NUKILAN.id | Banda Aceh – Selama berabad-abad puasa mendapat tempat penting dalam berbagai budaya dan agama di dunia. Praktik yang dilaksanakan oleh pemeluk sejumlah agama ini dipuji karena khasiatnya diyakini membersihkan dan merevitalisasi tubuh manusia.
Sebenarnya seperti apa cara kerja tubuh saat berpuasa sehingga bisa berdampak baik bagi kesehatan manusia? Para peneliti di Precision Healthcare University Research Institute (PHURI) di Queen Mary University of London tertarik menjawab pertanyaan ini dan memulai eksperimen unik, seperti dilansir oleh earth.com.
Dalam eksperimen ini, ada 12 sukarelawan yang setuju untuk berpartisipasi dalam puasa air selama 7 hari. Sambil memantau kesehatan mereka dengan cermat, para peneliti bertujuan untuk memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana tubuh bereaksi ketika kekurangan makanan.
Studi tersebut, yang dimuat di Jurnal Nature, mengungkapkan titik balik penting soal bagaimana tubuh merespons puasa. Dalam beberapa hari pertama, tubuh beralih dari penggunaan gula sebagai energi ke pembakaran simpanan lemak, yang dikenal sebagai ketosis. Ini merupakan respons awal tubuh untuk memastikan memiliki cukup energi untuk bertahan hidup.
Setelah tiga hari berpuasa, tubuh memulai respons lebih luas yang melibatkan perubahan pada berbagai organ dan sistemnya. Perubahan ini mencakup penyesuaian protein yang mendukung otak, sistem kekebalan tubuh, dan bahkan kemungkinan perbaikan sel. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh memasuki keadaan yang berbeda, berfokus pada efisiensi dan perlindungan pada saat ketersediaan pangan rendah.
Para peneliti juga mempelajari hampir 3.000 protein dalam darah para sukarelawan survei ini. Yang mengejutkan, sekitar sepertiga protein berubah secara signifikan selama periode puasa. Protein-protein ini, ditemukan di berbagai organ dan terlibat dalam beragam proses biologis, menunjukkan bahwa puasa memicu respons seluruh tubuh, bukan perubahan terisolasi di area tertentu.
Menariknya, perubahan kadar protein terjadi secara konsisten pada semua peserta, meskipun ada perbedaan gender dan kesehatan individu dari para sukarelawan. Konsistensi ini menunjukkan respons yang mendasar dan mendarah daging terhadap puasa, sebuah mekanisme bawaan dalam tubuh manusia. Ini adalah proses biologis universal yang aktif untuk menangani tidak adanya nutrisi yang masuk dan mengoptimalkan fungsi selama kondisi tersebut.
Peneliti juga menemukan bahwa puasa mengubah protein yang ditemukan di jaringan struktur pendukung otak, yang disebut matriks ekstraseluler. Jaringan ini menyediakan dukungan struktur dan biokimia untuk sel-sel otak. Perubahan matriks ekstraseluler dapat berdampak signifikan pada fungsi otak, mulai dari kesehatan sel-sel otak hingga efektivitas komunikasi satu sama lain.
Temuan soal matriks ekstraseluler ini menunjukkan bahwa puasa dapat berdampak positif bagi kesehatan otak. “Untuk pertama kalinya, kami dapat melihat apa yang terjadi pada tingkat molekuler di seluruh tubuh saat kita berpuasa,” kata Claudia Langenberg, Direktur PHURI.
“Puasa, jika dilakukan dengan aman, adalah intervensi penurunan berat badan yang efektif. Pola makan populer yang menggabungkan puasa – seperti puasa intermiten – mengklaim memiliki manfaat kesehatan, selain penurunan berat badan,” kata Claudia. “Hasil kami memberikan bukti manfaat kesehatan dari puasa selain penurunan berat badan. Namun hal ini baru terlihat setelah tiga hari pembatasan kalori total – lebih lambat dari yang kami perkirakan sebelumnya.”
Dengan memahami cara kerja puasa pada tingkat yang lebih dalam, para ilmuwan mungkin dapat mengembangkan pengobatan yang meniru manfaatnya tanpa memerlukan puasa yang sebenarnya. Pengetahuan ini, tulis earth.com, juga dapat membantu mengatasi masalah kesehatan modern seperti obesitas dan diabetes dengan memberikan dasar bagi rekomendasi atau intervensi pola makan baru yang menggunakan prinsip puasa untuk meningkatkan kesehatan.
Rekan penulis studi ini, Maik Pietzner, Ketua Data Kesehatan PHURI, menambahkan bahwa temuan ini memberikan dasar bagi beberapa pengetahuan kuno tentang mengapa puasa digunakan untuk kondisi tertentu. “Meskipun puasa mungkin bermanfaat untuk mengobati beberapa kondisi, seringkali, puasa bukanlah pilihan bagi pasien yang menderita penyakit,” kata dia.
Maik Pietzner berharap temuan ini dapat memberikan informasi soal mengapa puasa bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, yang kemudian dapat digunakan untuk mengembangkan pengobatan yang dapat dilakukan terhadap pasien.