NUKILAN.id | Jakarta – Wawancara eksklusif Presiden terpilih Prabowo Subianto yang diselenggarakan di kediamannya di Hambalang, Bogor, Minggu (6/4/2025) lalu, menyita perhatian publik. Acara tersebut menghadirkan sejumlah jurnalis senior dari media papan atas nasional, seperti Pemimpin Redaksi tvOne Lalu Mara Satriawangsa, Uni Lubis dari IDN Times, Najwa Shihab dari Narasi, Alfito Deannova Gintings dari Detikcom, Retno Pinasti dari SCTV-Indosiar, serta Sutta Dharmasaputra dari Harian Kompas.
Namun, di balik sorotan media terhadap momen tersebut, kritik tajam datang dari kalangan pengamat kebijakan publik. Salah satunya disampaikan oleh Felia Primaresti, Manajer Riset dan Program di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII).
Felia menilai bahwa wawancara tersebut tidak mencerminkan praktik komunikasi publik yang inklusif, melainkan justru memperlihatkan kecenderungan elitis yang membatasi ruang partisipasi masyarakat secara luas.
“Wawancara ini terkesan elitis dan jelas sudah disusun oleh timnya agar berjalan sesuai narasi yang diinginkan. Prabowo memang tampak akomodatif, tetapi hanya kepada elite media tertentu yang dipilih. Sementara, masyarakat di akar rumput, termasuk suara-suara yang vokal, masih menghadapi tekanan, teror, dan represi. Suara mereka tetap tidak didengar dan diabaikan,” ungkap Felia.
Selain itu, Felia juga menyoroti bagian wawancara yang membahas Undang-Undang TNI. Menurutnya, pernyataan Prabowo dalam sesi tersebut menunjukkan kurangnya pemahaman mendalam terhadap substansi regulasi yang tengah diperdebatkan.
Menurut Felia, bagian wawancara tentang UU TNI justru paling ironis. Prabowo tampak tidak memahami substansi aturan yang sedang dibahas. Bahkan, ia terlihat bingung dengan gelombang protes besar yang terjadi dan justru mengaitkannya dengan campur tangan asing.
”Ini menunjukkan bahwa Prabowo tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang persoalan yang sedang berkembang. Secara umum analisa sosialnya juga lemah, ia tampak tidak memahami mengapa partisipasi publik itu penting dan dengan sederhananya menunjuk campur tangan asing, tanpa memahami konteks keresahan dan tentangan keras publik terhadap UU TNI yang kontroversial tersebut,” tambah Felia.
”Prabowo melihat kebijakan publik dari sudut pandangnya sendiri tanpa mendengarkan pihak lain untuk bergerak. Hal ini terlihat dari narasinya soal ‘kita ingin gerak cepat, rakyat miskin dan lapar tidak bisa menunggu’, seolah-olah segala sesuatu harus diputuskan secara sepihak tanpa melibatkan aspirasi publik dan mengabaikan permasalahan yang ada,” ujar Felia melanjutkan.
Lebih lanjut, Felia menegaskan bahwa jika Presiden Prabowo benar-benar berkomitmen terhadap transparansi dan keterbukaan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membiasakan partisipasi publik dalam setiap perencanaan kebijakan.
“Bukannya malah menggelar wawancara eksklusif yang sebagian besar isinya hanya klarifikasi terhadap berbagai kebijakan yang sudah dibuat. Pemerintah seharusnya menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik sejak awal dan di seluruh proses kebijakannya, bukan menutup keran partisipasi, dan lebih sibuk di klarifikasi kebijakan yang kerap ‘blunder’ dan kontroversial di awal,” tegasnya.
Di akhir, Felia menyampaikan bahwa perbaikan komunikasi publik tidak hanya sebatas wawancara eksklusif dengan jurnalis senior dan media terpilih, tetapi juga harus melibatkan masyarakat luas dan memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini kurang terdengar dan kritis terhadap pemerintah dan kebijakan yang ada.
Dalam konteks kebebasan pers dan melihat tantangannya hingga saat ini, justru pemerintah wajib memastikan keberpihakan dan komitmennya untuk perlindungan terhadap media dan segenap awak media, serta kebebasan pers. Lebih jauh, Felia mengatakan jika komunikasi hanya dilakukan di lingkaran elite, maka publik tetap akan berada di posisi yang terpinggirkan tanpa kesempatan untuk menyampaikan aspirasi mereka secara langsung, bermakna, dan berdampak.
Editor: AKil