Sejarah Aceh, Mengapa Daud Beureueh Kecewa pada Pusat?

Share

Nukilan.id – Bibit perlawanan di Aceh telah ada sejak abad ke-19. Kala itu, Aceh menjadi kerikil dalam upaya pembulatan tanah jajahan oleh Belanda. Orang-orang Aceh terkenal keras kepala dalam mempertahankan tanah leluhur. Mereka adalah salah satu daerah terakhir yang menyerah pada pemerintah kolonial, itu pun setelah terjadi Perang Aceh yang brutal dan berlangsung sepanjang tiga dekade (1873-1904).

Saat Indonesia merdeka, Aceh dimasukkan menjadi salah satu wilayahnya. Rakyat Aceh berjasa besar bagi Republik lewat sumbangan dana untuk pembelian pesawat terbang Seulawah—pesawat pertama yang dimiliki Indonesia. Tapi keputusan Jakarta pada 1950, yang menurunkan status Aceh menjadi karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara, menyulut kekecewaan. Teungku Daud Beureueh, tokoh terkemuka Aceh dan bekas Gubernur Militer di masa Revolusi, menyatakan perlawanan terhadap Jakarta.

Sebenarnya, sebelum Daud Beureueh mengobarkan perlawanan, ia adalah tokoh pendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada akhir 1945, sempat terjadi pertentangan antara mereka yang mendukung Indonesia dan orang-orang yang berpihak ke Belanda. Para ulama (teungku) yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pimpinan Daud Beureueh berkonflik dengan kalangan bangsawan (teuku) yang pro-Belanda. Konflik ini memicu revolusi sosial yang dikenal dengan nama Perang Cumbok dan dimenangi kalangan teungku.

Faktor-faktor tersebut makin menambah kekecewaan Beureueh dan mempertebal keyakinannya untuk melakukan perlawanan. DI/TII Aceh memang berhasil dijinakkan pemerintah pada 1962, tapi bara konfliknya tidak pernah benar-benar padam.

Merasa Dibohongi

Daud Beureueh, yang meninggal pada 10 Juni 1987, tepat hari ini 34 tahun lalu, adalah ulama karismatik yang sangat disegani. Dikutip dari Ulama Aceh dalam perspektif sejarah (1983:92) karya Ismuha, pada 1 Januari 1950, Daud Beureueh resmi menjabat Gubernur Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS merupakan konsep kenegaraan yang diputuskan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tanggal 23 Agustus-2 November 1949 yang berujung pada pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir 1949.

Beberapa bulan setelah itu, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni pada Mei 1950. NKRI menaungi 10 provinsi berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1950.

Perubahan ini ternyata berimbas kepada Provinsi Aceh yang akan dileburkan menjadi Provinsi Sumatera Utara. Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi (2008:260) mengungkapkan, atas dasar itulah sejumlah perwakilan dikirim ke Aceh. Mereka adalah Mohammad Hatta (Wakil Presiden), Mohamad Natsir (Perdana Menteri), Sjafruddin Prawiranegara (Wakil Perdana Menteri), serta Mr. Asaat (Menteri Dalam Negeri).

Akan tetapi, Daud Beureueh dan beberapa ulama Aceh tidak sepakat dengan rencana peleburan itu. Djumala dalam Soft Power untuk Aceh (2013: 29) menjelaskan identitas Aceh sebagai negeri Islam tidak bisa disatukan dengan bagian yang tidak sealiran. Daud Beureueh dan kawan-kawan menginginkan Aceh menjadi kepengurusan tunggal dalam bentuk provinsi.

Menanggapi kedatangan para petinggi negara di Aceh, Daud Beureueh meminta agar dilakukan pertimbangan kembali terkait penyatuan Aceh menjadi bagian Sumatra Utara. Yang terjadi justru sebaliknya. Dikutip dari buku karya Djumala, Mohamad Natsir selaku perdana menteri malah membubarkan Provinsi Aceh secara resmi pada 23 Januari 1951.

Reaksi keras dari pun datang dari sejumlah tokoh Aceh yang oleh pemerintah pusat kemudian dikategorikan sebagai gerakan pemberontakan. Daud Beureueh, baik sebagai ulama atau pemimpin Aceh, memotori aksi perlawanan.

Daud Beureueh semakin kesal karena Presiden Sukarno, pada Juni 1948 pernah berjanji bahwa Aceh diperbolehkan menerapkan syariat Islam dan tetap menjadi salah satu provinsi di Indonesia. Merasa dibohongi, Daud Beureueh amat kecewa. Terlebih peran masyarakat Aceh dalam perjuangan amat besar, dari masa perlawanan terhadap penjajah, mendukung kemerdekaan RI termasuk dengan menyumbang dana pembangunan, hingga memberikan bantuan berupa pesawat terbang.

Munculnya gerakan DI/TII di Jawa Barat pimpinan S.M. Kartosoewirjo yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 semakin memantapkan Daud Beureueh untuk turut melawan. Dari Aceh, Daud Beureueh menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII yang dipelopori Kartosoewirjo.

Penyelesaian Masalah Sejarah mencatat bahwa gerakan DI/TII di Aceh pimpinan Daud Beureueh terjadi mulai 20 September 1953. Riset Harry Adi Darmanto bertajuk “Pemberontakan Daud Beureueh (DI/TII Aceh) Tahun 1953-1962” (2007) menyatakan kebijakan penyatuan Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara ditentang banyak kalangan. Daud Beureueh dan kelompoknya bahkan menuntut diberikannya hak otonom untuk Aceh.

Pemerintah pusat tidak tinggal diam menyikapi ini dan memutuskan untuk melakukan tindakan kepada DI/TII Daud Beureueh. Ada dua jalur yang ditempuh pemerintah pusat, yakni upaya militer dan diplomasi. Operasi militer dilakukan dengan menggelar “Operasi 17 Agustus” dan “Operasi Merdeka”.

Sedangkan cara diplomasi diterapkan dengan mengirim utusan ke Aceh untuk berdialog dengan Daud Beureueh dan kawan-kawan dalam upaya meredam perang saudara. Persoalan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai kendati harus melalui proses negosiasi yang alot dan melelahkan.

Negosiasi tersebut memutuskan bahwa Aceh diberikan hak otonomi sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam sebagai aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Tanggal 18-22 Desember 1962, sebuah upacara besar bertajuk “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA)” dihelat di Blangpadang, Aceh, sebagai simbol perdamaian.

Munculnya Konflik Baru

Ternyata, masalah belum sepenuhnya dapat diatasi. Beberapa mantan pengikut Daud Beureueh yang tetap bergerak melawan pemerintah pusat, salah satunya adalah Hasan Tiro. Menurut Neta S. Pane dalam Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (2001:10), Hasan Tiro melihat kenyataan pahit di mana rakyat Aceh lemah ekonomi dan pendidikannya kendati sudah menjadi bagian Indonesia.

Pada 30 Oktober 1976, Hasan Tiro mengadakan pertemuan di Pidie dengan beberapa mantan tokoh DI/TII dan para pemuda Aceh Di kaki Gunung Halimun, bahasan utama adalah tentang sumber daya alam Aceh yang dikeruk oleh industri asing atas izin pemerintah Indonesia.

Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM berlangsung sangat lama dan telah terlibat konflik dengan angkatan militer pemerintah pusat yang memakan belasan ribu korban jiwa. Penyelesaian masalah ini baru dapat dituntaskan pada 2005 melalui Perjanjian Helsinki.[tirto.id]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News