Nukilan.id – Sebagai obyek yang memiliki sifat dan nilai sosial, tentunya tanah akan menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan. Jika tidak ditata dengan baik, maka ketersediaan tanah akan menjadi permasalahan yang sangat serius dan sulit ditangani. Mengingat dari bentuk dan sifatnya tanah tidak akan pernah bertambah luasannya, sedangkan kebutuhan tanah selalu meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk.
Hal itu disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul kepada Nukilan.id, Selasa (26/1/2022).
Menurutnya, tanah sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan masyarakat baik dipergunakan sebagai lahan kebutuhan pembangunan fasilitas pemerintahan, tempat tinggal warga, lahan pertanian, atau sebagai kebutuhan sosial lainnya.
“Karena tanah menjadi obyek penting sejak manusia lahir, manusia hidup dan bahkan kebutuhan tanah tetap menjadi kebutuhan dari kematian,” ujar Syahrul.
Bagitu juga dengan Aceh, jelas Syahrul, menurut data BPS Aceh yang dipublikasi tahun 2021, pertumbuhan penduduk di Aceh setiap tahunnya mengalami peningkatan, setidaknya sampai dengan bulan maret tahun 2019 penduduk Aceh mencapai 5.274.871 jiwa dengan laju pertembuhan penduduk 1,56% dibandingkan dengan data penduduk 2019.
“Pertumbuhan populasi penduduk Aceh ini tentunya tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan tanah sebagai kebutuhan kehidupan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Syahrul menjelaskan, luas Aceh secara total mencapai 57.956,00 km2 atau 5.795.600 Ha. Merujuk pada SK MENLHK Nomor 859/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2016 luas Luas Kawasan Hutan dan Konservasi di Aceh mencapai 3.563.813 ha. Luas Kawasan hutan itu sendiri terdiri dibagi dalam beberapa ketegori yaitu terdiri dari Wilayah Konservasi Daratan 1.057.628 ha, Hutan Lindung (HL) 1.794.350 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 145.384 ha, Hutan Produksi (HP) 551.073 ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) 15.378 ha.
“Dengan demikian, bahwa lebih dari setengah luasan Aceh adalah Kawasan hutan,” ungkapnya.
Tidak hanya karena pertumbuhan penduduk, lanjut Syahrul, krisis lahan di Aceh juga dapat dipicu oleh investasi dalam sektor Sumber Daya Alam (SDA). Pemberian lahan dalam skala besar untuk Investasi dalam bidang SDA tentunya harus dilihat sebagai penyebab yang serius untuk jaminan ketersedian tanah di Aceh. Masalahnya adalah penguasaan tanah melalui koorporasi investasi SDA tentunya dalam skala besar yang hanya dikuasasi oleh individua tau beberapa orang aja, dan bahkan bukan orang Aceh.
“Dampaknya adalah konflik horizontal antara masyrakat dengan masyarakat atau konflik masyarakat dengan perusahan investasi SDA. Hal ini harus dipikir ulang oleh pemerintah Aceh,” tegasnya.
Sampai dengan tahun 2018, kata Syahrul, data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk perkebunan rakyat mencapai 837.542 yang terdiri dari 12 jenis komoditas. Nilam 2.041 Ha, Cengkeh 24.868 Ha, Tebu 7.260 Ha, Tembakau 2.134 Ha, Kelapa Sawit 234.479 Ha, Karet 129.660 Ha, Kelapa Dalam 101.642 Ha, Kopi Arabica 101.473 Ha, Kakao 101.203 Ha, Kopi Robusta 22.276 Ha, Pala 23.994 Ha, dan Lada 1.185 Ha.
“Sedangkan lahan untuk perkebunan besar yang dikelalo dan dikuasasi oleh 146 perusahaan mencapai 232.423,77 Ha. Dari total perusahaan dan luasan lahan tersebut dibagi dalam enam komoditas, yautu kakau, jahe, karet, kelapa sawit, dan kopi. Menurut data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan, dari total luasan lahan konsesi yang dikuasasi investor tersebut, paling luas dikuasasi oleh pemodal komoditas kelapa sawit yaitu 219.322,44 Ha,” sebutnya.
“Artinya 5 komoditas lain hanya 13.101,33 Ha. Selain dalam bidang perkebunan, Investasi sumber daya Alam juga terdapat dalam bidang pertambangan. Menurut data dari paparan Catatan Akhir Tahun WALHI Aceh 2019, di Aceh terdapat 28 Izin Pertambangan dengan luas areal mencapai 62.112 Ha,” sambung Syahrul.
Kata dia, jika diakumulasi penggunaan lahan di Aceh dalam dua sektor ini saja yaitu perkebunan dan pertambangan, setidaknya 1.132.077,77 Ha lahan sudah digunakan di Aceh. Dari total daratan Aceh 5.795.600 Ha, dikurangi dengan total Kawasan hutan seluas 3.563.813 Ha dan dikurangi dengan penggunaan lahan dalam bidang perkebunan dan pertambangan 1.132.077,77 Ha maka sisa lahan di Aceh adalah 1.099.70923 Ha.
“Jumlah sisa lahan ini, belum dihitung penggunaan tanah untuk fasilitas kepentingan umum, pembangunan fasilitas pemerintahan, fasilitas perkampungan dan tempat tinggal masyarakat. Jika demikian, dengan perbandingan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan pertumbuhan penduduk, maka Aceh dapat dikategorikan telah berada dalam kondisi krisis lahan,” ucap Syahrul.
“Selain dari telah berada pada permasalahan krisis ketersedian, penggunaan dan pemanfaatan lahan di Aceh juga penuh dengan permasalahan. Konflik perampasan lahan juga terus bergulir dan berkepanjangan di Aceh,” tutur Direktur LBH Banda Aceh itu.
Setidaknya, kata dia, sejak tahun 2012 sampai dengan 2021 LBH Banda Aceh sedang melakukan advokasi kasus lahan wilayah Kelola masyarakat yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Aceh. akibat dari perampasa lahan tersebut, masyarakat kehilangan 2.634 Ha wilayah kelolanya, lahan pertanian sebagai sumber ekonomi keluarga. Korban akibat konflik perampasan lahan tersebut mencapai 3.779 Jiwa.
“Selain itu juga terdapat 58 orang Korban Kriminalisasi, dipenjara atas laporan perusahaan akibat mempertahankan tanah kelolanya. Tidak hanya itu, penderitaan yang dialami oleh masyarakat korban pun lebih kejam, terdapat 8 orang yang diculik secara paksa, untuk diminta melepaskan lahan yang sedang dikelolanya,” ungkap Syahrul.
Oleh karenanya, Syahrul menyarankan, Pemerintah Aceh perlu menata dengan baik penggunaan tanah, mengingat sifat tanah tidak akan pernah bertambah luasannya, sedangkan kebutuhan tanah selalu meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk.
“Kita juga berharap, pemerintah Aceh untuk segera mendesak pemerintah pusat melakukan perubahan Badan Pertanahan Nasional ke Badan Pertanahan Aceh, agar pemerintah Aceh bisa membangun sendiri skema perbaikan tata kelola pertanahan,” pungkas Syahrul. [MIR]