Monday, April 29, 2024

Psikolog Yusniar: Menikah Bukan Hal Coba-coba di Usia Muda

Nukilan.id – Dalam perkembangan sebagai seorang individu, usia 19 tahun masih dalam rentang usia remaja. Secara psikologis, usia remaja adalah usia transisi dari peran yang sebelumnya adalah seorang kanak-kanak kemudian belajar memahami dan mempelajari bagaimana ia nantinya akan menjadi dewasa. Walaupun usia 19 sudah memasuki usia remaja akhir, hampir menjadi dewasa, namun perilaku, perasaaan dan pola pikir seorang remaja masih mendominasi.

Dalam hal ini, Psikolog di RSUD Meuraxa Yusniar Idris mengatakan, masa remaja disebut sebagai masa yang labil. Artinya, di mana seorang remaja masih fokus mencari jati dirinya, masih mudah terpengaruh, terutama bagi remaja perempuan, masih mudah ‘moody’.  Emosi remaja perempuan masih mudah bergejolak, mudah senang, dan gembira, kemudian mudah pula merasa sedih atau marah.

Jadi, bisa dibayangkan di saat sebagai seorang anak, si remaja perempuan masih bisa menunjukkan perilaku manja dan kolokannya di rumah bersama orang tuanya. Namun, dalam usia emosional masih mudah ‘moody’ dituntut harus bisa memahami dan mengurus orang lain. Maka, bisa memungkinkan untuk muncul stress dan kecemasan dalam diri remaja tersebut.

Ia juga menyampaikan, bila si remaja menikah dan menjalankan perannya sebagai istri apalagi sebagai seorang ibu. Pertanyaannya adalah bagaimana ia harus menjalankan peran tersebut dalam kondisi ia sendiri masih belajar untuk menjadi dewasa? Di mana orang dewasa sudah bisa mengontrol emosinya, sudah mengetahui tanggung jawab, dan bisa menjadikan orang lain sebagai fokus perhatiannya. Otomatis, seorang remaja belum mampu secara kapasitas, yakni secara psikologis dalam menjalankan peran orang dewasa.

“Ia masih dalam proses belajar, namanya belajar pasti ada jatuh bangun, masih ada salah dan ragu dalam bertindak dan seorang ibu tidak mungkin mengasuh anaknya dengan cara coba-coba, kan tidak mungkin saat anak menangis si ibu juga ikut menangis, pada akhirny ia bingung harus berbuat apa,” ucapnya saat diwawancarai Nukilan.id pada Selasa (30/1/2024).

Lanjutnya, kesiapan menikah memang tidak dibatasi oleh usia, ada juga perempuan berusia 30 tahun belum menikah dengan alasan belum siap menjalankan tugas sebagai istri ataupun seorang ibu. Demikian juga dengan laki-laki, ada yang sudah lebih dari 30 tahun tapi belum menikah karena merasa belum mampu bertanggung jawab secara lahir batin maupun materi terhadap istrinya nanti.

Akan tetapi, ada juga orang tua yang segera menikahkan anak perempuannya tamat SMP. Orang tuanya tidak mau anaknya terpengaruh pergaulan bebas, apalagi secara ekonomi tidak memungkinkan si anak untuk melanjutkan pendidikan. Namun, jika kembali kepada kesiapan psikologis, usia remaja memang belum memenuhi persyaratan tersebut. Sebenarnya banyak pilihan yang bisa dilakukan jika tidak melanjutkan Pendidikan setamat SMP. Di Aceh bisa dilihat dari beberapa remaja yang putus sekolah formal, ada pilihan untuk melanjutkan pembelajaran agama di dayah sebagai santri dan ini pilihan yang sangat tepat. 

“Di sana si remaja tidak hanya belajar agama, namun ia juga bisa mematangkan dirinya secara perilaku dan tanggung jawab karena biasanya hidup di dayah, mulai dari santri harus mandiri, memasak, mencuci baju, dan hal-hal lain yang harus dilakukan secara mandiri, ini sangat bagus jika pilihannya nanti adalah menikah bukan bekerja,” ujarnya lagi.

Ia juga menyebutkan, jika remaja perempuan menikah dengan laki-laki dewasa, kemungkinan si remaja akan ada yang membimbing dan mengarahkan di saat ia labil. Walaupun laki-laki yang menjadi pasangannya kemungkinan akan merasa lelah secara psikologis karena harus menghadapi dunia kerja yang pastinya tidak selalu mulus dan aman-aman saja. Ketika pulang ke rumah harus lagi menghadapi istri remajanya yang masih manja dan kolokan. Jadi, bisa diprediksikan remaja menikah dengan remaja. Pastinya yang akan lelah orang tua dari kedua belah pihak.

Perkembangan kematangan prefrontal cortex atau otak emosi ini memang masih masa tumbuh kembang dan menyempurnakan diri di bawah usia 20-an. Otak emosi yang belum matang pastinya juga belum siap jika dihadapkan dengan beberapa tugas yang harusnya dilakukan oleh otak dewasa yang sudah matang. Ibarat buah, jika belum matang rasanya pasti belum enak, kalaupun dipaksa untuk dimatangkan, dikarbit, rasanya pasti juga tidak enak. Hal ini bisa menyebabkan sakit perut ketika dimakan dan ini buah yang pasif perannya. Lalu bagaimana dengan otak manusia yang harus aktif dan proaktif dalam menghadapi begitu banyak tanggung jawab dan masalah? Ujung-ujungnya remaja yang menikah dini akan mudah mengalami stress dan kecemasan.

Di sisi yang sama, pendidikan mengenai hal tersebut sebaiknya disampaikan juga dalam dunia pendidikan di sekolah. Guru-guru memberikan pemahaman mengenai pergaulan dan bagaimana remaja perempuan bersikap dan bagaimana remaja laki-laki bersikap. Usia remaja memang dalam usia mulai aktif tertarik pada lawan jenis dan ini normal. Namun, pemahaman batasan pergaulan dan kedekatan haruslah diberikan pemahaman lebih oleh orangtua dan para pendidik.

Dalam tugas perkembangan remaja, secara psikologis memang belajar berperan, bersikap, dan mengenal lawan jenis. Akan tetapi, bukan berarti hal ini harus dilakukan dengan berpacaran. Belajar menjalankan peran sesuai dengan jenis kelaminnya bisa dilakukan dengan berteman. Jadi, remaja bisa belajar bagaimana berbicara atau bersikap santun dengan lawan jenis. Di sinilah orangtua, wali, dan pendidik sangat diperlukan untuk berperan aktif dalam memantau tumbuh kembangnya remaja.

“Tetapi bukan berarti bersikap seperti cctv yang memantau 24 jam, ini justru akan membuat remaja serba salah, cemas dan tertekan, tetapi berikan remaja pemahaman, buka ruang diskusi, dan kedekatan dengan anak remaja,” tambahnya.

 Kemudian, orang tua menempatkan dirinya seperti teman bagi anak remajanya sehingga si remaja bisa menjadikan orang tuanya tempat curhat dan berbagi cerita. Biasanya di usia ini, remaja sangat suka bercerita. Namun kebiasaan bercerita ini tidak terbentuk begitu saja, perlu dibangun pelan-pelan. Apalagi jika pada usia anak, orang tua kurang terbuka dengan anak-anaknya. Maka, hal yang dilakukan bisa berupa mendengar tanpa mengkritik, biarkan remaja sendiri yang nanti membuat kesimpulan mengenai apa yang dialaminya. 

“Jika orangtua terbiasa menilai membuat ‘judge’, maka remaja akan enggan bercerita, Bapak Ibu, jadilah teman si remaja, tempat mereka berbagi cerita, tempat curhat, dan berkeluh kesah jika kita ingin anak-anak remaja kita tetap dalam pemantauan kita walaupun tanpa cctv,” pungkasnya [Auliana Rizky]

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img