NUKILAN.id | Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa calon legislatif (caleg) terpilih tidak dapat mengundurkan diri untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) inkonstitusional bersyarat.
Artinya, caleg terpilih hanya diperbolehkan mundur jika mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum, seperti menteri, duta besar, atau pejabat publik lainnya.
Keputusan ini menuai pro dan kontra. Beberapa kalangan menilai aturan ini justru bisa membuka celah baru bagi praktik politik di belakang layar, seperti adanya “titipan” kandidat dari partai politik.
Namun, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Felia Primaresti, melihat aturan ini dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, secara kasat mata, aturan ini justru bisa mengurangi politik transaksional.
“Tapi lagi-lagi kan kita harus tahu juga bahwa politik itu tidak berjalan secara linear, bahwa artinya ketika kandidatnya berkurang terus otomatis politik transaksionalnya berkurang,” ungkap Felia kepada Nukilan.id pada Sabtu (22/3/2025).
Felia menekankan bahwa dinamika politik sering kali tidak bisa diukur secara langsung. Ada proses yang berjalan di balik layar, di luar jangkauan masyarakat luas.
“Kita nggak akan pernah tahu politik di belakang layar itu seperti apa,” katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ada teori yang menyebutkan bahwa dalam ranah politik, terdapat bagian-bagian tertentu yang memang tidak bisa diakses oleh publik.
“Jadi kemungkinan itu akan selalu ada, termasuk transaksional,” tambahnya.
Meski demikian, Felia menilai bahwa kunci utama dari permasalahan ini tetap kembali pada komitmen partai politik. Jika partai benar-benar berpegang pada nilai integritas, aturan ini seharusnya tidak perlu menjadi kekhawatiran.
“Kembali ke komitmen partai politik, bagaimana mereka nggak sekadar melakukan kerja elektoral, tapi juga soal komitmen dan integritas. Ketika kader mereka punya itu, seharusnya aturan ini tidak menjadi kekhawatiran,” jelasnya.
Sebagai solusi yang lebih adil, Felia menyarankan agar aturan ini diperjelas dengan mekanisme konsekuensi yang lebih tegas bagi anggota legislatif yang ingin maju dalam pilkada.
“Jadi misalnya kayak denda atau larangan jadi caleg di periode selanjutnya. Menurutku, setidaknya bisa menyeimbangkan bagaimana sistem pemilu secara umum harus menjaga komitmen legislator yang sudah terpilih ini tadi,” pungkasnya.
Aturan baru ini memang dimaksudkan untuk menjaga integritas pemilu, namun tanpa regulasi yang lebih tegas, masih ada celah bagi praktik politik transaksional. Pada akhirnya, kembali pada bagaimana komitmen partai politik dalam menjaga demokrasi yang sehat. (XRQ)
Reporter: Akil