Penulis: Bisma Yadhi Putra
Dalam krisis politik di Myanmar yang sudah-sudah, simpati yang berlimpah selalu tertuju pada Aung San Suu Kyi. Walaupun ada tokoh-tokoh prodemokrasi lainnya yang juga ditahan, Suu Kyi lebih banyak disorot.
Dia bagi banyak orang adalah simbol hidup utama untuk pembaruan politik nasional. Orang-orang meyakini dialah yang paling menderita dalam perjuangan mewujudkan supremasi di tangan sipil. Dia didengar, diikuti. Karena posisi dan pengaruhnya yang kuat, orang-orang yang prihatin itu bisa paham mengapa militer bisa begitu jahat dengan berulang-ulang menyulitkan hidup Suu Kyi.
Awal Februari kemarin, dini hari, yang pernah berulang-ulang itu terjadi lagi. Sebagaimana dilakukan terhadap ratusan sipil pejabat negara, Suu Kyi oleh militer dijadikan tahanan rumah. Militer tak terima hasil pemilu tahun lalu. Kepemimpinan sipil pun rontok lagi setelah terbentuk melalui Pemilu 2015.
Namun simpati untuknya kali ini terasa sunyi. Kecuali yang disuarakan negara-negara lain dalam pernyataan resmi mereka, keprihatian dari orang per orang—yang mewakili sikap pribadi—bisa dibilang tak lagi berlimpah. Represi terbaru ini sepi dari kutukan. Banyak orang enggan kembali bersimpati.
Suu Kyi memang tak bisa menjadi presiden meskipun partainya menang pemilu. Konstitusi Myanmar tak membolehkan orang yang punya pasangan dan anak berkewarganegaraan asing jadi presiden. Walau demikian, kenyataannya dia tetap bisa memasukkan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan nasional melalui jabatan “Penasihat Negara Myanmar” yang didudukinya sejak 2016.
Sayangnya ruang itu tak dipakai untuk “berkuasa” dengan demokratis. Komunitas internasional terkejut (kecewa) dia tidak berbicara menentang bermacam bentuk kekejaman militer Myanmar terhadap orang-orang Rohingya. Biarpun tahu ada penangkapan sewenang-wenang, tembak mati di luar proses hukum, pengusiran, pemerkosaan massal, dia malah bersikap antipati. Suu Kyi, pejuang sipil, menyikapi itu semua dengan sudut pandang yang militeristis: aksi militer guna memerangi terorisme.
Suu Kyi memang tak menarik pelatuk. Dan, katakanlah saja dia juga tak mendukung kebiadaban itu. Tetapi dia telah membiarkannya. Itulah mengapa ketika sekarang sipil dan militer Myanmar bertengkar kembali, yang mana sudah pasti sipil yang kena kekang, Suu Kyi rasanya tak lagi penting dibela. Saya cenderung melihat peristiwa tersebut sebagai keributan antara “pelaku genosida” dengan “pembiar genosida”. Sama-sama jahat.
Namun tak lagi bersimpati bukan berarti senang dengan apa yang terjadi pada Suu Kyi. Tidak pula berarti pihak militer harus didukung. Tiada satu pun dari keduanya yang berhak atas komplimen.
Bisma Yadhi Putra, esais dan peneliti. Tinggal di Banda Aceh.