Presiden Jokowi Dianggap Setengah Hati dalam Wacana Revisi UU ITE

Share

Nukilan.id – Belum lama ini Presiden Joko Widodo menyatakan akan meminta DPR merevisi UU ITE kalau undang-undang ini tidak bisa memberikan keadilan bagi masyarakat.

Pernyataan tersebut sempat mendapat sambutan baik dari masyarakat, khususnya mereka yang pernah menjadi korban “pasal-pasal karet” UU ITE.

Berkumpul di acara “Mimbar Bebas Represi” yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil, para korban mengingat dan menceritakan kembali dampak pemidanaan dengan UU ITE yang mereka alami.

Salah satunya adalah Baiq Nuril. Ia merupakan korban UU ITE yang dilaporkan karena merekam dugaan pelecehan seksual oleh atasannya. Baiq Nuril berharap UU ITE betul-betul direvisi. Ia mengatakan sangat tak menyenangkan menjadi korban UU ITE.

Lalu komika Muhadkly Acho. Ia dilaporkan ke polisi setelah menulis kekecewaan membeli Apartemen Green Pramuka di blog pribadinya. Pelapor adalah kuasa hukum dari pihak pengembang.

Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan tiga kelompok yang paling sering menggunakan UU ITE untuk melaporkan ke polisi. Mereka adalah pejabat pemerintah, pengusaha, dan polisi.

“Menurut data yang kami terima orang yang paling banyak menggunakan Undang-Undang ITE ini tiga klaster tersebut,” kata Koordinator PAKU ITE, Muhammad Arsyad.

Menurut Koalisi, laporan menunjukkan penghukuman mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen (676 perkara).

Layaknya pemimpin yang mendengar aspirasi rakyat, khususnya yang menjadi korban, Jokowi menyatakan bakal merevisi UU ITE. “Karena di sini hulunya, hulunya di sini. Revisi,” kata dia pada 15 Februari 2021 lalu.

“Belakangan saya lihat semakin banyak warga masyarakat yang saling melaporkan, ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan,” tambah.

Namun, pernyataan Jokowi tersebut hanya membuat lega sementara. Sejumlah anak buahnya justru mengarahkan pada pembuatan pedoman interpretasi.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate menunjukkan bahwa pemerintah tak akan masuk ke urusan revisi UU ITE. Pemerintah menggeser isu revisi ke masalah interpretasi ketentuan dalam undang-undang tersebut.

“Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE,” kata Plate.

Sementara itu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md membentuk dua tim terkait polemik pasal-pasal karet dalam UU ITE.

Dua tim tersebut masing-masing bertugas membuat pedoman interpretasi dan mengkaji kemungkinan revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 itu.

“Satu tim yang bertugas untuk membuat interpretasi yang lebih teknis dan membuat kriteria implementasi dari pasal-pasal yang selama ini sering dianggap pasal karet,” kata Mahfud Md.

Menurut Mahfud, tim pertama ini melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate dan kementerian lain di bawah koordinasi Kemenkopolhukam.

Adapun yang kedua adalah tim rencana revisi UU ITE yang akan mendiskusikan kemungkinan revisi. Tugas tim ini, kata Mahfud, sejalan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mempersilakan agar kemungkinan revisi itu didiskusikan. “Kami akan mendiskusikan itu, mana pasal yg dianggap pasal karet, mana yang dianggap diskriminatif. Kami diskusikan secara terbuka.”

Mahfud Md mengatakan diskusi ini bakal melibatkan para pakar dan kelompok masyarakat sipil prodemokrasi. Ia mengklaim pemerintah akan mendengarkan semua masukan.

“Semua ahli akan didengar, LSM, gerakan prodemokrasi akan didengar untuk mendiskusikan benar enggak bahwa ini perlu revisi. Kalau memang perlu revisi mari kita revisi,” ujar Mahfud.

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menyoroti, langkah anak buah presiden yang alih-alih, mempersiapkan revisi, justru mengarahkan pada pembuatan pedoman interpretasi UU Nomor 11 Tahun 2008 itu.

“Ada dua kemungkinan. Jajaran di bawah Presiden tidak menangkap pesan Presiden dengan baik, atau memang sengaja didesain seperti ini,” kata Rivanlee.

Rivanlee mengatakan pembuatan pedoman interpretasi tak tepat dan justru berpotensi membuat ruang baru melakukan kriminalisasi. Ia mengatakan, pasal karet atau multitafsir dalam UU ITE harus dicabut jika pemerintah serius ingin dikritik sekaligus memberikan jaminan rasa keadilan bagi masyarakat.

(Sumber: Tempo.co)

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News