsahan Kongres, Konferensi, Musyawarah, dan rapat dihadiri oleh sekurang kurangnya ½ (satu per dua) tambah satu dari jumlah peserta yang memiliki hak suara.
“Sehingga memenuhi kuorum dalam pengambilan keputusan yang dapat dibuktikan dari jumlah DPW yang dihadiri lengkap adalah sebanyak 14 DPW dari 21 DPW yang hadir dan bukan 5 DPW sebagaimana argumentasi dalam surat Kanwil Kemenkumham Aceh,” jelas Tiyong.
Menurutnya, berdasarkan kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Kanwil Kemenkumham Aceh tidak melakukan proses penelitian dan verifikasi dokumen tersebut secara benar dan tepat sebagaimana amanah perundang undangan yang berlaku.
“Fakta ini menunjukkan bahwa pihak Kemenkumham Aceh tidak melakukan klarifikasi langsung terhadap peserta yang hadir dalam KLB terutama dari unsur pengurus DPW,” ungkap Tiyong.
Ia menjelaskan, pada saat KLB tahun 2019 dilaksanakan, beberapa pengurus DPP PNA berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kakanwil Kemenkumham Nomor : W1-675.AH.11.01 tahun 2017 tercatat telah secara resmi mengundurkan diri dari kepengurusan dan keanggotaan Partai Nanggroe Aceh diantaranya, Lukman Age (Bendahara Umum), Abdul Manan (Ketua VII), Munawarliza Zainal (Anggota Mahkamah Partai) sejak awal tahun 2018.
“Ketiganya mengundurkan diri dengan alasan ingin bekerja pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS) dengan jabatan masing-masing sebagai Kepala Perwakilan BPKS Banda Aceh, Deputi Umum dan Dewan Pengawas,” ujarnya.
Selain itu, kata Tiyong, pengunduran diri mereka dari PNA disebabkan oleh adanya larangan pengurus partai menjadi pejabat dilingkungan BPKS. Sehingga mereka tidak lagi terlibat dalam berbagai kegiatan Partai PNA dan karenanya mereka tidak dibenarkan hadir dalam Forum KLB.
“Jika menggunakan logika Kakanwil Kemenkumham Aceh yang masih merujuk nama-nama pengurus DPP PNA harus sesuai dengan SK tahun 2017 tersebut, maka mereka bertiga telah melakukan perbuatan melawan hukum, dimana mereka telah bekerja dan menerima gaji dari BPKS pada saat mereka masih tercatat sebagai pengurus DPP PNA,” kata Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) itu.
Akibatnya, lanjut Tiyong, selain melanggar peraturan perundang-undangan juga telah menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara. Selain mereka bertiga, banyak lagi pengurus DPP PNA lainnya yang telah mengundurkan diri. Bahkan Ada diantara mereka yang menjadi Anggota DPR Aceh hasil Pemilu 2019 dari partai lain.
Ia menilai, Kanwil Kemenkumham Aceh dengan serta merta telah menuduh adanya pengurus DPW PNA yang hadir tidak identik tandatangannya dengan tanda tangan asli merupakan tuduhan yang diragukan kebenarannya. Opini yang digiring pada upaya pemalsuan dokumen ini telah mendiskreditkan dan mengarah pada pencemaran nama baik para peserta KLB.
“Padahal kehadiran mereka dapat dibuktikan daftar hadir maupun dokumentasi video maupun foto. Karena itu DPP PNA mempertanyakan dasar argumentasi ini dan jika tidak dapat dibuktikan maka kami akan melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum,” paparnya.
“Kami menduga, adanya unsur politis dalam narasi surat Kanwil Kemenkumham Aceh terkait penilaian keabsahan dan kesesuaian AD/ART PNA dengan dokumen persyaratan yang kami ajukan” tambah Tiyong.
Oleh karena itu, Tiyong menilai bahwa pihak Kanwil Kemenkumham Aceh terkesan memposisikan diri sebagai lembaga peradilan, padahal mereka hanya memiliki kewenangan administratif. Kanwil Kemenkumham Aceh juga telah mengabaikan Putusan MA yang telah menolak gugatan dari saudara Irwandi Yusuf terkait keabsahan KLB.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, kata dia, dapat disimpulkan bahwa Kanwil Kemenkumham Aceh telah melakukan pelanggaran dengan tidak melakukan proses penelitian dan verifikasi faktual dokumen permohonan dan persayaratan yang kami ajukan secara benar, tepat, disiplin dan taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Karena itu, DPP PNA akan melakukan upaya hukum terhadap pihak Kanwil Kemenkumham Aceh agar dapat terungkap fakta yang sebenarnya, terpenuhinya rasa keadilan dan kepastian hukum serta ketaatan pada setiap regulasi dan konstitusi,” tutup Tiyong.[]