Potensi dan Dinamika Konflik di Pilkada Aceh 2024: Belajar dari Sejarah dan Mencari Solusi

Share

NUKILAN.id | Indepth – Pilkada di Aceh memiliki sejarah panjang terkait dengan konflik, kekerasan, dan intimidasi. Berdasarkan temuan awal, Sejak tahun 2006 hingga 2017, Aceh telah mengalami beberapa kali periode pemilihan kepala daerah (Pilkada), yakni tahun 2006, 2012 dan tahun 2017.  Pemilihan kepala daerah tersebut ternyata tidak dapat dilepaskan dari serangkaian tindakan kekerasan yang menyertainya.

Temuan awal dari berbagai sumber terpercaya menunjukkan bahwa Pilkada di Aceh tidak dapat dilepaskan dari rentetan tindakan kekerasan yang meliputi intimidasi dan konflik bersenjata. Konflik-konflik ini mencerminkan kompleksitas dinamika politik dan sosial di Aceh, yang dalam beberapa kasus mengakibatkan dampak serius terhadap proses demokrasi dan partisipasi masyarakat.

Pilkada 2006: Angka Kekerasan yang Minim

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2006 relatif minim kekerasan. Berdasarkan laporan Bank Dunia, kekerasan paling banyak terjadi di Banda Aceh, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah. Dalam pelaporannya, Bank Dunia menggunakan metodologi pemetaan konflik melalui surat kabar untuk merekam dan mengkategorikan semua laporan tentang insiden konflik di Aceh yang diberitakan di dua surat kabar daerah. Bank Dunia mempublikasikan perkembangan per bulan, sejauh mungkin didukung oleh kunjungan ke lapangan, yang terangkum dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Daerah dengan tingkat kekerasan tertinggi selama proses Pilkada Aceh 2006. (Diolah dari Bank Dunia)

Di Bener Meriah misalnya, daerah yang memiliki sejarah konflik GAM-RI, perbedaan etnis, dan permusuhan perseorangan ini, semakin diperparah oleh persaingan pilkada. Dua diantara kandidatnya dikenal sebagai mantan pemimpin kelompok antiseparatis yang saling bekerja sama selama konflik vertikal, namun kemudian keduanya bersaing dalam pemilihan 2006 dan menemukan basis pendukung yang berbeda diantara para mantan anggota kelompok anti-separatis. Satu orang kandidat yang didukung Komite Peralihan Aceh (KPA) juga maju dalam pemilihan. Situasi ini telah menghasilkan ketegangan tinggi di dalam kelompok antiseparatis, begitu pula antar kelompok-kelompok ini dan KPA.

Tidak hanya terjadi pada tahun 2006, konflik politik juga terjadi di tahun 2007. Pilkada Bupati Bireuen yang diadakan pada tanggal 25 Juni 2007, diwarnai ketegangan selama periode kampanye dan setelah pengumuman hasil. Pada bulan April, terjadi serangkaian peristiwa pelemparan granat. Penyerangan ini tampaknya bertujuan untuk mengintimidasi daripada melukai, karena granat dilempar ke gedung dan bukan ke arah orang-orang, serta tidak ada korban luka-luka.

Pilkada 2012: Tingginya Angka Kekerasan

Pilkada selanjutnya di tahun 2012 di Aceh tidak terlepas dari serangkaian tindakan kekerasan yang terjadi sebelum, selama, dan setelah pelaksanaan pilkada. Tindakan kekerasan ini terlihat meningkat selama masa kampanye, yang berlangsung dari tanggal 22 Maret hingga 5 April 2012. The Aceh Institute mencatat 77 kasus kekerasan yang terjadi selama masa pemilukada 2012.

Jumlah insiden kekerasan selama proses Pilkada Aceh 2012. (Diolah dari The Aceh Institute)

Pada masa pra-kampanye, tercatat ada 14 kasus kekerasan yang terjadi, menandakan awal yang tegang menjelang pemilihan. Situasi ini semakin memanas saat memasuki masa kampanye, di mana jumlah kasus kekerasan meningkat drastis menjadi 46 kasus. Setelah masa kampanye berakhir, di minggu tenang, situasi sempat mereda dengan tercatatnya 7 kasus kekerasan. Namun, ketegangan kembali meningkat saat hari pemungutan suara tiba, di mana terjadi 8 kasus kekerasan.

Setelah hari pemungutan suara berlalu, suasana mulai mereda dengan hanya terjadi 2 kasus kekerasan di masa pasca pencoblosan. Ini menunjukkan bahwa puncak ketegangan terjadi selama masa kampanye, dan kemudian berangsur menurun seiring berjalannya waktu menuju akhir proses pemilihan. Dalam pilkada ini, kekerasan politik mewarnai proses demokrasi yang seharusnya berjalan dengan damai. Serangkaian insiden kekerasan mencerminkan betapa tegangnya atmosfer politik saat itu. Kasus-kasus kekerasan ini tidak hanya merusak, tetapi juga menambah ketegangan di tengah masyarakat.

Pada 29 November 2011, kantor tim sukses calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan, di Jalan Teuku Daud Beureueh, Banda Aceh, menjadi sasaran pelemparan granat. Ledakan itu mengguncang kantor tersebut, menimbulkan ketakutan di kalangan anggota tim sukses dan masyarakat sekitar.

Selanjutnya, pada 10 Januari 2012, ketegangan meningkat dengan penembakan dan pelemparan bom molotov di rumah Misbahul Munir, calon Wakil Bupati Aceh Utara, yang terletak di Desa Kude Kreung, Kecamatan Kuta Makmur. Serangan ini mengguncang komunitas setempat dan menambah suasana tegang yang sudah ada. Tak lama setelah itu, pada 8 Maret 2012, Saifuddin Yunus menjadi korban penembakan oleh orang tak dikenal. Insiden ini semakin menambah daftar kekerasan yang mengerikan dalam pilkada tahun tersebut.

Menurut Pengamat Politik dan Antropolog Aceh, Teuku Kemal Pasya, kekerasan yang melanda Pilkada Aceh 2012 tidak lepas dari beberapa faktor. Pertama, masalah utamanya adalah regulasi UUPA Pasal 256 tentang calon independen. Pada saat itu, Pasal 256 menyatakan bahwa calon independen hanya dapat muncul sekali dan tidak bisa diulang pada pilkada berikutnya. Namun, pasal ini kemudian mengalami judicial review, yang memungkinkan calon independen muncul kembali di setiap momen pilkada. Perubahan regulasi ini menimbulkan ketegangan, terutama ditambah dengan adanya provokasi dari kelompok yang menolak pencalonan Irwandi sebagai gubernur petahana.

Kedua, situasi keamanan pada Pilkada 2012 juga sangat longgar. Teror seperti pembunuhan terhadap masyarakat etnis Jawa dan penembakan oleh orang tidak dikenal (OTK) sering terjadi, yang diduga sebagai upaya untuk menunda pelaksanaan pilkada.

“Pada saat pilkada 2012 situasi keamanan pada saat itu emang agak longgar, hal ini kita lihat kan ada beberapa terror yang misalnya pembunuhan terhadap masyarakat etnis jawa dan beberapa orang yang juga ditembak oleh OTK. Dan sebenarnya pembunuhan-pembunuhan itu sangat berhubungan dengan upaya agar terjadi penundaan pilkada,” kata Teuku Kemal Pasya saat diwawancarai Nukilan.id pada Jumat (6/9/2024).

Selain itu, berdasarkan Jurnal Hubungan Internasional Universitas Airlangga ditemukan 4 faktor lain yang menyebabkan tingginya angka kekerasan pada Pilkada Aceh tahun 2012. Pertama, terpecahnya GAM menjadi dua kelompok. Kekerasan yang terjadi pada Pilkada Aceh 2012 salah satunya disebabkan oleh perpecahan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi dua kelompok sejak tahun 2006. Perpecahan ini bermula pada Pemilihan Gubernur Aceh pasca MoU Helsinki, ketika unsur-unsur GAM mulai terlibat dalam kontestasi politik. Saat itu, petinggi GAM yang berbasis di Swedia, di bawah pimpinan Malik Mahmud (Wali Nanggore Aceh), mendukung pencalonan DR. Ahmad Humam Hamid sebagai Gubernur dan Drs. Hasbi Abdullah sebagai Wakil Gubernur.

Namun, kelompok mantan kombatan GAM yang berada di Aceh memiliki pandangan berbeda. Mereka mengusung drh. Irwandi Yusuf, mantan utusan GAM dalam lembaga AMM (Aceh Monitoring Mission) pasca-MoU, sebagai calon Gubernur dengan Muhammad Nazar, aktivis SIRA yang dekat dengan GAM, sebagai calon Wakil Gubernur. Perpecahan ini memicu konflik internal yang mengarah pada kekerasan. Kemenangan Irwandi Yusuf pada Pilkada 2006 dianggap sebagai pengkhianatan oleh sebagian petinggi GAM. Mereka merasa kemenangan ini mencoreng nama besar GAM dan bertekad merebut kembali posisi Gubernur pada Pilkada 2012.

Pada Pilkada 2012, Irwandi Yusuf kembali mencalonkan diri bersama DR. Ir. Muhyan Yunan sebagai Wakil Gubernur. Di sisi lain, dr. Zaini Abdullah, petinggi GAM yang bermukim di Swedia, mencalonkan diri sebagai Gubernur dengan Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM, sebagai Wakil Gubernur. Perpecahan ini terus berlanjut, bahkan setelah Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Kekerasan antara kedua kubu, termasuk konflik antara Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA), yang dibentuk oleh Irwandi Yusuf setelah kekalahannya, berlanjut hingga Pemilu Legislatif (Pileg) 2014.

Kedua, masalah reintegrasi kedalam masyarakat. Selain perpecahan internal, kekerasan di Aceh juga disebabkan oleh masalah reintegrasi yang belum optimal. Salah satu isi penting dari MoU Helsinki adalah jaminan reintegrasi bagi mantan kombatan GAM, tahanan politik, dan masyarakat sipil yang terdampak konflik. Mereka dijanjikan alokasi tanah, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari pemerintah.

Namun, implementasi dari kesepakatan ini belum terlaksana secara merata. Dana reintegrasi yang dibagikan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sering kali dianggap tidak adil. Alokasi yang tidak merata ini memicu kecemburuan di antara mantan kombatan GAM, dan memperdalam ketimpangan ekonomi di masyarakat. Akibatnya, kekerasan terus meningkat, terutama menjelang pemilu, karena ketidakpuasan terhadap proses reintegrasi yang dianggap tidak adil.

Ketiga, kasus pelanggaran ham yang belum terselesaikan. Setiap tahun, pada peringatan perdamaian Aceh tanggal 15 Agustus, masyarakat korban konflik terus menuntut agar kasus-kasus pelanggaran HAM diselesaikan. Namun, hingga kini, penegakan HAM di Aceh berjalan sangat lambat. Salah satu upaya yang diharapkan dapat mempercepat proses ini adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh, yang seharusnya berdasarkan Qanun Nomor 17 Tahun 2013. Namun, meskipun sudah menjadi perintah undang-undang, KKR belum terbentuk, dan hal ini menghambat penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik di Aceh.

Ketiadaan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM ini memperburuk proses perdamaian di Aceh dan dapat memicu munculnya konflik baru. Para korban penyiksaan dan kekerasan merasa bahwa keadilan bagi mereka belum terpenuhi, sehingga ketegangan tetap ada di masyarakat.

Terakhir, lemahnya penegakan hukum di Aceh. Tingginya kekerasan di Aceh, baik pada saat Pilkada maupun menjelang Pemilu Legislatif, juga dipengaruhi oleh lemahnya penegakan hukum di daerah tersebut. Banyak kasus kekerasan bermotif politik yang tidak diselesaikan oleh pihak berwenang, terutama karena dianggap dapat mengganggu proses perdamaian yang sudah rapuh.

Polisi sering kali enggan membongkar kasus kekerasan bermotif politik karena khawatir dampak negatif yang mungkin muncul. Selain itu, penegakan hukum di Aceh juga dihambat oleh Undang-Undang Pemerintah Aceh, yang menyatakan bahwa pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) harus mendapatkan persetujuan Gubernur. Hal ini menyebabkan adanya intervensi politik dalam proses penegakan hukum, yang pada akhirnya melemahkan upaya untuk menindak tegas para pelaku kekerasan.

Pilkada 2017: Penurunan Kekerasan yang Signifikan

Pada Pilkada Aceh 2017, yang merupakan pilkada ketiga di Aceh. Kekerasan masih mewarnai proses demokrasi di Aceh. Data dari Kajian Perludem mengungkapkan adanya 26 kasus kekerasan, sementara Bawaslu RI mencatat 9.592 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Aceh sebagai daerah rawan. Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie menjadi daerah yang paling sering terjadi kekerasan, dengan Bireuen juga termasuk dalam daftar daerah rawan menurut Bawaslu RI.

Dalam 26 kasus kekerasan tersebut, distribusi pelaku dan korban sangat bervariasi. Kader Partai Nasional Aceh (PNA) terlibat dalam 40% dari kasus kekerasan, baik sebagai pelaku maupun korban. Kader Partai Aceh (PA) menyumbang 27% kasus, sementara 23% kasus melibatkan orang tak dikenal. Sementara itu kasus selebihnya melibatkan penyelenggara pemilu, tim sukses berbagai calon, dan kader Partai Golongan Karya (Golkar) juga tercatat dalam statistik.

Distribusi pelaku dan korban kekerasan di Pilkada Aceh 2017. (Diolah dari berbagai sumber)

Data dari Perludem mengungkapkan bahwa dari 26 kasus kekerasan dalam pilkada 2017, terdapat tujuh insiden tragis yang mencerminkan suasana tegang selama proses pemilihan. Ini menunjukkan bagaimana pertarungan politik dapat memicu aksi kekerasan. Pada 28 Mei 2016, insiden tragis terjadi di Gampoeng Cot Usie ketika Abdul Muthaleb, seorang relawan Sahabat Tarmizi Karim, menjadi korban penikaman oleh orang tak dikenal. Luka tikam yang diderita Abdul pada bagian punggung mencerminkan tingkat ketegangan yang meningkat menjelang pilkada.

Tak lama setelahnya, pada 5 Agustus 2016, Ridwan Usman, seorang anggota tim sukses calon bupati Aceh Timur dari Partai Aceh (PA), mengalami penembakan di Gampong Kuala Peudawa Puntong, Kecamatan Idi Rayeuk. Meskipun insiden ini tidak menimbulkan korban jiwa, penembakan tersebut menambah catatan kekerasan dalam proses pemilihan. Tanggal 30 Agustus 2016 juga tercatat sebagai hari penuh ketegangan, ketika Mustafa bin Abdullah, Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Aceh Timur, dikeroyok oleh tim sukses calon bupati Ridwan Abubakar. Pengeroyokan ini dipicu oleh dugaan ketidaknetralan Mustafa dalam verifikasi faktual pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dukungan, menunjukkan betapa tinggi tensi politik saat itu.

Selanjutnya, pada 7 September 2016, Anwar Hidayat, anggota Komite Independen Pemilihan (KIP) Bener Meriah, menjadi korban pemukulan oleh Ketua KIP Bener Meriah, Iwan Kurnia. Ketidakpuasan Iwan terhadap Anwar yang dianggap tidak memberikan data petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan PPS memicu insiden ini, menambah daftar kekerasan yang terjadi dalam pilkada. Pada 3 November 2016, bentrokan fisik meletus di Kabupaten Aceh Jaya antara massa pendukung Partai Aceh (PA) dan kader Partai Golkar. Bentrokan ini melibatkan penggunaan senjata tajam dan dipicu oleh aksi saling merusak atribut kampanye, menandai eskalasi kekerasan yang semakin mengkhawatirkan.

Beberapa hari kemudian, pada 12 November 2016, tim sukses pasangan calon Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah mengalami penembakan oleh orang tak dikenal di Kabupaten Pidie. Meskipun tidak ada korban jiwa yang dilaporkan, peristiwa ini semakin menambah catatan kekerasan dalam pilkada. Puncaknya, pada 14 November 2016, rumah tim sukses pasangan calon Rusli M. Saleh-T. Islah di Bener Meriah digranat oleh orang tak dikenal. Satu unit mobil bertuliskan nama pasangan calon terkena serpihan granat dalam insiden ini, menandakan betapa tinggi ketegangan yang mengitari Pilkada Aceh 2017.

Rangkaian peristiwa kekerasan ini memberikan gambaran yang jelas tentang ketidakstabilan dan ketegangan politik yang terjadi selama Pilkada Aceh, menggarisbawahi perlunya upaya lebih lanjut untuk menjaga keamanan dan integritas dalam proses pemilihan.

Berbeda dengan Pilkada 2012, Pilkada 2017 menunjukkan penurunan kekerasan yang signifikan. Teuku Kemal Pasya mengungkapkan bahwa ada beberapa alasan utama di balik perbaikan tersebut. Pertama, pada saat itu Presiden Jokowi memberikan instruksi tegas agar pilkada dapat berjalan aman, tanpa toleransi terhadap provokasi. Hal ini mendorong aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, untuk bertindak secara maksimal dalam menjaga keamanan, termasuk pengawalan ketat hasil penghitungan suara.

Kedua, aparat keamanan pada Pilkada 2017 sudah lebih siap dan antisipatif, sehingga upaya teror dapat diatasi sebelum berkembang. Berbeda dengan Pilkada 2012, di mana penegakan hukum masih lemah dan baru dilakukan setelah pilkada selesai. Ketiga, tidak ada lagi konflik regulasi yang menghambat pelaksanaan pilkada pada tahun 2017. Peraturan yang ada sudah matang dan jelas.

“Terakhir, tentu saja pola pikir masyarakat, bahwa masyarakat kita pun semakin berani, kita lihat sekarang masyarakat semakin tidak terpapar oleh provokasi, masyarakat tidak mudah lagi untuk ditakut-takuti oleh pihak-pihak tertentu. Jadi semua faktor ini mendorong kepada pilkada yang lebih kondusif pada 2017,” ungkap Teuku Kemal Pasya.

Akar Permasalahan Konflik di Pilkada Aceh

Fajran Zain, seorang peneliti politik BRIN, mengatakan bahwa kekerasan yang mewarnai Pilkada Aceh dapat disebabkan oleh tiga akar permasalahan utama. Pertama, dinamika pasca-konflik yang masih membekas. Meskipun konflik bersenjata telah berakhir, sisa-sisa trauma dan pengaruh mantan kombatan serta kelompok-kelompok terkait masih sangat terasa dalam proses politik Aceh.

Kedua, kultur kekerasan dalam politik, di mana kekerasan dianggap sebagai strategi yang efektif untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan serta mengintimidasi lawan, menunjukkan kegagalan dalam menciptakan demokrasi yang damai dan inklusif setelah konflik.

“Terakhir, keterbatasan penegakan hukum turut memperburuk situasi, karena lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan memperkuat impunitas dan mendorong terulangnya kekerasan dalam pemilihan berikutnya,” tutur Fajran saat diwawancarai Nukilan.id pada Jumat (16/8/2024).

Upaya Pencegahan Konflik di Pilkada 2024

Pada tahun 2024, Aceh akan kembali melaksanakan Pilkada yang keempat sejak perdamaian tercapai. Pada Pilkada kali ini, terdapat dua pasangan calon yang akan bersaing. Pasangan pertama, Muzakir Manaf atau Mualem, berpasangan dengan Fadhlullah. Pasangan ini diusung oleh sejumlah partai besar, yaitu Partai Aceh, PNA, Gerindra, Demokrat, PKS, PDIP, PKB, PSI, Partai Ummat, Garuda, dan Gabthat. Sementara pasangan kedua, Bustami Hamzah berpasangan dengan Muhammad Yusuf A. Wahab, yang dikenal dengan Tu Sop. Pasangan ini didukung oleh Partai Nasdem, Golkar, PAN, PAS Aceh, dan PDA. Keduanya telah resmi mendaftar ke KIP Aceh pada 29 Agustus 2024.

Teuku Kemal Pasya menyatakan bahwa kontestasi antara dua pasangan calon ini memiliki potensi untuk memicu kekerasan. Namun, ia optimis bahwa situasinya tidak akan seburuk Pilkada sebelumnya. Meskipun ketegangan mungkin muncul, pengalaman dari Pilkada sebelumnya serta meningkatnya perhatian terhadap keamanan di Aceh membuat potensi kekerasan lebih terkendali. Salah satu contohnya adalah insiden pelemparan granat di rumah Bustami Hamzah (2/9/2024) lalu, segera mendapat perhatian aparat keamanan meskipun pada saat ini hasilnya belum jelas.

“Misalnya kasus teror pelemparan granat di rumah Bustami. Ini kemudian mendapatkan reaksi cepat dari aparat keamanan untuk mengungkapnya, walaupun sampai sekarang belum jelas hasilnya,” kata Teuku Kemal Pasya.

Teuku Kemal Pasya juga menekankan beberapa langkah konkret untuk memitigasi potensi kekerasan. Pertama, Penjabat Gubernur Aceh harus memastikan agar pilkada berlangsung dengan baik dan menegaskan netralitas ASN. Kedua, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh selaku penyelenggara, harus aktif mengkampanyekan pilkada damai untuk menjaga kualitas demokrasi dan perdamaian Aceh. Ketiga, aparat keamanan perlu meningkatkan kesiapsiagaan dan mengantisipasi potensi konflik dengan cermat, melakukan pendekatan sosial-politik untuk meredakan ketegangan serta penegakan hukum yang terukur agar memberikan efek jera kepada pelaku.

“Ketika sudah muncul potensi konflik, lebih bagus dilakukan adalah early social-political warning, yaitu pola pendekatan sosial politik secara cepat untuk meredakan, disamping itu tentu saja dengan penegakan hukum yang terukur. Jadi misalnya kasus seperti penggatanan rumah bustami itu ya tinggal diungkap saja sehingga tidak merugikan pihak manapun. Karena kalau kekerasan ini diberikan toleransi tentu para pelaku akan mencoba lebih dalam lagi melakukannya,” tutur Teuku Kemal Pasya.

Sememntara itu, Fajran Zain, peneliti di Polik BRIN, mengemukakan pentingnya kolaborasi antara partai lokal dan partai nasional dalam mengantisipasi kekerasan pada Pilkada 2024. Menurutnya, kolaborasi ini merupakan strategi kunci untuk menghindari polarisasi yang bisa memecah belah masyarakat dan meningkatkan risiko kekerasan.

“Dulu, kontestasi politik di Aceh sering kali menjadi ajang oposisi antara kepentingan Aceh dan pusat, yang sering kali menimbulkan ketegangan,” ujarnya.

Fajran mengamati adanya perubahan positif dalam pola kolaborasi politik. Misalnya, pada Pilkada 2017, Irwandi Yusuf dari Partai Nanggroe Aceh (PNA) berpasangan dengan Nova Iriansyah dari Partai Demokrat, sementara Muzakir Manaf (Mualem) dari Partai Aceh berkoalisi dengan TA Khalid dari Gerindra. Kolaborasi semacam ini, menurutnya, berhasil mengurangi polarisasi dan risiko konflik. Fajran menegaskan bahwa upaya serupa perlu terus didorong untuk menciptakan suasana Pilkada yang damai dan harmonis.

Mitigasi Kekerasan dan Pengamanan di Pilkada 2024

Dalam upaya memitigasi dan menanggulangi potensi kekerasan selama Pilkada 2024, Dedy Andrian, SE, MM, Kepala Bidang Penanganan Konflik dan Kewaspadaan Nasional Kesbangpol Aceh, mengungkapkan pentingnya peningkatan literasi digital dan non-digital di kalangan masyarakat.

“Pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk menggunakan bahasa dan tulisan yang mendukung perdamaian serta menyebarkan pesan-pesan damai. Partisipasi aktif dalam menyebarkan informasi positif menjadi kunci,” kata Dedy dalam wawancara bersama Nukilan.id, Senin (26/8/2024).

Dia juga menyoroti pergeseran fenomena media saat ini. “Dulu, masyarakat sering kali mengangkat berita dari media sosial dan menjadikannya isu. Sekarang, media juga dapat mengambil postingan individu di media sosial dan menjadikannya berita. Karena itu, kesadaran untuk memposting berita yang membawa pesan damai sangat penting.”

Tak hanya itu, Pemerintah Aceh, melalui Kesbangpol Aceh, telah melakukan berbagai upaya mitigasi untuk menekan potensi konflik dalam Pilkada Aceh 2024. Dilansir dari laman resmi Kesbangpol Aceh, sejak 2023 lalu berbagai program telah digelar untuk mendukung pemilihan yang damai dan demokratis.

Pada awal Februari 2023, Kesbangpol Aceh menyelenggarakan sosialisasi pendidikan politik bagi pemilih pemula di SMA Negeri 8 Takengon. Kegiatan ini bertujuan untuk membekali pelajar yang akan memberikan suara pada Pemilu dan Pilkada 2024 dengan pengetahuan yang tepat tentang proses politik.

Selanjutnya, pada 17 Mei 2023, Kesbangpol Aceh mengadakan acara “Edukasi Literasi Damai” di Kabupaten Gayo Lues. Puluhan peserta dari berbagai elemen masyarakat menghadiri kegiatan ini, yang fokus pada memperkuat pemahaman tentang pentingnya menjaga stabilitas politik dan keamanan daerah menjelang Pemilu dan Pilkada 2024.

Pemerintah Aceh juga menegaskan komitmen mereka untuk mendorong pemilihan yang transparan dan demokratis. Dalam peluncuran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang diselenggarakan oleh KIP Aceh pada 28 Mei 2024, Bustami Hamzah yang saat itu masih menjabat sebagai Pj Gubenrur menekankan pentingnya pelaksanaan pemilihan yang adil.

Selain itu, sinergisitas semua pihak juga terus didorong. Kepala Badan Kesbangpol Aceh, Dedy Yuswadi, AP, dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) pada 18 Juli 2024, menegaskan pentingnya kerjasama menjelang Pilkada Serentak untuk menjaga stabilitas daerah.

Hal senada juga dilakukan oleh Biro Hukum Setda Aceh, mereka telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mencegah dan menangani potensi konflik kekerasan selama Pilkada 2024 di Aceh. Meskipun tanggung jawab utama penyelenggaraan Pilkada berada pada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Kabupaten/Kota, serta pengawasan oleh Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota, dan pengamanan oleh Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda, namun Biro Hukum Setda Aceh juga berperan penting dalam mendukung kelancaran proses ini.

Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Muhammad Junaidi, menjelaskan bahwa pihaknya telah menyelesaikan beberapa naskah perjanjian penting, termasuk Naskah Perjanjian Hibah Aceh (NPHA) antara Pemerintah Aceh dengan Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda, terkait pelaksanaan dana hibah untuk penyelenggaraan Pilkada 2024.

“Selain itu, Biro Hukum juga terlibat dalam pembuatan Keputusan Gubernur Aceh mengenai penetapan penerima hibah kepada kedua institusi keamanan tersebut.” Kata Junaidi saat dimintai keterangan oleh Nukilan.id, Jumat (23/8/2024).

Junaidi menambahkan bahwa semua dokumen terkait sudah rampung dan diserahkan, memastikan bahwa dana untuk pengawasan Pilkada juga telah dihibahkan kepada Panwaslih Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota.

“Meskipun demikian, Panwaslih masih dapat mengakses bantuan hukum dari Biro Hukum jika diperlukan, khususnya terkait pemahaman regulasi Pilkada,” tambahnya.

Dalam konteks akses bantuan hukum, Junaidi menekankan pentingnya koordinasi antara pihak yang membutuhkan bantuan hukum dengan penyelenggara Pilkada, pengawas, dan pengaman, yaitu KIP, Panwaslih, serta Kodam IM dan Polda Aceh. Biro Hukum berharap bahwa kolaborasi yang solid antara semua pihak akan memastikan Pilkada Aceh berlangsung demokratis, bebas, rahasia, serta jujur dan adil. Harapannya, Pilkada 2024 dapat menghasilkan pemimpin yang amanah dan memiliki legitimasi kuat untuk memimpin Aceh dan kabupaten/kota ke depan.

Sementara itu, dalam upaya menjaga keamanan dan ketertiban selama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh 2024, Polda Aceh selaku pihak keamanan akan melaksanakan operasi kewilayahan dengan sandi “Mantap Praja Seulawah-2024”. Operasi ini akan dimulai pada 27 Agustus 2024 dan berlangsung selama 66 hari hingga 21 Desember 2024.

Menurut penjelasan Karo Ops Polda Aceh, Kombes Pol. Heri Heriyandi, S.I.K., sebanyak 10.350 personel Polri akan dilibatkan dalam berbagai kegiatan operasi, mulai dari upaya preemtif, preventif, hingga penegakan hukum.

“Operasi ‘Mantap Praja Seulawah-2024’ dirancang untuk menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat yang kondusif. Kami akan mengedepankan tindakan preemtif dan preventif, didukung oleh intelijen, penegakan hukum, kehumasan, serta bantuan operasional,” ujar Kombes Heri Heriyandi saat rapat koordinasi terpadu di ruang Badan Anggaran DPR Aceh.

Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi I DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky, pada Senin (5/8/2024) lalu, juga dibahas tentang penugasan personel untuk pengamanan pasangan calon kepala daerah. Masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur akan mendapatkan pengamanan dari 10 personel, sedangkan pasangan calon bupati/wakil bupati serta wali kota/wakil wali kota akan didampingi oleh 5 personel.

Polda Aceh juga telah melakukan pemetaan terhadap tingkat kerawanan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di provinsi tersebut. Berdasarkan data sementara, terdapat 10.814 TPS yang tergolong kurang rawan, 1.957 TPS rawan, dan 91 TPS yang sangat rawan.

“Kami akan mengerahkan 10.350 personel Polri, didukung oleh 4.799 personel TNI dan 25.782 anggota Linmas, untuk memastikan keamanan dan kelancaran pelaksanaan Pilkada di seluruh wilayah Aceh,” lanjut Kombes Heri.

Selain itu, pada Pilkada 2024, setiap TPS akan melayani maksimal 600 pemilih, berbeda dari Pemilu Februari lalu, di mana satu TPS hanya melayani 300 pemilih.

Hal ini dibenarkan oleh Subbid Penmas Bidhumas Polda Aceh, Kompol Yasir. Saat diwawancarai, Kompil Yasir mengungkapkan bahwa menjelang Pilkada, pihak keamanan telah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk mencegah konflik dan kekerasan. Menurutnya pihak keamanan, yang melibatkan ribuan personil dari TNI dan Linmas, telah mempersiapkan berbagai langkah untuk menjaga keamanan selama Pilkada. Ia mengatakan Linmas akan ditempatkan di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan dua personil per TPS, sementara TNI akan memperkuat pengamanan di area Ring 2 dan wilayah-wilayah strategis lainnya.

“Kami pastikan kondisi Aceh saat ini sangat aman, dan kami berharap situasi ini terus berlanjut,” ujar Kompol Yasir saat dimintai keterangan oleh Nukilan.id, Rabu (14/8/2024).

Ia mengatkan dalam rangka memastikan kesiapan personil, dilakukan pelatihan intensif sebelum operasi. Operasi Mantap Praja Seulawah 2024, sandi operasi untuk Pilkada, melibatkan latihan keterampilan bagi seluruh personil Polres dan Polda, termasuk pelatihan pengamanan di TPS.

“Dengan pelatihan ini, anggota yang ditugaskan sudah memahami dan mengerti tugas mereka secara mendalam. Mereka siap bertindak jika menemui pelanggaran,” pungkasnya.

Selain Polda Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai penyelenggara Pilkada Aceh 2024 juga telah mengambil berbagai langkah untuk mengkampanyekan pilkada damai demi menjaga kualitas demokrasi dan perdamaian di Aceh. Hendra Darmawan, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat (Sosdiklihparmas), menjelaskan bahwa pihaknya aktif menyebarkan informasi melalui sosialisasi langsung maupun melalui platform media sosial KIP Aceh, seperti Facebook, YouTube, Instagram, X, dan situs web resmi.

“Kami menyarankan masyarakat untuk mempercayai informasi yang disampaikan oleh KIP Aceh, dengan tujuan meminimalisir konflik dan kekerasan,” kata Hendra saat wawancara bersama Nukilan.id, Senin (26/8/2024).

Menurut Hendra, penyebaran informasi positif sangat penting untuk mendukung pelaksanaan Pilkada serentak 2024 yang damai. Selain itu, KIP Aceh juga telah meluncurkan tagline kampanye pilkada damai, yakni “Pilkada Tapeukong Aceh Mulia.” Tagline ini memiliki makna bahwa Pilkada merupakan sarana untuk mempersatukan masyarakat Aceh secara mulia.

KIP Aceh juga membentuk media center sebagai bentuk kerjasama dengan para jurnalis atau media untuk menyampaikan informasi secara lebih luas melalui media online, elektronik, dan cetak.

“Ini adalah langkah yang sangat positif, karena melalui platform media, jurnalis dapat menyebarkan informasi penting kepada masyarakat,” ungkap Hendra.

Untuk lebih meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat, Divisi Sosdiklihparmas juga merancang sejumlah program sosialisasi inovatif, efektif, dan efisien. Program pertama adalah “Haba Pilkada Aceh 2024,” yang fokus pada penyebaran informasi terkait Pilkada. Program kedua, “Poh Cakra KIP Aceh,” bertujuan menjaring masukan dari masyarakat yang akan menjadi tolok ukur pelaksanaan Pilkada 2024.

Program ketiga, “KIP Aceh Meupep-pep,” merupakan bentuk sosialisasi langsung di pusat keramaian seperti pasar dan acara publik, di mana KIP akan memberikan informasi langsung terkait Pilkada. Program keempat adalah acara nonton bareng film Pilkada 2024 berjudul “Tepatilah Janji,” yang diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat mengenai pentingnya Pilkada yang jujur dan damai.

“Itulah kegiatan-kegiatan yang sudah dan yang akan dilakukan oleh KIP Aceh untuk menunjang pelaksanaan Pilkada Aceh 2024 aman, damai dan demokratis,” tutup Hendra.

Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih Aceh) juga tak ketinggalan. Muhammad, SE, Koordinator Devisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi di Panwaslih Aceh, mengungkapkan strategi utama dalam menangani dan mengantisipasi konflik serta kekerasan menjelang Pilkada. Menurutnya, fokus utama pengawasan pemilu adalah pada penjagaan dan penindakan terhadap pelanggaran. Muhammad menjelaskan bahwa upaya penjagaan menjadi prioritas utama untuk mengurangi potensi pelanggaran, dengan pendekatan yang mengutamakan sosialisasi kepada masyarakat.

“Penjagaan dilakukan melalui sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai elemen-elemen yang terkait dengan pelanggaran pemilu. Kami berusaha mengedukasi masyarakat tentang bentuk-bentuk pelanggaran agar mereka dapat menghindarinya,” kata Muhammad dalam wawancara bersama Nukilan.id, Selasa (20/8/2024).

Muhammad menambahkan bahwa jika terjadi pelanggaran, masyarakat harus tahu cara melaporkan jika mereka melihat dugaan pelanggaran. Laporan bisa disampaikan ke Panwaslih di tingkat kecamatan, desa, kabupaten/kota, atau provinsi. Ia juga menekankan bahwa pelapor harus memberikan identitas diri, lokasi kejadian, dan informasi tentang pelaku. Setelah menerima laporan, Panwaslih Aceh melakukan kajian untuk menentukan jenis pelanggaran.

“Laporan yang memenuhi syarat formal dan material kami registrasi dan tindak lanjuti. Jika dugaan pelanggaran tergolong tindak pidana pemilu, penanganannya akan diserahkan kepada Gakkumdu yang melibatkan Panwaslih, kejaksaan, dan kepolisian. Untuk pelanggaran administrasi atau kode etik, kami akan menyampaikannya ke instansi terkait seperti KASN,” ungkap Muhammad.

Kesimpulan

Dalam menghadapi Pilkada Aceh 2024, berbagai langkah mitigasi dan pengamanan telah diambil oleh Pemerintah Aceh dan lembaga terkait untuk memastikan proses pemilihan yang damai dan demokratis. Dari peningkatan literasi digital untuk menyebarkan pesan damai hingga pengawasan ketat dan operasi keamanan yang melibatkan ribuan personel, semua upaya ini bertujuan mengurangi potensi konflik dan kekerasan.

Program sosialisasi, kerjasama antara berbagai pihak, serta pengawasan ketat oleh Panwaslih dan KIP Aceh mencerminkan komitmen untuk menjaga integritas pemilihan. Dengan strategi ini, diharapkan Pilkada Aceh 2024 dapat berlangsung secara aman, adil, dan transparan, serta menghasilkan pemimpin yang memiliki legitimasi kuat untuk memimpin daerah. (XRQ)

Penulis: Akil Rahmatillah

*Disclaimer
“This article was produced within the framework of the UNESCO Social Media 4 Peace project, funded by the European Union. The views expressed in the article belong to the author only and do not represent the views of UNESCO or the European Union.”

Read more

Local News