Nukilan.id – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Samsul Bahri Alias Tiyong mengatakan, Bendera Bulan Bintang Bukan untuk Lambang Kemerdekaan Aceh Tapi untjk lambang Kekhususan Aceh.
Hal ini interupsi Tiyong pada Ketua DPR Aceh Dahlan Jamludin saat pembahasan Paripurna Qanun Aceh Pogram Legislasi Aceh Tahun 2021 di Aula gedung Paripurna DPRA Banda Aceh, Senin (27/12/2021).
“Bukan berarti Bulan Bintang Lambang Kemerdekaan Aceh tapi itu adalah lambang Kekhususan Aceh dalam Bingkai NKRI,” kata Tiyong.
Ketika berbicara NKRI disitu lah kita tidak lahir Makar, dan produk hukum ini sudah di lembarkan dalam lembaran daerah dan menjadi Hukum Qanun di Aceh,” sebutnya.
Tiyong menjelaskan, di Tahun 2006 Lahir Undang- undang Nomor 11 tahun 2006 disitu mengatur tentang hak-hak istimewa Aceh, salah satu pasal yang mengatur adalah pasal 246 ayat 2 selain Bendera Merah Putih Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan Bendera Daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan Kekhususan Aceh.
Pada Ayat 3 Bendera Aceh sebagaimana lambang yang di maksut pada ayat 2 bukan simbol Kedaulatan Aceh tetapi simbol Kekhususan Aceh.
“Kita semua sudah sepakat dengan lahirnya MoU Helsinky bahwa Aceh dalam bingkai NKRI. Dulu kita sudah sepakat disitu, tidak ada lagi kilafiah dan tidak ada lagi pemberontakan yang ada ialah baikan yang sudah masuk dalam masyarakat,” ucapnya.
Lanjutnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang membangun perdamaian dalam bingkai NKRI menciptakan kedamaian, menciptakan kenyamanan dan masyarakat tetap dalam bingkai NKRI.
Qanun Aceh adalah turunan dari pada Undang-undang atau peraturan daerah yang punya kekhususan di Aceh yaitu qanun. Ketika persoalan Qanun di batalkan pasti ada mekanismenya.
Jadi, Qanun Aceh yang sudah di sepakati bersama, disahkan bersama dan di Undangkan menjadi Lembaran Daerah dan rakyat menjalankan qanun tesebut seperti menaikan bendera, itu adalah menjalan kan perintah Undang-undang. Jadi tidak Lahir kata Makar disitu,” Jelasnya.
Ketika undang-undang ini belum sah, masih dianggap ilegal. Maka undang-undang ini harus ada kepastian Hukum, apakah ini di batalkan dan bagaimana mekanisme pembatalannya.
“Ini harus ada kepastian hukum jangan sampai ada kebimbangan serta timbul konfllik di kemudian hari yang sama-sama tidak kita inginkan dan tidak mau,” kata Tiyong.
Kita berharap dengan 17 Tahun sudah perdamaian, biarlah Aceh ini damai kekal abadi. Dan kita sudah nyaman dalam bingkai NKRI tetapi jangan sampai ada warga yang menjalankan perintah qanun yang disepakati bersama dan di undangkan di lembaran daerah mereka adalah menjadi korban daripada Makar yang di tuduh hari ini.
Mohon maaf kepada pihak kepolisisan, kalau bisa jangan tergesa-gesa dalam hal ini. Kenapa, kami dari GAM sudah sepakat menjaga keutuhan NKRI inidan bahkan sudah sepakat suatu saat bila Negara Darurat akan menjadi sipil cadangan untuk membela negara.
Oleh karena itu, jangan kami di anggap Makar ketika kami sudah setia kepada NKRI hal-hal yang bisa didiskusi akan diskusi untuk mencari solusi yang baik agar tidak ada kekecewaan Rakyat Aceh.
Lembaga DPRA, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat belum komit dan kosisten dengan apa yang telah kita lakukan dan kita sepakati.
“Jangan sampai hari ini kita melakukan sesuatu untuk mengorbankan Rakyat biarlah kita bekorban untuk Rakyat. Dimana ada Rakyat disitu ada kita, kita harus mengambil peran dan tanggung jawab agar tidak ada korban dan tidak ada yang tersakiti,” ucap Tiyong.
Berharap kepada pimpinan DPR Aceh untuk segera duduk kembali baik dari GubernurAceh, pihak Kepolisian Kapolda Aceh dan Pangdam Iskandar Muda untuk menyelesaikan sesegara mungkin agar tidak timbul kerugian aceh di kemudia hari baik dari segi sosial, ekonomi dan politik untuk kekhususan aceh.
Harapan sayan kepada kawan-kawan agar untuk sama menyelesaikan permasalahan dan kasus ini, atau perlu kita surati melalui pimpinan DPRA ke menkopolhukam dan menyurati Presiden RI agar persoalan Bendera Aceh tuntas segera mungkin dan secepat mungkin jangan sampai Qanun ini mmenjadi bumerang bagi masa depan Aceh.[Irfan]