NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Kasus yang menimpa Khairul Halim, seorang petani cabai di Banda Aceh, bukan hanya menyita perhatian publik, tetapi juga memantik diskusi panjang tentang akses pendidikan yang adil dan bersih dari praktik pungutan liar.
Khairul menjadi sorotan setelah ia gagal menyekolahkan anaknya ke sebuah madrasah negeri lantaran diminta membayar biaya daftar ulang. Padahal, sebagai petani kecil, penghasilan Khairul sangat terbatas dan tidak cukup untuk menutupi biaya tersebut.
Setelah kasus ini viral di media sosial, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh mencatat lonjakan laporan serupa dari masyarakat. Tercatat, sebanyak 49 aduan dugaan pungutan liar diterima dari sejumlah madrasah di Banda Aceh, baik di tingkat ibtidaiyah maupun tsanawiyah.
Sebagai respon atas sorotan publik, beberapa madrasah akhirnya mengambil langkah korektif. Mereka mulai mengembalikan uang pungutan kepada para wali murid, sebuah tindakan yang diharapkan menjadi awal dari perbaikan tata kelola pendidikan negeri.
Kasus ini membuka ruang refleksi sosial yang lebih luas tentang bagaimana pungutan yang seharusnya tidak terjadi di institusi pendidikan negeri masih terus berlangsung dan bahkan dianggap hal yang lumrah oleh sebagian masyarakat.
Menanggapi kasus ini, Dr. Masrizal, seorang sosiolog Aceh, menyoroti masih adanya budaya ‘nrimo’ atau pasrah di tengah masyarakat yang kerap kali menjadi penghalang lahirnya keberanian untuk menolak praktik pungutan liar.
“Soal budaya ‘nrimo’ atau menerima saja tanpa banyak protes, saya pikir bisa jadi masih ada dalam masyarakat kita. Tapi ini tidak berlaku bagi keluarga miskin,” ungkapnya kepada Nukilan.id pada Minggu (29/6/2025).
Menurutnya, keluarga dengan kondisi ekonomi lemah tidak punya ruang untuk sekadar “nrimo”. Pungutan liar yang dilakukan oleh sekolah-sekolah justru menjadi beban berat yang memperparah ketimpangan akses pendidikan bagi kelompok miskin.
“Bagaimana mungkin mereka bisa ‘nrimo’, sementara untuk makan saja mereka kesulitan? Justru di kalangan masyarakat kurang mampu, pungutan seperti itu menjadi beban berat,” lanjut Koordinator Prodi Magister Damai dan Resolusi Konflik (MDRK) Sekolah Pascasarjana USK tersebut.
Dalam kasus ini, ia menekankan pentingnya peran komite sekolah dalam menjaga transparansi dan keadilan dalam setiap kebijakan yang menyangkut dana pendidikan. Komite sekolah semestinya bukan sekadar formalitas, melainkan benar-benar menjadi jembatan yang efektif antara pihak sekolah dan para wali murid.
“Di sinilah fungsi komite sekolah menjadi krusial, sebagai jembatan antara sekolah dan orang tua. Jangan sampai sekolah bertindak sepihak, tanpa melibatkan komite,” tegasnya.
Lebih jauh, ia juga mengingatkan bahwa komite sekolah tidak boleh pasif. Komite harus aktif dalam menyampaikan informasi dan melakukan sosialisasi kepada para wali murid, terutama terkait tujuan dan penggunaan dana yang dikumpulkan.
“Komite juga harus aktif mensosialisasikan kepada para orang tua mengenai tujuan dan kegunaan dana tersebut,” pungkasnya.
Ia menambahkan, komunikasi terbuka dan edukasi kepada pihak sekolah sangat diperlukan agar tidak timbul kesan negatif di tengah masyarakat.
“Itulah sebabnya, komite sekolah juga harus mengedukasi pihak sekolah agar transparan dan akuntabel dalam mengelola dana. Jangan sampai ada kesan bahwa uang wali murid tidak dikelola dengan baik,” tutupnya.
Fenomena seperti yang dialami Khairul Halim semestinya menjadi momentum bagi pemerintah, masyarakat, dan seluruh ekosistem pendidikan untuk melakukan evaluasi menyeluruh.
Pendidikan negeri, yang seharusnya menjadi ruang pemerataan kesempatan, justru tidak boleh menjadi ladang diskriminasi sosial yang terselubung dalam bentuk pungutan yang tidak jelas dasar hukumnya. (XRQ)
Reporter: Akil