Nukilan.id – Anggota DPR Aceh Fraksi PKS Dapil Aceh Tengah Bardan Sahidi menilai Kepala Bappeda Aceh Teuku Ahmad Dadek tidak cukup referensi dan tidak lengkap membaca data dengan menyebut Pandemi penyebab angka kemiskinan di Aceh meningkat, namun Aceh lebih baik dari rata-rata nasional.
“Sederhanya, selama Aceh dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (ABPA) serta Dana otonomi khusus (otsus) dana bagi hasil migas, dan Dana Tambahan Bagi Hasil (TDBH) Migas, angka kemiskinan di provinsi ini tak kunjung turun. Tentunya ada yang salah dengan perencanan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan di Aceh,” kata Bardan Sahidi, Kamis (18/2/2021)
Kata Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), perencanaan pembangunan Aceh hilang fokus dan locus. Tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar masayarakat.
“Contoh saja, pembangunan talud penahan ombak jetty, pemasangan batu gajah di sepanjang pantai, apa korelasinya dengan penangulangan kemiskinan, dan pembanngunan embung. Dengan merusak bentangan alam mengambil batu gunung diangkut kepantai. Sunnatullahnya ini mengangu lingkungan. Batu gunung dikeruk ketika hujan menyebabkan tanah longsor dan banjir. Embung untuk kawasan tadah hujan diarea lawasan hutan yang rusak (deforestasi),” kata Bardan.
Menurut Bardan, dapat lebih realistis melihat sebab-sebab munculnya masyarakat miskin, tidak seperti seperti usulan kegiatan pembangunan oleh pemerintah Aceh yang berorientasi pada proyek dengan keuntungan pada kelompok-kelompok tertentu, yang punya akses terhadap penguasa.
“Akibatnya, disparitas, kesenjangan sosial sangat tinggi di Aceh. Terlihat diantara rumah megah dengan gubuk, kendaraan mewah dengan sepeda tua pengais rezeki “sipapa” acap terlihat disepanjang jalan,” ujarnya.
Tak hanya itu–lanjutnya–menjamurnya pengemis dengan berbagai latar belakang sosial saban terlihat disepanjang pertokaan dan cafe di Kota Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi Aceh.
“17 Triluyun lebih APBA bila di bagi dengan 5 juta jiwa penduduk Aceh di 23 Kabupaten Kota, kiranya Aceh dapat mengatasi persoalan kemiskinan dan kesenjanngan sosial,” jelas Bardan.
Dilanjutkan, Perjalan tahun ke 4 RPJM Aceh ini lagi-lagi salah fokus dan locus. Di DPR Aceh kami evalusi kembali pelaksanaannya pada semua Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA).
Dijelaskan Bardan juga bahda Data pokok BPS Statistik adalah data akdemis dari hasil sensus, demikian juga data dari Bank Indonesia (BI). Dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Kementerian Dalam Negeri RI masih juga memempatkan Aceh provinsi dengan laju pertumbahan ekonomi paling rendah dengan penduduk miskin paling tinggi di Sumatera.
“Demikian juga data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Investasi (BKPM) Aceh adalah daerah yang tidak ramah investasi. Saya meyakinani data ini,” jelasnya.
Langkah kongkrit, menurut Bardan, pemerintah harus evaluasi RPJM dan RAPBA 2022 dengan berorientasi pada pemenuhan kebutahan dasar masyarakat, lapangan pekerjaan, peningkagan pendapatan keluarga (income per kapita), ekonomi produktif UMKM dan Koperasi.
Laporan: Akhi Wanda