NUKILAN.id | Jakarta — Pemekaran daerah selama ini kerap digadang sebagai solusi pemerataan pembangunan dan peningkatan layanan publik. Namun, pengamat kebijakan publik Indonesia, Nicholas Martua Siagian, menilai bahwa realitas di lapangan jauh dari harapan.
Alih-alih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, pemekaran justru menciptakan berbagai masalah baru, baik dari sisi fiskal maupun demokrasi.
“Dari sisi fiskal, transfer Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah meningkat tajam. Dari Rp54,31 triliun pada 1999 menjadi Rp167 triliun pada 2009, dan pada 2025 bahkan mencapai Rp446 triliun,” ungkap Nicholas kepada Nukilan.id pada Minggu (4/5/2025).
Namun, ia mempertanyakan apakah lonjakan dana tersebut benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
“Realitasnya, di banyak daerah hasil pemekaran, belanja pegawai dan operasional menyerap porsi besar APBD. Belanja produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur justru dikorbankan,” lanjutnya.
Menurut Nicholas, semangat pemekaran yang semula ditujukan untuk mendekatkan negara ke rakyat kini justru menimbulkan efek sebaliknya. Rendahnya kapasitas birokrasi daerah menjadi penghambat utama dalam pelayanan publik yang efektif.
“Alih-alih mendekatkan pelayanan ke rakyat, pemekaran malah memperlebar jarak antara rakyat dan negara. Kapasitas birokrasi yang minim membuat pelayanan publik semakin buruk,” tegasnya.
Ia menambahkan, setiap Daerah Otonomi Baru (DOB) yang dibentuk membutuhkan pembangunan struktur pemerintahan dari awal, mulai dari kepala daerah, legislatif daerah, hingga perangkat dinas dan birokrasi lainnya.
Konsekuensinya, belanja rutin meningkat drastis, namun manfaat langsung ke masyarakat nyaris tak terlihat.
“Setiap DOB baru berarti membangun struktur pemerintahan dari nol, seperti gubernur, bupati atau walikota, DPRD, hingga dinas-dinas baru. Konsekuensinya, belanja rutin birokrasi melonjak, namun manfaat untuk rakyat nihil,” katanya.
Tak hanya menjadi beban anggaran, pemekaran juga memperluas beban demokrasi elektoral. Nicholas menyoroti bahwa setiap DOB otomatis akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif, yang membutuhkan biaya politik sangat besar.
“Biaya politik pun membengkak. Satu kali Pilkada bisa menelan ratusan miliar rupiah,” ujarnya.
Di tengah masifnya pemekaran dan biaya politik yang terus membengkak, Nicholas menilai rakyat justru semakin terpinggirkan. Pemilu di daerah-daerah baru lebih banyak menjadi arena perebutan kekuasaan antarelite ketimbang forum demokrasi rakyat.
“Di sisi lain, pasar politik semakin luas, rakyat hanya menjadi angka dalam daftar pemilih. Elit lokal dan nasional saling berebut panggung, sementara rakyat hanya menonton dan membayar ongkosnya melalui pajak,” tutupnya.
Untuk diketahui, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Otda Kemendagri) mencatat sampai dengan April 2025 setidaknya ada 341 usulan daerah untuk dimekarkan, baik itu mencakup provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Otda Kemendagri Akmal Malik merinci bahwa jumlah itu terdiri dari 42 usulan pembentukan provinsi, 252 usulan pembentukan kabupaten, 36 usulan pembentukan kota, dan 6 usulan daerah istimewa, dan 5 daerah otonomi khusus. (XRQ)
Reporter: Akil