Nukilan.id – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) Agusri Samhadi, SH menyampaikan, pelaksanaan pemilihan Kechik Langsung (Pilchiksung) di Abdya berpotensi cacat hukum.
“Hal ini disebabkan dalam pelaksanaan, banyak menabrak aturan yang lebih tinggi,” kata Agusri Samhadi, SH kepada Nukilan.id di Abdya Minggu, (20/3/2022).
Menurutnya selaku Anggota DPRK, ada 5 Poin jika dipaksakan Pilchiksung dilaksanakan dengan menabrak aturan yang ada, diantaranya.
Pertama, terkait pembiyaan pelaksanaan pilchiksung, dimana panitia atau keuchik setempat lakukan pinjaman “ngutang” kepada pihak ketiga dikarenakan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong (APBG) belum ditetapkan tanpa ada istrumen hukum yang jelas tentu ini menyalahi prinsip tertib dan disiplin anggaran.
“Belum lagi sampai saat ini tidak ada kejelasan ploting anggaran untuk biaya pengamanan,” Ucap Agusri.
Kedua, disaat hari pemungutan suara ditetapkan dengan surat edaran sehingga bertentangan dengan pasal 5 Qanun Aceh Barat Daya nomor 15 tahun 2016 tentang Pemilihan keucik secara serentak dan pasal 26 qanun Aceh Nomor 4 tahun 2009 tentang tata cara pemilihan dan pemberhentian keuchik.
“Penetapan hari pemungutan suara harus ditetapkan dengan Keputusan Bupati dan di umumkan paling lambat 6 hari sebelum hari H,” ungkapnya.
Ketiga, masih terdapat Tempat Pungutan Suara (TPS) dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di atas 1.000 orang melanggar pasal 9 ayat 3 qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009.
“Jika tetap dilaksanakan maka Pilchiksung cacat hukum dan akan menimbulkan permasalahan baru,” sebutnya.
Keempat, pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa dari Panitia kecamatan ke panitia kabupaten dalam pasal 3 (4) dan pasal 4 (2) Peraturan Bupati 61 tahun 2021 bertentangan dengan dengan pasal 38 qanun aceh Nomor 4 Tahun 2009.
“Pemda juga tidak mengatur bagaimana mekanisme pelaporan, waktu pelaporan dan mekanisme penyelesaian sengketa yang konkrit. Sehingga sangat berpotensi terjadi intervensi dan penyalanggunakaan kekuasaan (abuse of power) oleh pihak-pihak tertentu,” tuturnya.
Kelima, Pemerintah Daerah tidak konsisten dalam menggunakan payung hukum sebagai dasar pelaksanaan pilchiksung, menggunakan rezim UUPA dengan turunannya qanun aceh atau rezim Undang Undang Desa dengan turunan Permendagri 72/2020. Dalam konteks pencalonan pemda gunakan Qanun aceh tapi dalam hal kewenangan penyelesaian sengketa (lihat perbup) mengutip Permendagri, begitu juga terhadap calon mantan Narapidana.
“Kita tau kedua produk hukum ini banyak pertentangan. Makanya disaat rapat dengar Pendapat dengan Pemerintah Abdya kami pertegas lagi, gunakan UUPA saja tapi dari pemerintah mengabaikannya,” kata Agusri.
Ia mengkhawatirkan kechik yang terpilih nanti tidak memiliki legitimasi yang kuat untuk dilantik.
Sehingga bisa menimbulkan banyak gugutan dan permasalahn baru di tengah masyarakat,” tuturnya.[Irfan]