MEMANG benar dalam UUD 1945 pasal 18 b, negara menghargai dan menghormati satuan-satuan pemerintahan yang bersifat istimewa dan khusus bagi suatu daerah dalam NKRI. Terhadap hal ini harus dipahami pula, bahwa hal-hal itu niscayalah berdasarkan warisan dan fakta obyektif sejarah yang ada di suatu daerah, tidak berdasarkan kepentingan dan selera politik kontemporer di daerah itu, apalagi hanya memenuhi selera dan syahwat politik subyektif chauvinis radikal satu kelompok di suatu daerah yang boleh jadi nyata-nyata tidak memberi manfaat apapun kepada rakyat, sementara dalam waktu yang bersamaan dapat menguras cukup banyak uang rakyat yang dikeruk dari anggaran daerah, padahal sejatinya uang sebanyak itu dapat dipergunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak.
Dalam kasus Aceh, adalah Lembaga Wali Nanggroe (LWN) yang ada saat ini, bahwa ia nyata-nyata tidak memberi manfaat apapun kepada kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Kebanggaan dan tingginya marwah Aceh juga tidak di dapatkan darinya. Ketika saya gagal paham, sudah lama saya menanti adanya penjelasan obyektif berdasarkan fakta apa kebanggaan dan tingginya marwah Aceh dimata rakyat Aceh dan juga rakyat daerah lain di Indonesia dengan adanya LWN di Aceh. Apalagi dikaitkan dengan sosok Malek Mahmud dengan berbagai trik sudah di disain untuk didudukkan sebagai “wali nanggroe” itu, yang terkadang saya menjadi geli mendegar dan membaca sebutan/pangillan/sanjungan mentereng dan selangit kepadanya. Mungkin berbeda apabila yang menempati jabatan Wali Nanggroe itu almukarram walmuhtaram Dr Tgk Hasan Muhammad di Tiro. Dan memang seperti yang sering saya katakan/tulis berdasarkan pernyataan Ahli Hukum Tata Negara Prof Dr Yusri Ihza Mahendra, pada proses penyusunan UUPA, bahwa diadakan LWN sebagai maqam pengabdian dan penghormatan kepada beliau. Tetapi faktanya sebelum menempati jabatan Wali Nanggroe Allahu yarhamuh sudah kembali ke alam baqa. Allaahummaghfirlahuu warhamhuu wa’aafihii wa’fu anhu.
Betapa tidak, terus terang mengacu kepada kriteria dan tugas LWN sebagaimana tertera dalam UUPA, bahwa Malek Mahmud yang dengan rupa-rupa cara dan trik itu didudukkan sebagai “wali nanggroe” memang tidak memunuhi kriteria dan kapasitas, baik sebagai sosok maupun kualitas ilmu yang dimilikinya. Khusus berkaitan dengan ilmu, rekam jejak Malek Mahmud memang sangat misterius, apalagi ilmu keislamannya. Sudah sekian lama dicokolkan di jabatan itu, dia tidak mampu menunjukkan dirinya yang independen, dan bahkan sangat partisan, juga tidak mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya sebagaimana diamanahkan dalam UUPA. Kecuali hanya kerap wira-wiri ke sana ke mari. Sering anjangsana ke Jakarta didampingi dendayangnya untuk hal-hal yg tidak kaitan dengan tupoksi nya sebagaimana diperintahkan kepadanya berdasarkan UUPA itu. Yang terakhir ke Jakarta kembali bertemu dengan deplomat nagara asing. Hal ini diketahui melalui foto dan berita yang dimediamassakan dendayang Malek Mahmud bidang humas. Dari hana buet mita buet (cari-cari kerjaan) ini kembali saya pertanyakan, apa manfaatnya untuk rakyat. Padahal di bulan baik dan hari baik berkenaan dengan bulan Ramadhan ini, menurut saya daripada bersafari bersama dendayang ketemu deplomat asing jauh-jauh ke Jakarta dengan SPPD dari uang rakyat, lebih baik dan terhormat safari keliling Aceh, ke masjid-masjid jadi imam shalat dan khatib/pemberi taushiyah kepada ummat, dengan materi yang aktual, wabil khusus berkaitan dengan penguatan aqidah, syariah, dan akhlaq serta ukhuwwah Islamiyah dan ukhuwwah insaniyah di tanah Aceh. Tetapi agaknya untuk safari dengan muatan demikian diharapkan kepada Malek Mahmud laksana mengharapkan di kepala kucing tumbuh tanduk (lungkè mie). Sorotan saya ini tidak ada kaitan dengan pribadi Malek Mahmud. Bagi saya tidak ada urusan dengan kapasitas dan kualitas pribadinya. Apalagi dalam susana ibadah puasa Ramadhan saat ini.Tetapi yang saya sorot adalah status dia sebagai pejabat publik, dengan kriteria dan tupoksi yang sudah baku dalam konstitusi negara. Dan dalam negara demokrasi sudah menjadi realitas politik dan sosioligis, bahwa terhadap pejabat publik, sosok, kapasitas dan kinerjanya sudah semestinya dan memang tidak terlepas dari sorotan dan kontrol publik.
Berdasarkan fakta demikian, sekaitan dengan sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021 dan Perubahan Prolegnas tahun 2020-2024 ke Privinsi Aceh sebagaimana diberitakan media massa mainstream di Aceh (Minggu, 2 Mei 2021), di mana saat bertemu dengan representasi pejabat Aceh dari Eksekutif dan Legislatif, DPRA minta pusat tidak pangkas kewenangan Aceh saat rancang produk undang-undang nasional. Tentu kita sepandapat dan mendukung permintaan ini, ya, tentunya kewenangan yang memang menjadi modal dan dasar konstitusi negara demi mewujudkan kesejahtaraan dan kemaslahatan rakyat Aceh. Salah satunya adalah mempermanenkan dana otonomi khusus (otsus) Aceh dalam UUPA. Namun menurut saya Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dihapuskan saja dalam UUPA. Karena fakta dan realitas obyektifnya selama ini, bahwa LWN adalah lembaga mubazir, beban rakyat yang tidak memberi manfaat apa-apa bagi kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Juga darinya menurut saya dan saya yakin juga banyak rakyat Aceh menilai LWN dan “wali nanggroe” tidak ada kebanggaan dan tidak meninggikan marwah Aceh di mata rakyat Aceh sendiri, apalagi di mata daerah-daerah lain di Indonesia, konon lagi di mata dunia, kecuali menjadi beban yang hanya menguras uang rakyat puluhan miliar rupiah setiap tahun. Padahal sejatinya uang sebanyak itu dapat dipergunakan untuk hal-hal yang memberi manfaat langsung bagi kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat di semua zona dalam teritori Aceh. Wallahu ‘alamu bis-shawaab.
Ghazali Abbas Adan, Mantan Anggota Parlemen RI.