Sembilan Keluarga Hilang, Luka yang Tak Sembuh 21 Tahun Tsunami Aceh

Share

NUKILAN.id | Feature  — Dua puluh satu tahun telah berlalu sejak gelombang raksasa menyapu Aceh. Waktu berjalan, kota dibangun kembali, dan kehidupan perlahan menemukan ritmenya. Namun setiap 26 Desember, ingatan itu kembali—pelan, sunyi, dan tak pernah benar-benar pergi.

Di kawasan kuburan massal Ulee Lheue, tak ada nisan yang menyebut nama. Hanya batu-batu besar yang terdiam di atas hamparan rumput hijau, menjadi saksi ribuan nyawa yang tak sempat dikenali. Di salah satu batu itulah Reka, warga Lamgugob, menaburkan bunga, Jumat (26/12/2025), dalam hening yang sarat makna.

Bagi Reka, tsunami bukan sekadar catatan sejarah. Tragedi itu merenggut seluruh keluarga suaminya. Ayah, ibu, ponakan, dan sanak saudara—sembilan orang yang tak pernah ditemukan hingga hari ini.

“Semua tidak ketemu,” ujarnya singkat kepada Nukilan, seolah setiap kata menyimpan beban yang terlalu berat untuk diucapkan panjang lebar.

Saat tsunami terjadi pada 26 Desember 2004, Reka belum menikah. Namun gelombang itu bukan hanya menghancurkan rumah dan kota, melainkan juga masa depan banyak orang. Keluarga suaminya pun habis tersapu tsunami. Tak ada yang tersisa, bahkan tempat pulang.

Refleksi itu paling terasa saat hari pernikahan mereka. Hari yang seharusnya penuh kebahagiaan berubah menjadi momen sunyi.

“Di hari nikah itu, suami saya sangat sedih. Tidak ada satu pun keluarganya yang hadir,” kenangnya.

Kuburan massal Ulee Lheue menjadi simbol dari kehilangan kolektif Aceh. Tanpa nisan dan tanpa identitas, tempat ini mengajarkan bahwa bencana tidak selalu meninggalkan jejak yang bisa dinamai. Yang tersisa hanyalah ingatan, doa, dan tanggung jawab untuk belajar dari masa lalu.

Dua puluh satu tahun pascatsunami, Aceh telah banyak berubah. Peringatan dini bencana mulai dibangun, edukasi kebencanaan diperkenalkan, dan kesadaran masyarakat perlahan tumbuh. Namun refleksi sejati, bagi Reka, bukan hanya soal pembangunan fisik, melainkan tentang ingatan yang terus dirawat.

“Saya berharap tsunami ini kita ceritakan kepada anak cucu. Supaya jadi pengalaman, karena dulu kita tidak punya pengetahuan tentang bencana—tidak tahu apa yang harus dilakukan sebelum dan sesudahnya,” katanya. 

Dua puluh satu tahun berlalu, Aceh telah bangkit dengan wajah baru. Namun di balik bangunan kokoh dan kehidupan yang kembali berjalan, ada luka yang tak sepenuhnya sembuh. 

Seperti Reka, yang setiap Desember datang ke Ulee Lheue—mengajarkan bahwa mengenang bukan untuk larut dalam duka, melainkan agar tragedi serupa tak terulang kembali.

Reporter: Rezi

Read more

Local News