NUKILAN.id | Banda Aceh – Perempuan Aceh kian mantap melangkah di ruang-ruang publik, menantang batasan tradisi yang selama ini dikendalikan oleh budaya patriarki. Di balik gerakan ini, Flower Aceh telah menjadi motor penggerak yang konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan selama lebih dari tiga dekade.
Sejak didirikan pada 23 September 1989, Flower Aceh menjadi organisasi perempuan pertama yang lahir di tengah situasi konflik di Aceh. Awalnya mereka fokus pada isu lingkungan, kesehatan, dan ekonomi. Namun seiring perjalanan waktu, cakupan gerakan mereka semakin luas: dari pendampingan korban kekerasan hingga pelatihan kepemimpinan perempuan.
“Dulu perempuan tidak terlibat dalam rapat gampong. Sekarang, mereka mulai hadir, bahkan ikut menentukan arah kebijakan desa,” ujar Elvida, Ketua Pengurus Flower Aceh. Menurutnya, perubahan ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang pendidikan dan pendampingan di akar rumput.
Saat ini, Flower Aceh mendampingi 175 perempuan dari tujuh kabupaten/kota di Aceh. Mereka tampil sebagai pengambil peran penting di masyarakat: tuha peut, kader kesehatan, kepala urusan desa, penggerak PKK, hingga tokoh adat dan agama.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, menjelaskan bahwa pendekatan mereka bersifat menyeluruh—membangun kapasitas, memperkuat kesehatan, dan memperluas jaringan dukungan sosial.
“Ketika perempuan sehat, sadar, dan didukung, mereka mampu menjadi agen perubahan yang kuat,” tegasnya.
Namun, membangun kesadaran kritis tidak bisa dilakukan secara instan. Butuh proses panjang dan berkelanjutan melalui pengorganisasian, edukasi, serta kolaborasi lintas sektor. Apalagi, budaya patriarki yang masih mengakar menjadikan pelibatan laki-laki sebagai bagian penting dari strategi perubahan.
Dalam konteks Aceh yang kuat dengan nilai keislaman, Flower Aceh juga berupaya membangun dialog konstruktif agar ajaran agama menjadi jembatan, bukan hambatan, bagi keterlibatan perempuan dalam pembangunan.
“Nilai kepemimpinan sejati adalah tentang semangat membawa perubahan dan keadilan,” tambah Riswati.
Ia menekankan bahwa keberadaan perempuan di ruang publik bukanlah ancaman, melainkan energi positif bagi pembangunan yang lebih inklusif.
“Kehadiran perempuan bukan ancaman, tapi kekuatan untuk pembangunan yang lebih adil dan inklusif,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Hendra Lesmana, Koordinator Divisi Kekerasan terhadap Perempuan dan Perempuan Kepala Keluarga (KPP) Flower Aceh. Ia menekankan bahwa perjuangan kesetaraan bukan sekadar isu perempuan, tapi menyangkut keadilan sosial yang harus diperjuangkan oleh semua pihak.
“Keterlibatan laki-laki sangat penting untuk menghapus bias dan stereotip. Tanpa dukungan semua pihak, perjuangan kesetaraan tidak akan berjalan efektif,” kata Hendra.
Momentum Hari Kartini menurutnya menjadi pengingat bahwa perubahan tidak akan hadir jika hanya mengandalkan satu pihak.
“Perjuangan untuk kesetaraan bukan hanya tugas perempuan. Ini tugas kita bersama. Kesetaraan gender bukan berarti perempuan mengambil alih peran laki-laki, tapi berjalan bersama, saling mendukung, dan bertumbuh bersama,” tutupnya.
Hari Kartini di Aceh bukan sekadar perayaan simbolik, tetapi menjadi ruang refleksi atas langkah panjang perempuan yang terus bergerak, menembus sekat-sekat patriarki, dan menorehkan kontribusi dalam berbagai bidang kehidupan—mulai dari tingkat gampong hingga panggung kebijakan.