NUKILAN.id | Banda Aceh — Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyarankan pemberian kesempatan bagi koruptor untuk bertobat dengan mengembalikan uang hasil korupsi memicu gelombang diskusi hangat di tengah masyarakat. Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Mesir, yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis (19/12/2024) lalu.
Komentar Presiden tersebut mengundang beragam tanggapan, terutama terkait efektivitas strategi pemberantasan korupsi di Indonesia yang selama ini dinilai masih lemah. Banyak pihak menilai pendekatan semacam itu bisa melemahkan semangat penindakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi.
Nicholas Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, memberikan pandangannya mengenai kompleksitas penanganan korupsi di tanah air. Menurut Nicholas, memaafkan tindakan korupsi tidak bisa dilakukan tanpa memikirkan dampak luasnya terhadap masyarakat, integritas sistem hukum, dan keberlanjutan pembangunan negara.
“Ibarat kapal tanpa nahkoda yang tidak tahu arahnya ke mana, terkadang oleng ke kiri, terkadang oleng kanan,” kata Nicholas kepada Nukilan.id, Senin (6/1/2025) memberikan perumpamaan yang menggambarkan kondisi pemberantasan korupsi yang semakin terombang-ambing.
Ia menyoroti sejumlah persoalan yang membuat pemberantasan korupsi tampak kehilangan arah. Mulai dari kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belum tuntas, independensi KPK yang dianggap hanya formalitas, hingga lemahnya ketegasan Kejaksaan Agung. Nicholas juga menyinggung banyaknya oknum Polri yang terlibat praktik culas serta skandal korupsi di Mahkamah Agung yang dinilainya sangat mencoreng institusi peradilan.
“Lalu, siapa yang bisa dipercaya? Sebagai masyarakat biasa, yang bisa kita lakukan hanya berharap sistem pemberantasan korupsi masih berfungsi sebagaimana mestinya,” tambahnya.
Terkait pernyataan Presiden Prabowo yang mendorong pendekatan pencegahan dan pemulihan aset, Nicholas menilai langkah tersebut sejalan dengan Konvensi PBB (UN Convention Against Corruption) 2006 yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Namun, ia menegaskan, pengedepanan pencegahan dan pemulihan aset tidak berarti menghapuskan pidana koruptor sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Pengembalian kerugian negara memang bisa menjadi faktor yang meringankan hukuman, tetapi bukan berarti pelaku korupsi dibiarkan tanpa sanksi tegas,” katanya.
Menurut Nicholas, pemberantasan korupsi memerlukan kombinasi strategi yang holistik, meliputi penindakan tegas, pencegahan melalui perbaikan sistem, dan pemulihan aset yang terorganisasi. Ia memperingatkan bahwa narasi yang lemah dalam pemberantasan korupsi dapat menurunkan persepsi masyarakat tentang keseriusan kejahatan tersebut.
“Jangan sampai tindak pidana korupsi yang selama ini dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) berubah menjadi kejahatan biasa (ordinary crime),” tegasnya.
Nicholas menutup dengan menyerukan reformasi sistem hukum yang tidak hanya menghukum tetapi juga memberikan efek jera, memperbaiki celah-celah yang memudahkan korupsi, dan memulihkan aset negara untuk menciptakan pemerintahan yang sehat dan berintegritas. (XRQ)
Reporter: Akil