NUKILAN.ID | Banda Aceh – Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Banda Aceh menangkap seorang pria berinisial AB (55), warga Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, pada Selasa (20/5/2025). AB diduga memerkosa anak kandungnya sendiri yang masih berusia 17 tahun.
Kasus ini sontak mengguncang publik Aceh. Pasalnya, masyarakat Aceh selama ini cenderung menganggap kasus serupa hanya terjadi di luar wilayahnya. Kini, fakta ini menjadi tamparan keras bahwa kejahatan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam ruang keluarga yang semestinya menjadi tempat paling aman bagi seorang anak.
Menanggapi kasus memilukan ini, Nukilan.id menghubungi Gebrina Rezeki, Kepala Sekolah HAM Perempuan, untuk meminta pandangannya.
Gebrina menegaskan bahwa Sekolah HAM Perempuan mengutuk keras kasus tersebut. Menurutnya, kekerasan seksual dalam keluarga bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran berat terhadap nilai-nilai hak asasi manusia.
“Sekolah HAM memandang kasus kekerasan seksual dalam lingkup keluarga sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia, khususnya hak anak dan perempuan,” tegas Gebrina saat diwawancarai Nukilan.id pada Jumat (23/5/2025).
Ia juga menyoroti kecenderungan meningkatnya kasus kekerasan seksual di Aceh. Menurutnya, hal ini mencerminkan persoalan struktural dalam relasi kekuasaan di dalam keluarga serta lemahnya kontrol sosial yang ada di masyarakat.
“Meningkatnya kasus di Aceh menurut saya menunjukkan adanya ketimpangan kekuasaan dalam relasi keluarga dan lemahnya kontrol sosial.”
Gebrina menambahkan bahwa kasus ini seharusnya menjadi peringatan serius bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang-ruang publik, tetapi juga menyelinap ke dalam ruang privat yang selama ini sulit terjangkau oleh intervensi sosial.
“Ini menjadi alarm bahwa isu kekerasan seksual bukan hanya terjadi di ruang publik, tapi juga di ranah privat yang selama ini cenderung tertutup,” ujarnya.
Karena itu, Sekolah HAM menyerukan pentingnya pendidikan kesadaran hak asasi manusia sejak dini. Selain itu, sistem perlindungan terhadap korban, terutama anak-anak, harus diperkuat dan dibangun dengan perspektif keberpihakan pada penyintas.
“Sekolah HAM menekankan pentingnya pendidikan kesadaran HAM sejak dini dan memperkuat sistem perlindungan yang berpihak pada korban, termasuk anak-anak.”
Dalam konteks pencegahan, Gebrina menekankan bahwa komunitas dan lingkungan sekitar harus memainkan peran aktif sebagai garda terdepan dalam mendeteksi serta mencegah kekerasan seksual sejak dini.
“Komunitas bisa berperan aktif melalui berbagai hal. Pertama harus membangun sistem deteksi dini, seperti forum warga atau pos perlindungan anak,” katanya.
Selain itu, masyarakat perlu diberikan edukasi untuk mengenali tanda-tanda kekerasan seksual dan memahami prosedur pelaporannya.
“Kedua, peningkatan kesadaran masyarakat, lewat edukasi tentang tanda-tanda kekerasan seksual dan cara melaporkannya.”
Tak kalah penting, menurut Gebrina, adalah membangun budaya terbuka agar anak-anak merasa aman dan nyaman untuk bercerita tentang apa yang mereka alami.
“Ketiga, menguatkan budaya terbuka, ini juga penting agar anak-anak merasa aman berbicara tentang hal yang mereka alami.”
Dan terakhir, peran tokoh masyarakat serta tenaga pendidik harus diperkuat dengan pelatihan khusus, agar mereka mampu merespons secara tepat ketika menerima laporan dari anak.
“Terakhir, pelatihan bagi tokoh masyarakat dan guru. Agar mereka siap mengenali serta merespons laporan anak secara tepat.”
Kasus ini bukan hanya mengundang empati, tapi juga menuntut aksi nyata dari semua pihak. Kekerasan seksual dalam keluarga adalah kejahatan yang merusak generasi. Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat—dari lembaga pendidikan, aparat penegak hukum, hingga keluarga—bersatu dalam membangun sistem perlindungan yang adil, berperspektif korban, dan berkelanjutan. (XRQ)
Reporter: Akil