Nukilan.id – Sebanyak 152 orang pengungsi Rohingya yang terdiri dari orang tua, anak-anak, wanita, dan laki-laki didatangkan ke Banda Aceh dari Aceh Selatan menggunakan empat unit truk dan satu unit mobil patrol Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) Aceh Selatan, Kamis (7/11/2024). Sebelumnya, para pengungsi ini terdampar di perairan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Selatan kemudian memerintahkan sopir truk untuk membawa mereka ke Banda Aceh.
Para pengungsi tiba di Banda Aceh sekitar pukul 09.30 WIB dan dibawa ke depan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Aceh. Namun hingga menjelang pukul 16.00 WIB, para pengungsi tersebut masih berada di dalam truk karena belum mendapatkan izin untuk turun. Warga Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, menolak kehadiran para pengungsi karena keberadaan mereka dianggap meresahkan warga.
“Kalau mereka di dalam kantor Kemenkumham kami tidak mempermasalahkan,” ujar Fauzan, Ketua Pemuda Jeulingke, dilansir Nukilan dari Detik, Jumat (8/11/2024).
Sekitar pukul 19.15 WIB, supir truk membawa para pengungsi ke Simpang Mesra, Lamnyong. Mereka menunggu hampir dua jam. Sekitar pukul 20.55 WIB, para pengungsi Rohingya diminta naik kembali ke atas truk dan diantarkan balik pulang ke Aceh Selatan.
Sebelumnya, Pj Gubernur Aceh, Safrizal ZA, Msi mengatakan pada dasarnya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan menangani para pengungsi Rohingya. Namun, mereka harus ditolong atas nama kemanusiaan.
“Dari aspek kemanusiaan kita berempati dan menolong. Tetapi sembari berempati dan menolong, hukum juga harus ditegakkan terhadap kasus penyelundupan ini,” kata Safrizal ZA, dikutip dari Antara, Kamis (31/10/2024).
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) yang juga mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla alias JK menyoroti perlakuan masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya ini. Menurut JK, perlakuan terhadap pengungsi Rohingya dengan menempatkan mereka dalam truk selama dua hari ini merupakan tindakan tak berprikemanusiaan.
“Tentu tidak berprikemanusiaan kala ditaruh di atas truk selama dua hari. Bagaimana mereka makan, bagaimana membersihkan diri dan sebagainya,” kata JK, dikutip dari CNN, Sabtu (9/11/2024).
Sentimen Negatif Sejak 2023
Pengamat politik dari Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya mengatakan sentimen negatif terhadap pengungsi Rohingya mulai berkembang sejak tahun 2023 lalu. Saat itu, kata Kemal, ada pengarahan opini terutama dari TNI-AL yang menjaga kelautan yang menyatakan bahwa kedatangan para pengungsi Rohingya ke Indonesia ini bisa membahayakan integritas Indonesia.
“Wacana itu kemudian beresonansi juga di media sosial. Ada BEM suatu kampus swasta waktu itu yang melakukan demonstrasi dan pengusiran terhadap pengungsi Rohingya yang menumpang di Balai Meuseuraya Aceh. Gelombang antipatinya dimulai pada saat ini. Padahal, sebelumnya kita sangat welcome dengan mereka,” ujar Teuku Kemal Fasya kepada Nukilan, Jumat (8/11/2024).
Sebelumnya, pada Rabu (27/12/2023) lalu, ratusan mahasiswa dari berbagai universitas di Aceh melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menolak kehadiran pengungsi Rohingya. Siangnya, para demonstran merangsek ke basemen Gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA) dan dengan brutal mengusir paksa para pengungsi Rohingya yang ada di sana.
Dalam salah satu video yang diunggah bahkan bisa dilihat mahasiswa menendang barang-barang hingga menimpa para pengungsi Rohingya. Dalam video tersebut juga bisa dilihat bagaimana anak-anak dan perempuan Rohingya menangis ketakutan sembari mengangkat tangan mereka sebagai isyarat menyerah. Para pengungsi kemudian diangkut menuju Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) Aceh menggunakan beberapa unit truk.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna menilai aksi mahasiswa terhadap pengungsi Rohingya itu telah menjadi bumerang bagi mereka yang selama ini konsisten mengangkat isu sosial di Aceh. Menurut Husna, aksi brutal mahasiswa yang mengusir paksa para pengungsi merupakan tindakan yang sangat tidak patut dilakukan.
“Apa yang terjadi di gedung BMA pasti berdampak secara psikis terhadap pengungsi di sana, terutama perempuan dan anak-anak yang tentu saja trauma,” ujar Azharul Husna, dikutip Kompas, Kamis (28/12/2024).
Pendapat serupa disampaikan Teuku Kemal Fasya. Menurut Kemal, sangat tak layak jika ada masyarakat yang menyamakan status pengungsi Rohingya ini dengan perilaku orang Yahudi Israel yang menjajah Palestina. Analagi seperti ini bagi Kemal tidak masuk akal karena situasinya jauh berbeda.
“Ketika orang Yahudi datang ke Palestina setelah Perang Dunia ke-II itu kan mereka dibackup oleh kekuatan dunia saat itu, di antaranya adalah Amerika Serikat dan Inggris. Jadi jangan disamakan dengan para pengungsi Rohingya ini, mereka warga yang tidak punya kewarganegaraan,” sebut Kemal.
Kemal menekankan, masyarakat tidak seharusnya mengusir pengungsi Rohingya kembali ke lautan. Karena mereka mengungsi dari tempat asal mereka lantaran ancaman yang membahayakan nyawa mereka. Karena itu, mereka mengungsi ke negara lain untuk menyelamatkan nyawa mereka. Kalaupun mereka kemudian tewas dalam perjalanan, nasib serupa juga bakal menimpa mereka yang tidak berangkat dari tempat asalnya karena juga nantinya akan dipersekusi. Di sinilah nasib pengungsi Rohingya menjadi seperti buah simalakama.
Dilansir dari BBC, analisis dari jaringan sosial Drone Emprit menyebutkan bahwa narasi kebencian yang dibangun atas dasar informasi hoaks disebar di media sosial X oleh beberapa akun fanbase atau forum di antaranya @jengyaws, @tanyarfes, @kegblgnunfaedh, @convomfs, @Heraloebss, dan @valhalla. Di media sosial X, jumlah sebutan Rohingya mencapai 47.672, lebih banyak daripada di berita daring yang hanya disebutkan sebanyak 4.421. Penyebutan nama Rohingya mulai mengalami peningkatan sejak 6 Desember 2023 lalu.
Sementara di media sosial lain seperti TikTok dan Instagram, narasi kebencian dan propaganda dibangun dari potongan-potongan video yang menunjukkan perilaku pengungsi Rohingya yang dianggap “tidak pantas.” Video-video dengan tujuan serupa banyak beredar di media sosial TikTok dan Instagram. Tujuan dari video-video seperti ini adalah untuk membangun citra buruk dari pengungsi Rohingya sehingga diharapkan mampu memprovokasi dan menyebarkan narasi kebencian dari warga Aceh.
Selain itu, di media sosial TikTok juga muncul tren akun-akun yang mempersonifikasikan diri sebagai akun resmi badan pengungsi PBB, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dengan foto profil logo UNHCR dan membuat narasi yang meminta kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan makan, tempat tinggal, KTP, dan bahkan tanah atau pulau untuk pengungsi Rohingya.
Hal ini sengaja dilakukan untuk memprovokasi masyarakat Aceh agar membenci pengungsi Rohingya yang dianggap akan merebut tanah mereka sekaligus mengusir UNCHR yang dinilai telah memfasilitasi upaya tersebut. Jika ditelisik, banyak sekali akun-akun yang mempersonifikasi sebagai perwakilan resmi UNHCR tersebut di media sosial TikTok.
Perwakilan resmi UNHCR sendiri sudah membantah hal tersebut. Pejabat informasi publik UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono mengatakan hal tersebut tidaklah benar dan meminta masyarakat agar tak memercayai hal tersebut.
“Pembaca sosmed kami harapkan kebijaksanaannya untuk hanya menanggapi/mempercayai menyebarkan konten resmi UNHCR yang ada dalam platform-platform kami yang real,” ujar Mitra, dikutip dari Liputan6, Minggu (10/12/2023).
Dalih Ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967
Pemerintah selalu berdalih bahwa terkait penanganan pengungsi luar negeri, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima mereka karena belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka. Padahal Presiden Joko Widodo pada 2015 lalu telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Walaupun Perpres tersebut dinilai belum komprehensif untuk mengatasi persoalan pengungsi luar negeri di Indonesia, namun setidaknya di dalamnya sudah mengatur hal-hal teknis mendasar terkait penanganan pengungsi. Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa untuk menangani persoalan pengungsi, pemerintah berkoordinasi dengan PBB melalui kantor Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi atau UNHCR di Indonesia.
Terkait penampungan sementara juga telah diatur dalam Bab III tentang Penampungan. Dalam Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) secara berturut-turut disebutkan bahwa Rumah Detensi Imigrasi berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota setempat terkait tempat penampungan yang, jika tempat penampungan dimaksud belum tersedia, maka pengungsi bisa ditempatkan di tempat akomodasi sementara yang ditetapkan oleh bupati/walikota.
Kemudian terkait pendanaan untuk penanganan pengungsi juga sudah diatur dalam Bab VII tentang Pendanaan. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa pendanaan untuk penanganan pengungsi bersumber dari APBN melalui kementerian/lembaga terkait dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Artinya dalih pemerintah untuk menolak kedatangan pengungsi luar negeri karena belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 juga tak bisa dijadikan legitimasi karena sudah diatur dalam Perpres 125 Tahun 2016. Pejabat pemerintahan tak bisa mengabaikan tanggung jawab mereka untuk menangani pengungsi dari luar negeri sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam Perpres tersebut.
Hal senada disampaikan Teuku Kemal Fasya. Menurut Kemal, pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen untuk menangani para pengungsi dari luar negeri di Indonesia dengan adanya Perpres ini.
“Kita harus ada komitmen untuk menolong orang-orang yang terusir dari negara lain untuk ikut membantulah dalam konteks darurat saja kalau kemudian tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Misalnya jadi tempat transit. Selanjutnya kita serahkan kasus ini kepada UNHCR untuk dicarikan solusinya,” katanya. Dengan demikian, tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak menangani pengungsi Rohingya yang terdampar di wilayah Indonesia. ***
Reporter: Sammy