Thursday, April 25, 2024

Revisi Qanun Jinayat Masuk Prolega 2022, Darwati: Semoga Kekerasan Seksual Berkurang

Nukilan.id – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Rabu (29/12/2021) telah menggelar Rapat Paripurna Penetapan Judul Rancangan Qanun Program Legislasi Aceh (Prolega) perioritas tahun 2022. Diantaranya, terdapat Rancangan Qanun Aceh tentang perubahan atas Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Qanun Jinayat.

Hal itu disampaikan Anggota DPRA Fraksi Partai Nanggroe Aceh (PNA), Darwati A. Gani kepada Nukilan.id di sela rapat paripurna di Gedung DPRA, Banda Aceh, Kamis (30/12/2021).

“Alhamdulilla revisi qanun jinayah masuk Prolega prioritas tahun 2022, dan saya rasa tidak terlalu berat, karena hanya merubah dua pasal dalam qanun tersebut yaitu pasal 47 dan 50. Kawan-kawan dari pengusul perubahan ini yang diinisiasi oleh Anggota DPR Aceh Komisi I dan kawan-kawan LSM, InsyaAllah  siap untuk membantu,” ungkap Darwati.

Perubahan tersebut, kata dia, untuk memperkuat Qanun Jinayat, dimana akhir-akhir ini perbuatan pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan sudah sangat mengkhawatirkan dan bisa dibilang darurat.

Menurutnya, kejahatan ini bisa digolongkan kepada kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena selain merusak masa depan anak dan perempuan juga merusak nilai-nilai syari’at Islam yang diberlakukan di Aceh.

Darwati menyebutkan, dalam qanun jinayat terdapat 10 jarimah yang diatur dalam Qanun Jinayat Aceh, yaitu Khamar; Maisir; khalwat; Ikhtilath; Zina; Pelecehan seksual; Pemerkosaan; Qadzaf; Liwath; dan Musahaqah.

Diantara kesepuluh jarimah tersebut, kata dia, hanya dua jarimah yang berkaitan dengan kekerasan terhadap tubuh orang lain, yaitu Pemerkosaan dan Pelecehan seksual.

“Yang menjadi masalah adalah, Jarimah pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam pasal 47 dan 50 Qanun Jinayat Aceh,” ungkap Darwati.

Berikut adalah pertimbangan perubahan untuk penguatan qanun dan memberikan efek jera bagi pelaku:

  1. Hukuman bagi pelaku selama ini sangat ringan, jika dibandingkan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Undang-Udang Perlindungan Anak ancamananya bisa maksimal 20 tahun, seumur hidup, atau bahkan hukuman mati, jika pelaku telah melakukannya berulang kali, atau terhadap banyak anak. Sedangkan qanun jinayah memberi peluang kepada pelaku untuk tidak dipenjara, yaitu cukup dicambuk saja. Setelah itu dia bisa kembali bebas dan bahkan berpotensi mengulang perbuatannya.
  2. Sistem pembuktian dibebankan kepada anak yang menjadi korban. Anak korban harus menunjukkan saksi yang melihat dia diperkosa atau dilecehkan, kalau tidak bisa maka kasus banyak yang dibebaskan. Padahal kita tau bahwa tidak mungkin pemerkosaan atau pelecehan dilakukan jika ditempat umum, ramai, pastii pelaku membawa korban ketempat sunyi dan sepi. Meskipun ada hasil visum dan keterangan psikolog, aparat penegak hukum, kerap mengabaikannya.
  3. Perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tidak ada dalam qanun jinayah. Qanun jinayah hanya berbicara bagaimana menghukum pelaku, tidak berbicara bagaimana melindungi dan pemulihan korban. Beda dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, anak yang menjadi korban berkewajiban/diajamin pemulihan, baik fisik, psikis bahkan lingkungan dan sosialnya.
  4. Qanun jinayah tidak menjamin hak pemulihan (restitusi) terhadap anak sebagai korban pelecehan seksuak, atau pemerkosaan. Beda dengan UU Perlindungan Anak, pelaku diwajibkan membayar restitusi terhadap korban.
  5. Qanun Jinayah tidak melihat atau memposisikan anak sebagai korban. Jika ada orang dewasa yang pacaran dengan anak dibawah umur, kemudian berhubungnan badan, maka anak juga akan diproses hukum dan diancam untuk dicambuk. Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, apapun bentuknya bagaimanapun caranya tidak dibenarkan ber hubungan dangan anak, jika terikat dengan hubungan pacaran pun dianggap sebagai tipu muslihat, dan yang akan dihukum hanya pelaku/orang dewasa.

Beranjak dari hal tersebut, tentunya perubahan qanun jinayat sesuatu yang harus dilakukan untuk mereda prilaku predator seks di Aceh yang sudah diluar akal sehat manusia. Kita berhadap agar pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat nantinya berjalan lancar dan dititikberatkan pada pasal 47 dan 50.

“Jadi niat kita revisi qanun jinayah yaitu untuk menguatkan qanun, karena selam ini kita sering mendengar adanya beberapa kasus kekerasan seksual dan pelaku kekerasan seksual itu bisa di bebaskan di saat di banding di mahkamah syariah dengan alas an tidak cukup bukti, yang namanya pemekorsaan mana ada bukti,” jelas Darwati.

Oleh karena itu, Politisi PNA ini sangat berharap, agar rancangan qanun ini dapat segera disahkan pada pertengahan tahun 2022 dan mendapat dukungan dari semua pihak.

“Minimal kasus kekerasan seksual bisa berkurang, dan setidaknya dari tahun ketahun bisa berkurang sehingga anak-anak Aceh itu bisa terlindungi. Kita juga memohon dukungan agar ada kemudahan bagi kami dalam menjalan proses ini berjalan dengan baik,” harap Darwati.

Reporter: Hadiansyah

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img