Tuesday, May 7, 2024

Pejuang Akar Rumput Perempuan Leuser

Nukilan.id – Rasanya, sudah jadi pemeo nasional bahwa perempuan Aceh itu penuh potensi. Mereka yang memiliki akses ke gampong-gampong tentu tahu, bahwa ini benar. Banyak perempuan pejuang tangguh di Aceh. Namun, karena mereka bergerak di akar rumput, maka sosok dan kisah perjuangan mereka jarang terekspos.

Berikut ini adalah profil tiga perempuan pejuang yang sudah mumpuni di lahan juangnya.

Meutia Delima: pejuang literasi di Lembaga Pemasyarakatan

Meutia Delima sedang mengisi Pengajian. Foto. Dok. Istimewa

Bagi warga negara biasa sekali pun, literasi bukan masalah enteng. Perlu kesungguhan untuk mendalaminya. Apalagi bagi warga binaan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas). Namun, seorang perempuan dengan tak kenal lelah berusaha memperkenalkan serta menguatkan literasi warga binaan di Lapas Wanita Kelas II B Sigli. Namanya Meutia Delima. Di Lapas ini, ia adalah Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Kegiatan Kerja. Perjuangannya memperkenalkan literasi di kalangan perempuan warga binaan berpangkal pada keprihatinan.

Ia menengarai, sebagian besar warga binaan ini buta Al Quraan. Karena itu ia berinisiatif membuat program belajar baca Al Quraan. Meski awalnya warga binaan yang tertarik mengikuti program ini hanya satu dua orang, kini musala tempat acara diadakan selalu penuh. Program itu juga sudah dikembangkan dengan kelas belajar Arab Jawi. Para pengajar adalah kawan-kawan Meutia, alumnus Pesantren Jeumala Amal, Pidie.

Meutia, kandidat doktor UIN Ar Raniry, yakin bahwa melek literasi akan membantu seseorang memiliki karaktere kuat, dengan orientasi hidup yang lebih berarti. Karena itu, selain membaca, ia mendorong warga binaan untuk mencoba menulis, sebagai semacam terapi self healing.

Saat bertugas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak(LPKA) Kelas II Banda Aceh, Meutia bahkan sudah menginiasi lahirnya buku berjudul Kepak Sayap Yang Tertunda. Buku ini adalah kompilasi kisah-kisah anak-anak yang tengah berhadapan dengan hukum, penghuni LPKA.

“Dengan menulis, mereka bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada di hati,” kata Meutia.

Nuraini, sang Teungku Inong: mengajar mahasiswa mengaji

Ummi Tet bersama Mahasiswa Universitas Syaiah Kuala (USK)

Punya ‘jabatan’ resmi sebagai Penyuluh Kementerian Agama Non ASN untuk Kecamatan Syiah Kuala, Nuraini, akrab dipanggil Ummi Tet, mengajar melek Al Quraan di Balai Pengajian Al Ikhlas, Gampong Rukoh. Usia muridnya merentang dari usia PAUD hingga perempuan usia matang, juga mahasiswa.

Ummi Tet menengarai, banyak masyarakat umum yang sebetulnya ingin memperdalam pengetahuan mereka di bidang agama. Namun, takut atau malu untuk belajar di dayah resmi. Malu karena usia sudah lanjut, atau takut, karena sebagian dayah masih memberlakukan hukuman dera bila siswanya terlambat belajar. Ummi Tet menerapkan cara belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan.

“Awalnya mengajar anak sendiri, kemudian mendirikan TPA. Ternyata masyarakat sekitar tertarik. Di antaranya, bahkan mahasiswa,” ujar Ummi Tet. Para mahasiswa ini belajar mengaji pada Ummi Tet agar lulus Program Tahsin di kampus mereka, UIN Ar Raniry. Pasalnya, UIN Ar Raniry menetapkan bahwa setiap sarjana dari Kampus ini harus lulus Program Tahsin. Baru ijazah mereka dapat diambil.

Problem pembacaan Al Quraan para mahasiswa ini beragam. Bahkan ada yang melafalkan huruf hijaiyyah pun belum lancar, sehingga harus dituntun. Metode mengajar Ummi Tet yang berlandaskan pemahaman atas perbedaan potensi pelajar serta kasih dan keramahan, membuat balai pengajiannya selalu ramai, hingga jauh malam. Ummi Tet bahkan membuka kelas tajwid secara daring, melalui gawai.

Soal biaya SPP, Ummi Tet tidak menetapkan tarif. Berapa pun yang ikhlas diberikan santrinya, diterimanya. Termasuk bila jasanya diukur dengan hasil panen sayur mayur.
Ummi Tet sangat yakin bahwa tak ada kata ‘tidak bisa’ dalam hal mengaji Al Quraan.
“Kalau mau belajar, pasti semua bisa,” ujar sang Teungku Inong.

Badriah M Taleb: pejuang Hak Asasi Manusia (HAM)

Badriah M Taleb sedang menghadapi klien

Tidak banyak manusia yang, setelah berkali dilanda ujian mental, dapat bangkit hidup normal kembali. Badriah M Taleb adalah salah satunya.

Perempuan kelahiran Meunasah Lhok, Aceh Utara ini, adalah penyintas jempolan. Tsunami, kekerasan dalam rumah tangga, perisakan, penganiayaan, bahkan percobaan pembunuhan adalah daftar ujian yang pernah dialaminya.
Giat menjadi pendamping perempuan dan anak korban kekerasan, Badriah mulai akrab dengan aktivitas pejuang hak asasi manusia pada 2007. Saat itu sebuah lembaga pemberdayaan perempuan mengadakan pelatihan di gampongnya. Mengikuti kegiatan lembaga itu adalah titik balik baginya. Ia belajar banyak tentang isu HAM, terutama hak perempuan dan anak. Pelajaran penting yang didapatnya ini kemudian dibagikannya pada kaum perempuan di kampungnya.

“Saya memberikan layanan konsultasi terkait hak perempuan dan anak, pendampingan perkara kekerasan, sampai sekedar ‘curcol’,” kata Badriah. Menerima telepon klien sampai jauh malam bukan hal istimewa.

Menerima konsultasi dan menjadi pendamping peristiwa kekerasan bukan hal mudah. Dampaknya bukan hanya fisik yang mengalami keletihan, namun juga jiwa. Badriah punya metode khusus untuk pemulihan kondisi psikologisnya.

“Saya pasang headset, setel musik kecapi suling Sunda, lalu pergi mengendarai motor. Tanpa tujuan, sekedar jalan menjernihkan kembali pikiran,” katanya. Kini, penerima Anugerah Perempuan Aceh Award 2015 ini makin giat mewujudkan Forum Anak serta program layanan berbasis komunitas di gampong.

Reporter Dian Guci, dikutip dari website perempuanleuser.com

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img