NUKILAN.ID | YOGYAKARTA – Masyarakat dan mahasiswa Aceh di Yogyakarta menyampaikan kekecewaan mendalam atas pernyataan Kepala BNPB yang menyebut banjir bandang di Aceh “hanya mencekam di media sosial.” Mereka menilai komentar tersebut tidak peka dan menunjukkan minimnya empati terhadap kondisi kemanusiaan yang sedang berlangsung di Aceh.
Ketua Umum Taman Pelajar Aceh Yogyakarta, Muhammad Mufariq Muchlis, menegaskan bahwa penggunaan kata “hanya” dalam konteks bencana besar tidak patut disampaikan oleh pejabat publik. Ia menilai komentar tersebut tidak hanya keliru secara moral, tetapi juga melukai hati masyarakat Aceh yang tengah berada dalam keadaan darurat.
Data sementara menunjukkan skala tragedi yang terjadi di Aceh: 80 warga meninggal dunia, 71 lainnya belum ditemukan, 330 mengalami luka berat, 1.284 luka ringan, serta lebih dari 441 ribu penduduk terdampak. Dari jumlah itu, 207.017 orang harus mengungsi dan 16 kabupaten/kota berada dalam kategori terdampak berat.
Hingga kini, banyak wilayah masih terisolasi akibat akses logistik yang terputus. Pengiriman makanan, obat-obatan, dan bantuan darurat belum berjalan optimal. Sebagian masyarakat mengalami trauma, kekurangan air bersih, serta keterbatasan layanan kesehatan. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa Aceh menilai tidak tepat apabila tragedi sebesar ini direduksi sebagai sesuatu yang “mencekam di media sosial.”
Pernyataan pejabat negara, menurut mereka, seharusnya mencerminkan empati, ketepatan informasi, dan komitmen kehadiran negara. Mereka menegaskan bahwa jabatan publik membawa tanggung jawab moral dan kemanusiaan, bukan sekadar tugas administratif.
Mahasiswa Aceh di Yogyakarta juga mengungkapkan bahwa hingga kini mereka masih menunggu kabar keluarga yang terputus komunikasi hampir satu pekan. Rasa cemas dan ketidakpastian itu, kata mereka, tidak bisa disederhanakan dengan narasi yang beredar di media sosial. Situasi di lapangan jauh lebih berat dibandingkan apa yang terlihat di layar ponsel.
Mereka mengajak para pemangku kebijakan untuk turun langsung ke lokasi, melihat kondisi korban, serta memberikan penanganan yang cepat, tepat, dan berkeadilan. Menurut mereka, masyarakat Aceh membutuhkan aksi nyata, kehadiran negara, dan empati—bukan pernyataan yang terkesan meremehkan penderitaan para korban. (XRQ)





