NUKILAN.ID | Jakarta – Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mengemuka dalam beberapa pekan terakhir. Desakan itu lahir dari keresahan publik atas gaji dan tunjangan anggota legislatif yang mencapai ratusan juta rupiah per bulan, namun dinilai tidak sebanding dengan kinerja mereka.
Gelombang kekecewaan yang semula marak di media sosial, akhirnya merembes ke jalanan. Pada Senin (25/8/2025), ribuan mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil menggelar aksi di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta. Mereka mengusung spanduk bertuliskan “Bubarkan DPR” dan menuding lembaga legislatif telah melupakan fungsi utamanya sebagai wakil rakyat.
Di tengah tensi publik yang meninggi, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni justru melontarkan pernyataan yang semakin menyulut kemarahan. Saat kunjungan kerja di Sumatera Utara, ia menanggapi desakan pembubaran DPR dengan kata-kata keras.
“Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia. Kenapa? Kita nih memang orang semua pintar semua? Enggak bodoh semua kita,” ujarnya, dikutip CNN Indonesia, Jumat (22/8/2025).
Ucapan itu seketika viral di media sosial. Nama Sahroni menjadi trending, sementara akun pribadinya di Instagram dan X dibanjiri kritik. Setiap unggahan yang ia buat tak lepas dari serbuan komentar pedas. Publik menilai ucapan tersebut melecehkan aspirasi rakyat dan menunjukkan jarak yang kian lebar antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya.
Kontroversi ucapan Sahroni semakin diperuncing dengan sorotan terhadap harta kekayaan pribadinya. Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 21 Februari 2025, politikus Partai NasDem itu tercatat memiliki kekayaan senilai Rp 328,9 miliar.
Rinciannya, harta tidak bergerak berupa 19 bidang tanah dan bangunan tersebar di Jakarta dan Bali senilai Rp 139,5 miliar, kendaraan mewah hingga puluhan unit, surat berharga Rp 60 juta, serta kas dan setara kas Rp 78,3 miliar. Koleksi mobilnya pun membuat publik terbelalak. Ferrari, Porsche, Bentley, hingga Tesla Cyber Truck, berjejer di garasinya.
Meski tercatat memiliki utang sekitar Rp 34,9 miliar, total kekayaan Sahroni tetap fantastis. Tidak sedikit warganet yang mengaitkan harta itu dengan privilese anggota legislatif, mengingat gaji dan tunjangan DPR yang juga kerap menuai sorotan publik.
Kritik terhadap DPR
Isu fasilitas DPR bukanlah hal baru. Mantan Menkopolhukam Mahfud MD menilai pola belanja dewan justru bertolak belakang dengan semangat efisiensi anggaran yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
“Di DPR dan kementerian keuangannya juga dalam memberi kuota anggaran nampaknya penyisirannya kurang kuat. Sehingga tampak berlebihan juga dalam beberapa sektor seperti pemberian mobil dinas yang harganya hampir miliar. Itu untuk apa? Mobil yang dulu itu ada,” kata Mahfud, dikutip dari Rmol.id, Rabu (27/8/2025).
Meski keras mengkritik, Mahfud MD menolak ide pembubaran DPR. Ia menegaskan, “Itu terlalu beresiko dan mengada-ada kalau sampai minta DPR dibubarkan. Karena DPR itu adalah instrumen konstitusi, instrumen sebuah negara demokrasi.”
Menurut Mahfud, keberadaan DPR memang kerap mengecewakan. Namun tanpa DPR, bangsa justru berisiko jatuh dalam praktik otoritarianisme. “Saya sering mengatakan DPR kita ini buruk, partai kita buruk. Tetapi jauh lebih baik kita mempunyai DPR yang buruk dan mempunyai partai yang jelek daripada tidak ada partai dan tidak ada DPR,” ujarnya.
Secara konstitusional, pembubaran DPR memang hampir mustahil dilakukan. Pasal 7C UUD 1945 menegaskan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Sejarah mencatat, Presiden Soekarno pernah membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 pada 1960 melalui Penetapan Presiden Nomor 3, lalu menggantinya dengan Dewan Gotong Royong. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga pernah mengeluarkan Maklumat Presiden pada 23 Juli 2001 untuk membubarkan DPR dan MPR, namun maklumat itu dianggap tidak sah dan justru mempercepat kejatuhannya.
Mekanisme demokratis satu-satunya untuk mengganti anggota DPR adalah melalui pemilu lima tahunan. Hal ini juga ditegaskan oleh organisasi masyarakat. Ketua MPC Pemuda Pancasila Kabupaten Lebak, M.Y. Sutrisna, menuturkan secara konstitusional DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Hal ini sesuai dengan amandemen UUD 1945 Pasal 7C. Mekanisme yang sah hanyalah melalui pemilu.
Blunder Komunikasi Pejabat
Kasus Ahmad Sahroni memperlihatkan pola yang belakangan kerap berulang: blunder komunikasi pejabat publik. Alih-alih meredakan ketegangan, pernyataan mereka sering memperkeruh suasana.
Maret 2025, redaksi Tempo menerima teror berupa kepala babi. Namun Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, justru menanggapinya dengan santai: “Dimasak saja.” Ucapan itu memicu kemarahan publik karena dianggap meremehkan intimidasi terhadap kebebasan pers.
Tak lama setelahnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menanggapi fenomena tagar #KaburAjaDulu dengan kalimat, “Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi.” Publik menilai komentar itu merendahkan aspirasi anak muda yang resah mencari pekerjaan di dalam negeri.
Di bidang olahraga, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengaitkan kekalahan Timnas Indonesia dengan gizi pemain lokal. Menurutnya, “gizi yang tidak bagus” membuat pemain kesulitan bermain 90 menit penuh. Komentar ini memicu kecaman karena merendahkan perjuangan atlet nasional.
Nada serangan juga keluar dari militer. KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak menanggapi kritik terhadap RUU TNI dengan menyebutnya “otak kampungan”. Aktivis HAM Usman Hamid mengingatkan bahwa istilah tersebut bernuansa merendahkan rakyat.
Jika ditarik garis besar, semua kasus itu menunjukkan persoalan yang sama: lemahnya kepekaan komunikasi pejabat publik. Seperti diingatkan mantan Jubir Presiden Joko Widodo, Johan Budi, “Ucapan pejabat negara bukan opini pribadi semata, melainkan representasi pemerintah.” Dalam era digital, satu kalimat yang keliru bisa viral dan merusak kepercayaan rakyat pada institusi.
Pemerintah Jangan Defensif
Blunder komunikasi pejabat juga terkait dengan pola pemerintah yang kerap defensif menghadapi protes. Mahfud MD menegaskan, demonstrasi yang marak belakangan ini tidak perlu dicurigai sebagai gerakan yang ditunggangi.
“Demonstrasi yang terjadi dianggap organik dan tidak ada dalangnya,” kata Mahfud dalam podcast YouTube pribadinya, Rabu (27/8/2025). Menurutnya, unjuk rasa mahasiswa dan buruh lahir dari keresahan nyata masyarakat, bukan rekayasa.
Mahfud menyarankan pemerintah berhenti sibuk mencari “dalang” di balik aksi massa. Sebaliknya, protes rakyat harus dipandang sebagai momentum introspeksi. “Pemerintah harus memanfaatkan situasi ini untuk menciptakan jalan keluar dari kemelut yang sedang terjadi,” ujarnya.
Krisis Kepercayaan Publik
Gelombang desakan pembubaran DPR mencerminkan krisis kepercayaan publik. Namun, jalan konstitusional menutup kemungkinan itu terjadi. Di sisi lain, mempertahankan status quo tanpa perbaikan hanya akan memperlebar jurang antara rakyat dan wakilnya.
Solusi yang realistis bukanlah membubarkan DPR, melainkan melakukan reformasi internal: memperketat transparansi anggaran, memangkas fasilitas yang tidak perlu, serta memperkuat fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
DPR harus membuktikan diri bahwa mereka benar-benar wakil rakyat, bukan sekadar penikmat fasilitas negara. Sebab, di era keterbukaan informasi, publik semakin kritis dan tidak lagi segan melawan simbol-simbol kekuasaan yang dianggap melenceng dari mandat konstitusi.
Pernyataan Ahmad Sahroni yang menyebut desakan “bubarkan DPR” sebagai mental “orang tolol” hanyalah satu potret kecil dari persoalan besar: runtuhnya komunikasi sehat antara pejabat publik dan rakyat. Ucapan serupa juga lahir dari pejabat lain, yang seolah menunjukkan pola pikir elitis, meremehkan, dan jauh dari empati.
Pada akhirnya, demokrasi tidak akan pernah sehat tanpa wakil rakyat yang peka terhadap aspirasi konstituennya. Kritik rakyat sah adanya, dan pejabat semestinya menanggapi dengan argumentasi, bukan dengan caci maki.
Seperti kata Mahfud MD, “DPR kita buruk, partai kita buruk. Tetapi jauh lebih baik kita punya DPR yang buruk daripada tidak punya DPR sama sekali.” Kalimat itu menjadi pengingat, bahwa jalan tengah demokrasi bukanlah membubarkan lembaga, melainkan memperbaiki agar lembaga itu kembali pada khitahnya: menjadi suara rakyat, bukan suara elit.
Polemik pembubaran DPR, yang mencuat gara-gara blunder ucapan Ahmad Sahroni, sejatinya memperlihatkan dua hal sekaligus. Pertama, adanya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif yang dinilai tidak menjalankan fungsinya secara maksimal. Kedua, kegagalan sebagian pejabat publik dalam memahami sensitivitas komunikasi di tengah masyarakat yang sudah lelah oleh berbagai persoalan: ekonomi yang sulit, lapangan kerja terbatas, harga kebutuhan pokok yang kian mahal, serta beban hidup sehari-hari.
Ketika aspirasi rakyat muncul dalam bentuk kritik keras, sering kali pejabat justru membalas dengan kata-kata kasar, menyudutkan, bahkan merendahkan. Kasus Sahroni hanya satu contoh. Dari Hasan Nasbi yang menyepelekan teror kepala babi ke kantor media, hingga Maruli Simanjuntak yang menyebut pengkritik RUU TNI sebagai “otak kampungan”, semuanya menggambarkan pola komunikasi yang kerap abai terhadap etika.
Mencoreng Institusi
Di era media sosial, setiap ucapan pejabat tidak lagi sekadar pernyataan biasa. Kata-kata mereka segera menjadi sorotan publik, dikutip, dipotong, diperdebatkan, dan divisualkan ulang dalam bentuk meme, potongan video, atau narasi tandingan. Artinya, setiap blunder komunikasi bukan hanya berdampak pada citra personal seorang pejabat, melainkan juga mencoreng institusi yang mereka wakili—baik DPR, kementerian, maupun lembaga negara lainnya.
Bagi rakyat, kepercayaan adalah hal yang paling mahal. Sekali mereka merasa dihina atau diremehkan, jarak antara rakyat dan wakilnya akan semakin jauh. Kekecewaan pun berubah menjadi sinisme, dan sinisme mudah bertransformasi menjadi ketidakpedulian politik. Jika rakyat sudah apatis, demokrasi kehilangan napasnya.
Membubarkan DPR memang mustahil dilakukan tanpa amandemen konstitusi. Namun membiarkan DPR berjalan dengan citra buruk juga bukan pilihan. Jalan tengahnya adalah reformasi kelembagaan: memperkuat fungsi pengawasan, mengefisienkan anggaran, menertibkan penggunaan fasilitas, serta memastikan legislasi benar-benar berpihak pada kepentingan publik.
Selain itu, pembenahan juga harus dilakukan pada aspek komunikasi publik. Pejabat negara tidak bisa lagi bersembunyi di balik dalih “salah kutip” atau “keliru dipahami”. Setiap kata harus disusun dengan hati-hati, dengan kesadaran penuh bahwa publik menunggu pernyataan mereka sebagai rujukan moral dan politik.
Mahfud MD pernah mengingatkan bahwa pejabat publik adalah teladan. Keteladanan itu bukan hanya dalam kebijakan, melainkan juga dalam tutur kata. Di negeri dengan sejarah panjang demokrasi yang penuh luka, kata-kata bisa menjadi penyembuh, tetapi bisa juga menambah luka baru.
Masyarakat tentu tidak berharap pejabat sempurna. Namun, harapan paling mendasar adalah agar mereka mau mendengar, merespons dengan empati, dan berbicara dengan penuh hormat. Rakyat bukanlah “orang tolol”, bukan pula “otak kampungan”. Mereka adalah pemilik sah kedaulatan yang menitipkan mandat kepada para pejabat melalui pemilu.
Kini, bola ada di tangan para elite. Mereka bisa memilih untuk terus mempertahankan gaya komunikasi konfrontatif, yang mungkin sesaat memberi kepuasan emosional, tetapi jangka panjang hanya memperdalam jurang ketidakpercayaan. Atau, mereka bisa mengambil jalan berbeda: membangun dialog yang sehat, mengedepankan kerendahan hati, dan menempatkan rakyat sebagai mitra sejajar, bukan objek untuk direndahkan.
Sejarah politik Indonesia mencatat, setiap kali jurang antara rakyat dan penguasa melebar terlalu jauh, krisis besar selalu muncul. Dari kejatuhan Soekarno pada 1966, tumbangnya Soeharto pada 1998, hingga gelombang protes di era reformasi, semuanya lahir dari rasa ketidakpuasan rakyat terhadap elit yang abai.
Apakah DPR dan pejabat publik hari ini belajar dari sejarah? Atau mereka akan mengulang kesalahan yang sama dengan cara berbeda?
Polemik “pembubaran DPR” mungkin hanya ledakan sesaat dari rasa frustasi. Namun blunder komunikasi pejabat yang berulang-ulang adalah bara kecil yang bisa menjalar menjadi api besar. Jika pejabat tidak segera berbenah, bukan tidak mungkin suara rakyat akan makin keras, menuntut perubahan lebih fundamental daripada sekadar revisi undang-undang.
Demokrasi adalah ruang dialog, bukan arena caci-maki. Dan pejabat publik, sejatinya, adalah penyambung lidah rakyat—bukan penguasa yang merasa lebih tinggi dari warga biasa. Selama pejabat masih gagal memahami hal itu, blunder komunikasi akan terus lahir, krisis kepercayaan akan semakin dalam, dan jarak antara rakyat dengan wakilnya kian sulit dijembatani.
Akhirnya, pilihan kembali pada para pemimpin negeri ini: apakah mereka mau mengubah cara bicara, cara bersikap, dan cara memandang rakyatnya—atau membiarkan bangsa ini terus terjebak dalam lingkaran blunder yang sama. []
Reporter: Sammy