NUKILAN.id | Indepth – Langkah tegas dilakukan Polres Sukabumi dengan menangkap Gunawan, konten kreator yang dikenal sebagai Sadbor (38 tahun), atas dugaan keterlibatan dalam promosi judi online. Penangkapan ini memicu perdebatan publik tentang adanya ketidakadilan dalam penanganan kasus promosi judi daring di Indonesia, khususnya terkait perbedaan perlakuan terhadap para pesohor lain yang juga terlibat dalam kasus serupa.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang mendapati aktivitas promosi judi di akun TikTok Gunawan, @Sadbor86, ketika melakukan siaran langsung pada Sabtu (26/10). Dalam live streaming tersebut, Gunawan didampingi oleh tersangka lain berinisial AS (39 tahun), yang disebut memiliki hubungan dengan situs judi daring “Flokitoto.”
Kronologi Penangkapan
Menurut keterangan Kapolres Sukabumi AKBP Samian, siaran langsung itu memperlihatkan AS secara antusias mempromosikan situs “Flokitoto” dengan slogan-slogan mencolok, sementara akun TikTok @flokitoto1 memberikan “saweran” berupa hadiah dengan nilai besar sebagai kompensasi atas promosi tersebut. Frasa seperti “Bapa Floki Si Gacor Anti Rungkad” dan lainnya kerap kali diteriakkan dalam siaran langsung, menarik perhatian publik dan penegak hukum.
Setelah memperoleh cukup bukti, Satreskrim Polres Sukabumi bergerak cepat menangkap Gunawan dan AS di rumah mereka di Kampung Babakan Baru pada Kamis (31/10). Dalam penangkapan tersebut, polisi juga menyita bukti transaksi yang menunjukkan adanya kompensasi besar untuk promosi situs judi itu.
Gunawan sempat melakukan klarifikasi di akun TikTok-nya dan mengaku tidak mengetahui bahwa akun-akun tersebut terkait judi online. Meski demikian, klarifikasinya dianggap tidak cukup dan ia tetap ditahan sebagai tersangka. Kini, ia bersama AS menghadapi ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar, sesuai pasal 45 ayat 3 jo pasal 27 ayat 2 UU ITE dan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Beda Perlakuan dengan Artis
Di balik serangkaian pemeriksaan publik figur yang terlibat dalam kasus dugaan promosi judi online, muncul sorotan tajam terhadap ketidakadilan dalam penegakan hukum. Sejumlah artis dan influencer yang diduga terlibat dalam promosi situs judi daring menjalani pemeriksaan oleh polisi, tetapi kebanyakan dari mereka tidak ditahan dan bebas dari status tersangka.
Nama-nama seperti Wulan Guritno, Yuki Kato, Cupi Cupita, Amanda Manopo, Nikita Mirzani, hingga Katak Bhizer tercatat sebagai tokoh yang dipanggil pihak berwenang terkait kasus promosi judi daring. Meski diperiksa, mayoritas dari mereka berargumen bahwa mereka tidak mengetahui situs yang mereka promosikan adalah situs judi. Alhasil, status tersangka tidak disematkan kepada mereka, dengan dalih minimnya bukti keterlibatan atau karena kesalahpahaman dalam kontrak.
Pada kasus Wulan Guritno, misalnya, pemeriksaan dilakukan setelah laporan dari Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI) terkait promosi situs SAKTI123. Namun, polisi menyatakan tidak ada bukti kuat atas keterlibatan langsung Wulan, sehingga ia dibebaskan. Yuki Kato juga mengikuti pemeriksaan terkait situs serupa, tetapi statusnya dilepaskan karena situs tersebut tidak terbukti sebagai platform judi.
Kondisi serupa dialami Amanda Manopo, Cupi Cupita, dan Nikita Mirzani, yang juga mengaku tidak menyadari konten yang dipromosikan adalah situs judi. Meski begitu, proses hukum mereka tidak berlanjut, dan mereka dilepaskan tanpa status tersangka.
Namun, kasus Katak Bhizer, pemengaruh yang secara terang-terangan mempromosikan situs judi daring melalui siaran langsung YouTube, menjadi perhatian publik karena meski terbukti mempromosikan situs tersebut, dia hanya dikenai sanksi berupa pemblokiran akun media sosialnya. Sanksi ini dianggap ringan dan tidak mencerminkan penegakan hukum yang tegas.
Di sisi lain, Gunawan alias Sadbor, seorang warga biasa yang diduga terlibat dalam kasus serupa, menghadapi tindakan hukum yang lebih tegas. Ketimpangan ini memicu kritik keras publik, yang melihat adanya ketidakadilan dalam perlakuan hukum terhadap masyarakat biasa dibandingkan sosok berpengaruh. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan di masyarakat mengenai keseriusan aparat dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan kekhawatiran bahwa keadilan masih sering tunduk pada nama besar dan status sosial.
Kasus Inisial T yang Menguap
Di sisi lain, publik dihadapkan pada sosok misterius berinisial “T”, yang pertama kali diungkap oleh Benny Rhamdani, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Benny menyebutkan bahwa “T” adalah aktor utama di balik jaringan perjudian daring di Kamboja yang juga merambah ke Indonesia. Meskipun memiliki peran besar dalam pengoperasian judi online dan perekrutan pekerja migran ilegal untuk menjalankan bisnis tersebut, sosok ini hingga kini tetap belum tersentuh hukum.
Benny bahkan menyatakan bahwa informasi mengenai “T” telah disampaikan kepada Presiden Jokowi dan pejabat terkait, namun hingga saat ini, tidak ada tindakan nyata terhadap individu tersebut. Beberapa pejabat, termasuk Menkominfo Budi Arie dan mantan Menkopolhukam Mahfud Md., terkesan menghindari isu ini dengan melemparkan tanggung jawab kepada Benny.
Kasus ini seharusnya menjadi titik terang untuk mengungkap jaringan besar yang meresahkan masyarakat. Namun, bukannya berkembang, masalah ini justru menguap begitu saja. Para pejabat enggan untuk membuka lebih jauh soal sosok “T”, sementara Benny yang dulunya lantang bersuara kini memilih diam.
Hal ini menyoroti ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus perjudian daring yang melibatkan aktor utama. Selama ini, yang menjadi sasaran adalah pemain kecil, operator lapangan, dan situs-situs perjudian yang mudah diblokir. Namun, upaya ini hanya mengatasi permukaan permasalahan tanpa menyentuh akar dari jaringan perjudian ilegal yang lebih besar.
Mengapa Bandar Judi Online Masih Berkeliaran?
Meskipun pemerintah telah berupaya memberantas praktik judi online, para bandar besar masih tetap bebas beroperasi. Dalam waktu singkat, mereka mampu membangun kembali jaringan yang sama, merekrut agen-agen baru, dan mendirikan situs judi baru. Alhasil, upaya pemberantasan yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta aparat keamanan sering kali gagal menyelesaikan masalah ini secara tuntas.
Untuk mengatasi masalah ini secara efektif, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu bertindak lebih tegas dengan menindak semua pihak yang terlibat, mulai dari operator, agen promotor, hingga bandar sebagai aktor utama dalam jaringan perjudian online.
Penangkapan bandar judi online menjadi langkah krusial untuk melindungi masyarakat dari praktik ilegal ini. Selain itu, langkah tersebut juga akan memperkuat kembali kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia. Tanpa tindakan yang menyasar para bandar utama, pemberantasan judi online akan sekadar menjadi rutinitas tanpa dampak signifikan, dan akar masalahnya tetap tidak tersentuh.
Penting juga untuk menindak tegas oknum yang memanfaatkan kewenangan demi kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada kasus penangkapan pegawai Kominfo di Bekasi. Masyarakat membutuhkan bukti bahwa keadilan tidak hanya berlaku bagi kalangan bawah, melainkan juga bagi mereka yang berada di posisi kekuasaan. Tanpa langkah tegas ini, pemberantasan judi online hanya akan menjadi “sandiwara hukum,” yang lebih mengorbankan rakyat kecil, sementara pihak-pihak yang sebenarnya berkuasa tetap bebas bersembunyi di balik layar. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah