NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Wacana pengalokasian minimal 1 persen Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) menuai respons dari kalangan peneliti. Usulan tersebut dinilai berpotensi membuka jalan bagi penguatan basis pengetahuan dalam pembangunan daerah.
Menanggapi hal itu, Nukilan.id menghubungi Saddam Rassanjani, peneliti di Jaringan Survei Inisiatif, pada Senin (1/9/2025). Saddam menilai, bila usulan pengalokasian 1 persen Dana Otsus benar-benar terealisasi, maka banyak hal penting dapat dikembangkan. Namun, ia menekankan tiga bidang yang sebaiknya diprioritaskan.
“Pertama, pengentasan kemiskinan dan perlindungan sosial, mengingat angka statistik masih di atas rata-rata nasional dan status Aceh termiskin di Sumatera,” katanya.
Menurut Saddam, fokus ini menjadi sangat krusial mengingat Dana Otsus sejak awal digelontorkan untuk mengatasi kesenjangan pembangunan. Tanpa strategi berbasis riset, program pengentasan kemiskinan berpotensi hanya menjadi rutinitas administratif tanpa memberikan dampak signifikan.
“Kedua, manajemen sumber daya alam, kita punya banyak potensi kekayaan alam yang belum tereksplorasi dan pemanfaatannya belum berkelanjutan,” lanjutnya.
Ia menilai, pengelolaan sumber daya alam secara ilmiah dapat menjadi kunci keberlanjutan ekonomi Aceh. Dengan pendekatan berbasis riset, kekayaan alam tidak sekadar dieksploitasi, tetapi juga diarahkan agar memberi nilai tambah jangka panjang bagi masyarakat.
“Ketiga, tata kelola pemerintahan, dana Otsus ditambah kekayaan alam yang berlimpah namun belum mampu menjadikan Aceh top-tier nasional di bidang kesejahteraan,” tegas Saddam.
Dalam pandangannya, masalah tata kelola adalah akar dari stagnasi pembangunan. Tanpa perbaikan manajemen pemerintahan yang berbasis data, Dana Otsus berisiko tidak optimal dan bahkan berputar dalam siklus kebijakan yang tidak efektif.
Selain memetakan bidang prioritas, Saddam juga menekankan pentingnya strategi agar hasil riset benar-benar bisa diimplementasikan dalam kebijakan daerah. Ia menyebut, riset tak boleh berhenti pada tumpukan laporan akademik yang jarang disentuh para pengambil keputusan.
“Ada dua strategi utama yang bisa ditempuh. Pertama, setiap hasil penelitian wajib dilengkapi ringkasan eksekutif dan rekomendasi kebijakan yang mudah dipahami oleh para pembuat keputusan,” jelasnya.
Dengan begitu, kata Saddam, penelitian akan lebih mudah masuk ke ruang kebijakan dan diterjemahkan menjadi program nyata.
“Dan yang kedua, pemerintah dapat membentuk sebuah knowledge hub atau pusat pengetahuan daerah untuk menjembatani peneliti dan pembuat kebijakan,” tambahnya.
Menurutnya, kehadiran knowledge hub bisa menjadi wadah sinergi antara akademisi, peneliti, dan pemerintah. Sehingga, riset tidak hanya berhenti sebagai catatan ilmiah, melainkan benar-benar menjadi fondasi pembangunan Aceh yang berbasis pengetahuan. (XRQ)
Reporter: Akil