Teungku Chik di Tiro: Ulama Pejuang yang Rela Berkorban Demi Agama dan Bangsa

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Nama Teungku Chik di Tiro, yang memiliki nama asli Muhammad Saman, menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai seorang ulama dan pejuang gerilya dari Aceh, ia dikenal karena dedikasinya yang total terhadap agama dan bangsa.

Dikutip Nukilan.id dari Buku Lima Putera-Puteri Aceh Pahlawan Nasional, dalam Perang Aceh pada 1881, Chik di Tiro sukses merebut wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah kendali Belanda. Perjuangannya menunjukkan keberanian dan tekad besar untuk melawan penjajahan.

Kehidupan Awal

Muhammad Saman lahir pada 1 Januari 1836 di Tiro, Aceh, dari pasangan Teungku Syekh Ubaidillah dan Siti Aisyah. Ia tumbuh dalam keluarga religius, yang menjadi fondasi kuat bagi pemahaman agama dan semangat juangnya.

Sejak usia 15 tahun, Saman belajar agama dari ayahnya. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya bersama pamannya, Teungku Chik Dayah Tjut di Tiro, sebelum pindah ke Aceh Besar untuk mendalami ilmu agama selama dua tahun. Pada siang hari, ia belajar Islam, sementara di malam hari ia bergaul dengan pejuang-pejuang gerilya.

Setelah kembali ke kampung halaman, Saman mulai mengajar agama bersama pamannya. Ia kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah untuk memperdalam ilmu agama dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin Islam yang menginspirasi perjuangannya melawan kolonialisme.

Memimpin Perlawanan

Pada 1880, Muhammad Saman kembali ke Tiro. Saat itu, sebuah kelompok gerilya datang mencari ulama yang bersedia memimpin perang melawan Belanda. Chik di Tiro dengan tegas menawarkan dirinya dan bergabung dengan pasukan gerilya yang bermarkas di Gunung Miram.

Ia memanfaatkan setiap persinggahannya di kota-kota Aceh untuk menyampaikan ceramah tentang perang suci di masjid-masjid. Tak hanya itu, ia mengirim surat kepada ulama-ulama lain untuk menggalang dukungan. Pada 1883, ia berhasil mengumpulkan sekitar 6.000 tentara bersama para ulama lainnya, dengan dukungan dari Sultan Aceh.

Puncak perjuangannya terjadi pada Mei 1881, ketika pasukannya merebut Benteng Belanda di Indrapuri, memicu dimulainya Perang Aceh. Perang tersebut berlangsung sengit hingga 1883, di mana Chik di Tiro dan pasukannya terus melancarkan serangan terhadap benteng-benteng Belanda di Aceh, termasuk di Kutaraja (Banda Aceh). Meski serangan ke Kutaraja gagal, mereka berhasil menewaskan penguasa Belanda di wilayah tersebut.

Sebagai hasil perjuangannya, wilayah yang dikuasai Belanda di Aceh menyusut drastis, hingga hanya tersisa sekitar empat kilometer persegi.

Akhir Hidup

Keyakinan Chik di Tiro terhadap kemenangan semakin kuat pada 1885. Ia bahkan sempat mengirimkan ultimatum kepada Asisten Residen van Langen agar Belanda menyerah dan memeluk Islam. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil.

Pada 21 Januari 1891, Chik di Tiro mengalami pengkhianatan. Ia diberi makanan beracun oleh putra pemimpin Sagi yang telah bekerja sama dengan Belanda. Setelah memakan hidangan tersebut, Chik di Tiro dibawa ke Benteng Aneuk Galong untuk dirawat, namun nyawanya tak tertolong. Ia wafat dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Meureu, Aceh Besar.

Pengakuan atas Jasanya

Sebagai penghormatan atas perjuangannya, Presiden Soeharto memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Teungku Chik di Tiro melalui Keputusan Presiden No. 987/TK/1973 pada 6 November 1973. Hingga kini, nama Teungku Chik di Tiro diabadikan sebagai nama jalan di berbagai wilayah di Indonesia.

Perjuangan dan pengorbanan Teungku Chik di Tiro menjadi inspirasi bagi generasi bangsa untuk terus berjuang melawan segala bentuk penjajahan, demi kemerdekaan dan martabat bangsa. (xrq)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News