NUKILAN.ID | Banda Aceh – Saddam Rassanjani, mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh studi doktoral di Inggris, berbagi pengalamannya mengenai sistem akademik dan metode pembelajaran di Negeri Ratu Elizabeth. Saddam yang juga merupakan akademisi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala ini menceritakan sejumlah perbedaan dan keunggulan sistem pendidikan tinggi di Inggris.
Sebagai informasi, Inggris (United Kingdom/UK) menjadi salah satu destinasi studi luar negeri yang semakin diminati oleh mahasiswa Indonesia. Berdasarkan data Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun 2023, Inggris menempati posisi ketiga sebagai negara tujuan favorit bagi pelajar Indonesia.
Dalam wawancara bersama Nukilan.id pada Minggu (25/5/2025), Saddam menyoroti sistem pembelajaran yang sangat berbeda dibandingkan dengan sistem di Indonesia.
“Sistem pembelajaran di UK itu student-centered, artinya mahasiswa yang memegang kendali atas proses belajarnya,” ujar Saddam.
Meski berpusat pada mahasiswa, Saddam menegaskan bahwa bukan berarti para dosen melepas begitu saja proses pembelajaran. Justru sebaliknya, interaksi antara dosen dan mahasiswa di UK berjalan sangat dinamis dan bersifat profesional.
“Tapi bukan berarti dibiarkan begitu aja. Dosen di sini sangat suportif dan terbuka. Kita bisa berdiskusi langsung, bahkan via email atau janji temu. Relasinya nggak kaku, justru setara dan profesional,” tambahnya.
Menurut Saddam, salah satu hal yang paling ia sukai dari sistem akademik di UK adalah dorongan kuat terhadap partisipasi aktif mahasiswa. Bukan sekadar menyerap materi dari dosen, mahasiswa justru ditantang untuk terlibat lebih jauh dalam proses akademik, baik dalam kegiatan riset maupun pengajaran.
“Yang saya suka, mahasiswa didorong untuk aktif terlibat, bukan cuma menyerap. Kalau beruntung kita bisa ikut riset dosen, ngajar anak S1, bahkan ada diminta mengkritisi materi kuliah. Jadi benar-benar melatih berpikir kritis dan mandiri,” ungkapnya.
Saddam juga menyoroti atmosfer akademik yang terbuka, di mana ruang diskusi dan perbedaan pendapat menjadi bagian integral dari proses belajar.
“Suasana akademiknya juga lebih terbuka dan kritis. Di kelas atau seminar, kita didorong untuk berani mengemukakan pendapat,” katanya.
Di tengah budaya akademik yang menjunjung keterbukaan, mahasiswa tidak dibebani dengan ketakutan akan kesalahan. Sebaliknya, logika dan dasar argumentasi menjadi tolok ukur dalam setiap pendapat yang disampaikan.
“Nggak ada istilah takut salah, yang penting argumen kita logis dan punya dasar,” tutup Saddam.
Dengan pendekatan pembelajaran yang menekankan kemandirian, keterbukaan, serta relasi egaliter antara dosen dan mahasiswa, sistem pendidikan di UK memberikan pengalaman belajar yang tidak hanya akademis, tetapi juga membentuk karakter berpikir kritis dan profesionalisme pada setiap individunya. (XRQ)
Reporter: Akil