Saturday, May 4, 2024

Pengamat: Awali 2022, Ekonomi Aceh Suram dan Menyedihkan

Nukilan.id – Pengamat Politik dan Ekonomi Taufik Abdur Rahim menilai kehidupan ekonomi masyarakat Aceh awal tahun 2022 semakin mengeluh kondisi kehidupan yang demikian berat dirasakan dan harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan.

Tingkat pertumbuhan ekonomi Aceh sekitar dibawah 3 persen, dipicu jumlah kemiskinan yang tertinggi di Sumatera (15,34%) atau pada posisi keenam di Indonesia, tingkat pengangguran terbaru tenaga kerja bertambah sekitar 280.000 lebih, bukan pengangguran usia kerja. Kemudian tingkat inflasi kumulatif tahun 2021 sebesar 2,42 persen (bulan Desember 0,71%), jumlah pengangguran diperkirakan sekitar 1,3 juta orang di seluruh Aceh. Termasuk para pengangguran baru lulusan sarjana yang semakin banyak.

Ini memicu kenaikan kemiskinan serta beban pendapatan masyarakat secara makro ekonomi, sehingga kondisi ekonomi masyarakat semakin suram. Karena siklus bisnis dan ekonomi sangat lamban serta memprihatinkan, dengan pendapatan (income/Y) tidak meningkat serta bertambah selaras dengan perkembangan waktu serta aktivitas ekonomi tidak berinteraksi secara normal dan baik,” kata Taufik dalam keteranganya kepada Nukilan.id Selasa (18/1/2022)

Dengan demikian, berbagai harga kebutuhan pokok saat ini mengalami kenaikan yang sangat drastis (bahkan mencapai 40-50%), yaitu beras, minyak goreng, gula, tepung serta beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya.

Sehingga menambah beban kehidupan serta perekonomian masyarakat luas (house hold), dengan demikian produksi dari usaha swasta (firm) tidak berputar secara normal dengan berbagai beban biaya produksi yang demikian meningkat serta memaksa mengurangi jumlah produksi serta pengurangan jumlah tenaga kerja,” kata Taufik.

Menurut Taufik, lemahnya kepemimpinan di Aceh dengan mengatur kebijakan serta ritme ekonomi terhadap kebijakan fiskal dan moneter yang sama sekali tidak memiliki kepentingan, juga tidak berpihak kepada rakyat Aceh.

Secara empirik di pasar kenaikan harga sangat fantastis, semantara itu masyarakat tidak memegang uang secara umum serta makro ekonomi, ini juga berdampak siklus bisnis terhambat dan tidak berinteraksi secara normal,” ungkapnya.

Dengan demikian, tidak mungkin meningkatkan serta memicu produksi dengan kekhawatiran biaya tinggi (hight cost) barang dan jasa yang dihasilkan oleh swasta (firm) tidak laku terjual, sehingga pasar menjadi macet (influence/stagnation) dan tidak mendukung atau memperlancar transaksi jual beli (demand-supply) secara normal.

Disamping itu, harga bahan sayur mayur, hortikultura serta tanaman pertanian rakyat dihargakan sangat murah di pasaran, sementara itu selama ini produksi tanaman muda serta sayur mayur (tomat, cabai, bawang dan lainnya), yang selama ini melakuklan produksi dengan biaya tinggi, termasuk harga pupuk yang mahal terpaksa dibeli oleh para petani.

Namun, pada saat pasca produksi (hasil) proses penjualan dengan harga yang tidak sesuai setelah dikurangi biaya produksi, bahkan minus dari harga yang semestinya dipasarkan setelah ongkos produksi, ditambah biaya pekerjaan serta pendukung produksi lainnya seperti pupuk dan ongkos pengangkutan.

Sehingga banyak barang produksi holtikultura dibuang atau dicampakkan oleh petani karena kekecewaan yang demikian mendalam. Jelasnya

Oleh karena itu, kondisi awal tahun 2022 yang demikian suram, mencekik leher, serta mengancam keberlanjutan kehidupan makro ekonomi masyarakat Aceh.

“Diperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 tumbuh sekitar dibawah 4 persen,” sebutnya.

Ia mengatakan, Aceh sampai saat ini tidak memiliki barang dan jasa Produk Unggulan Daerah (PUD) yang secara normatif, hukum, aturan serta menjadi sah milik Aceh, sehingga produksinya dapat dikendalikan serta diatur oleh Pemerintahan Aceh dalam qanun, juga tergantung kepada kendali para agen serta swasta yang berada di provinsi tetangga yang mengaturnya.

Dengan demikian, semakin jelas kesuraman perekonomian makro Aceh, rakyat hanya mampu berfikir serta berbuat dalam kehidupan perekonomian sendiri, tanpa harus terlalu bergantung pada Pemerintah Aceh yang sangat tergantung kepada Pemerintah Pusat, yang mengatur serta mengendalikan anggaran belanja daerah serta seluruh struktur ekonomi, sesuai dengan kepentingan sistem ekonomi-politik pusat yang juga sangat sarat oligarki, baik oligarki ekonomi maupun politik,” tuturnya.

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img