Nukilan.id – Baru-baru ini Bank Syariah Indonesia (BSI) yang beroperasi di Provinsi Aceh mengalami gangguan akibat serangan cyber dan menciptakan kesulitan bagi masyarakat Aceh dalam melakukan transaksi perbankan.
Menanggapi hal itu, Pakar Ekonomi, Rustam Effendi mengatakan, erornya sistem yang dialami oleh BSI sudah pasti akan menimbulkan beberapa risiko serta gejolak dikalangan masyarakat. Pertama, terjadinya risiko operasional dimana nasabah tidak dapat mengakses layanan dikarenakan macetnya transaksi perbankan sehingga hal itu tentu menimbulkan kerugian bagi para nasabah dan bagi bank itu sendiri.
Kedua, terjadi risiko pasar yang berdampak pada pasar dimana produk layanan yang disediakan tidak terpasarkan sesuai harapan sehingga hal itu terkesan kurang baik terhadap pendapatan operasional BSI.
Ketiga, error system ini juga akan berpengaruh tehadap risiko reputasi BSI (reputation risk). Nama baik menjadi tercoreng dan menimbulkan imej kurang baik dimata nasabah yang berimbas pada hilangnya trust. Terakhir, dapat berakibat pada risiko hukum terhadap BSI itu sendiri karena bisa jadi pihak-pihak yang merasa dirugikan akan mengajukan gugatan atau komplain kepada bank.
“Jika ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama, maka kian memperburuk reputasi bank tersebut dimata publik dan tak hanya itu, error system ini juga akan berisiko pada turunnya peringkat kesehatan bank di mata regulator. Inilah yang paling dikhawatirkan oleh bank manapun,” kata Rustam Effendi saat diwawancarai Nukilan.id, Selasa (16/5/2023).
Ia menyampaikan, sejauh ini hanya Aceh daerah satu-satunya di Indonesia yang menerapkan Qanun Lembaga Keuang Syariah (LKS) dengan model single banking system atau sistem perbankan tunggal. Maka dari itu, menurut ekonom ini, akan sangat berisiko seperti yang kini sedang dialami BSI saat ini.
“Ini merupakan konsekuensi dari penerapan qanun LKS”, tandas Rustam.
“Sudah saatnya keberadaan Qanun LKS dievaluasi. Rencana DPRA untuk mengevaluasi Qanun ini dapat dimaklumi. Apalagi data yang ada menunjukkan kontribusi ekonomi Aceh masih relatif kecil kontribusinya terhadap perekonomian Nasional (dibawah 2%). Menurut Rustam, pemegang sertifikat CFRM (Certified Financial Risk Management) ini, sepertinya sulit bagi Aceh dapat memacu pertumbuhan ekonominya lebih progresif diwaktu yang akan datang jika kondisi ini tidak secepatnya dibenahi. Diprediksikannya, ekonomi Aceh terus terperangkap sehingga dengan demikian problema pengangguran dan kemiskinan akan tetap sulit dicarikan jalan keluarnya,” tambahnya dengan mimik serius.
Rustam Effendi menambahkan, sikap yang diambil oleh DPRA untuk mengevalusi qanun LKS saat ini sudah tepat. DPRA juga harus mendengarkan suara dari berbagai pihak-pihak yang selama ini sangat terdampak akibat penerapan qanun LKS tersebut seperti pelaku usaha/swasta. Pelaku usaha sangat berperan strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Mereka sangat dibutuhkan perannya dalam menciptakan lapangan kerja, selama ini sangat berkontribusi nyata, tidak hanya sebatas beretorika.Oleh karen itu, mereka punya kewajiban menanggung beban yang timbul dari aktivitas bisnis seperti gaji karyawan, beban pajak, biaya sosial, dan sebagainya. Jika mereka mengalami kesulitan pasti daerah juga akan terkena dampaknya.
“DPRA perlu menghimpun masukan dari seluruh elemen masyarakat di daerah ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, dirinya menambahkan, pihak pembuat kebijakan di daerah juga harus lebih jernih dan komprehensif melihat permasalahan ekonomi di daerah, terutama soal lembaga keuangan. Sebaiknya tidak hanya memandang dari sisi yang sempit, apalagi sampai memerangkap Aceh dalam kantung yang susah dijangkau oleh pihak luar. Harus diingat, Aceh ini merupakan “open economy” yang berinteraksi dengan dunia luar baik regional maupun mondial.
“Harusnya kita lebih memahami dengan cermat problema yang sedang dialami daerah terutama masalah pengangguran, iklim usaha yangg belum berkembang baik, investasi yang minim, serta problema kemiskinan yang masih belum terselesaikan,” pungkasnya. [Azril]
Baca Juga: Polemik BSI Eror, Don Muzakir Harap Pemerintah Aceh dan DPRA Revisi Qanun LKS