NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Aceh kini tengah menghadapi kondisi kritis yang mengancam sektor pertaniannya. Cuaca panas ekstrem yang berkepanjangan, diperparah dengan krisis air bersih, telah menyebabkan pertumbuhan padi terganggu.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya puso atau gagal panen secara massal di sejumlah wilayah sentra pertanian seperti Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Selatan.
Melihat bencana ekologis yang kian mengkhawatirkan ini, Muhammad Resqi, peneliti dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH), memebrikan pandangan kritisnya terhadap peran pemerintah dalam mengatasi dan mencegah krisis serupa di masa mendatang.
Menurut Resqi, respons pemerintah tidak boleh berhenti pada upaya mitigasi setelah bencana terjadi. Ia menekankan pentingnya melihat persoalan ini dari akar permasalahan.
“Pemerintah seharusnya melihat bencana ini bukan dari mitigasi pasca terjadi. Melainkan juga harus melihat akar dari masalah,” tegasnya kepada Nukilan.id, Minggu (6/7/2025).
Lebih lanjut, Resqi menyebutkan bahwa pelestarian lingkungan, khususnya hutan, merupakan kunci utama dalam upaya pencegahan kekeringan yang kian sering terjadi di Aceh. Penyorobotan dan alih fungsi hutan, kata dia, menjadi salah satu faktor utama yang mempercepat krisis ekologis di Aceh.
“Pelestarian dan penghentian segala bentuk penyorobotan hutan menjadi langkah taktis dalam mencegah bencana kekeringan,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Resqi juga mendorong pemerintah untuk merumuskan solusi ekologis jangka panjang yang mampu melindungi sektor pertanian dari ancaman cuaca ekstrem yang semakin tidak menentu akibat krisis iklim.
“Salah satu upaya penyelamatan ekologis untuk menyelamatkan pertanian Aceh adalah dengan mereduksi ulang aspek ini mulai dari akar, tata kelola serta mekanisme pasar,” ujarnya.
Ia berharap, dengan pembenahan menyeluruh dari hulu ke hilir, berbagai tragedi ekologis yang terus berulang tidak lagi berdampak fatal terhadap ketahanan pangan dan keberlanjutan hidup petani di Aceh.
“Sehingga, berbagai tragedi bencana alam tidak berdampak signifikan dalam permasalahan pertanian Aceh,” pungkasnya.
Pernyataan Resqi menjadi pengingat keras bahwa bencana ekologis bukan sekadar persoalan cuaca, melainkan cermin dari pengelolaan lingkungan dan kebijakan tata ruang yang perlu dibenahi secara serius dan berkelanjutan. (XRQ)
Reporter: Akil