Riset Perguruan Tinggi di Aceh Masih Minim Terakomodasi dalam Kebijakan Pemerintah

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Riset dinilai belum menjadi fondasi utama dalam proses perencanaan pembangunan di Aceh. Sejumlah kebijakan pemerintah daerah selama ini dianggap lebih banyak lahir dari insting ketimbang dari basis data dan kajian ilmiah.

Hal tersebut sebelumnya disampaikan Ketua Fraksi Golkar DPR Aceh, Muhammad Rizky alias Adek. Ia menegaskan, pembangunan berbasis riset dan kajian akademik akan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan dibanding kebijakan yang hanya mengandalkan intuisi politik.

Menanggapi hal itu, peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI), Saddam Rassanjani, menyebut bahwa salah satu kendala mendasar terletak pada belum terbangunnya komunikasi yang efektif antara kalangan akademisi dan pembuat kebijakan.

“Salah satu penyebab mengapa riset perguruan tinggi di Aceh sejauh ini belum banyak terakomodasi dalam kebijakan pemerintah adalah adanya jarak komunikasi antara akademisi dan pembuat kebijakan,” kata Saddam saat dihubungi Nukilan.id, pada Senin (1/9/2025).

Menurut Saddam, kondisi tersebut membuat berbagai hasil penelitian tidak pernah keluar dari ruang akademik. Alih-alih menjadi rujukan dalam proses penyusunan kebijakan publik, riset hanya berhenti sebagai dokumen ilmiah yang dipublikasikan di jurnal atau disampaikan dalam seminar.

“Semua hasil penelitian berhenti sebatas menjadi publikasi di jurnal ilmiah atau seminar akademik tanpa adanya upaya penerjemahan menjadi sebuah produk rekomendasi kebijakan,” jelas Saddam yang juga merupakan akademisi FISIP USK.

Ia juga menyoroti bahwa tanggung jawab tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Di sisi akademisi sendiri, masih ada kecenderungan riset dilakukan sekadar untuk memenuhi tuntutan administratif, bukan sebagai upaya serius menghasilkan rekomendasi yang berguna bagi masyarakat.

“Kesalahan di sisi akademisi tidak serius menghasilkan riset berbasis rekomendasi, hanya sekedar melepaskan tekanan beban administrasi semesteran. Sedangkan pemerintah mungkin belum peka terhadap kehadiran publikasi-publikasi yang berkualitas,” ujar Saddam.

Lebih jauh, Saddam memaparkan bahwa problem riset di Aceh juga bersumber dari cara pandang kedua belah pihak. Pemerintah kerap melihat riset sebagai beban tambahan anggaran, sementara perguruan tinggi belum mampu mengarahkan riset menjadi instrumen strategis dalam pembangunan daerah.

“Dari sisi pemerintah, riset akan menjadi beban biaya yang baru, namun sejatinya ini merupakan investasi jangka panjang untuk mencegah adanya kebijakan yang asal-asalan,” katanya.

Sementara itu, perguruan tinggi pun menghadapi tantangan besar dalam memperkuat kapasitas peneliti. Menurut Saddam, sebagian penelitian justru diperlakukan sebatas aktivitas formal untuk mendapatkan insentif, bukan untuk menjawab persoalan konkret yang dihadapi masyarakat maupun pemerintah daerah.

“Dari sisi perguruan tinggi, tantangannya tentu adalah kapasitas peneliti. Riset selama ini dipandang hanya sebagai insentif belaka, tidak ada relevansi kebijakan yang mampu dihasilkan,” ungkapnya.

Karena itu, ia mengingatkan pentingnya transparansi dan kompetensi agar riset tidak bergeser menjadi sekadar proyek baru. Tanpa langkah serius memperkuat kualitas penelitian, riset dikhawatirkan justru kehilangan esensi sebagai basis pengetahuan dalam pembangunan.

“Khawatirnya malah menjadi agenda proyek baru. Maka transparansi perlu dikedepankan. Kompetensi peneliti harus menjadi faktor utama,” tutup Saddam. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News