NUKILAN.ID | JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya untuk menaikkan gaji hakim di Indonesia. Ia berdalih, langkah ini merupakan bagian dari upaya memperkuat integritas lembaga peradilan, yang ia sebut sebagai “benteng terakhir keadilan”.
Prabowo mengatakan bahwa percuma tentara dan polisi hebat jika koruptor selalu lolos begitu sampai di pengadilan karena dibebaskan hakim yang mendapat suap karena gajinya kecil.
Namun, pernyataan ini memicu perdebatan. Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Nicholas Martua Siagian, menilai bahwa problem utama dalam dunia peradilan bukan terletak pada persoalan gaji semata. Menurutnya, membenahi moral dan sistem integritas hakim jauh lebih mendesak daripada sekadar menaikkan tunjangan.
“Kasus yang menghantam akal sehat adalah korupsi mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, yang diduga menerima suap senilai Rp 915 miliar dan logam mulia 51 kg. Jumlah ini bahkan melebihi pendapatan tahunan sebagian besar kementerian,” tegas Nicholas kepada Nukilan.id pada Jumat (20/6/2025).
Menurutnya, kasus Zarof Ricar hanyalah puncak gunung es dari persoalan sistemik yang membelit dunia peradilan Indonesia. Ia mengutip data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022 yang mencatat bahwa setidaknya 26 hakim telah menjadi pelaku korupsi.
“Ini bukan angka yang bisa dikecilkan. Yang lebih mengerikan dari kuantitas adalah kualitas vonis. ICW mencatat, dari 1.718 terdakwa kasus korupsi yang diputus sepanjang 2023, mayoritas dijatuhi hukuman ringan,” ujarnya.
Nicholas menyoroti bahwa lemahnya vonis hakim telah melemahkan semangat pemberantasan korupsi di Tanah Air. Ia menilai bahwa putusan pengadilan sering kali tidak mencerminkan keadilan, melainkan justru memperkuat impunitas pelaku kejahatan kerah putih.
“Putusan-putusan itu tak lagi berfungsi sebagai palu keadilan, melainkan sekadar tepukan halus di punggung para pelaku kejahatan kerah putih dan mafia peradilan. Seolah-olah pasal dalam UU Tipikor hanyalah komoditas negosiasi, bukan aturan pemidanaan,” kata Nicholas dengan nada getir.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kerugian negara akibat korupsi dalam dua dekade terakhir mencapai angka yang fantastis—ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Namun, yang diseret ke pengadilan kerap hanya aktor-aktor kecil dalam skema besar korupsi yang kompleks.
“Bayangkan, dalam dua dekade terakhir, nilai kerugian negara akibat korupsi kerap kali mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Namun, yang ditangkap dan diseret ke meja hijau seringkali aktor pinggiran atau operator teknis belaka,” ungkapnya.
Nicholas menyebut bahwa hal ini menunjukkan ketimpangan dalam penegakan hukum, di mana mereka yang berada di puncak kekuasaan justru kerap luput dari jeratan hukum. Ia menyarankan agar logika penindakan korupsi lebih menyentuh akar persoalan, bukan hanya permukaannya.
“Kalau kita mau jujur dan membaca logika kekuasaan secara rasional, angka korupsi sebesar itu tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan mereka yang memegang jabatan strategis,” katanya.
Bagi Nicholas, hal paling mendasar dalam reformasi hukum bukan sekadar menaikkan gaji hakim, tetapi menata ulang sistem rekrutmen, pengawasan, dan mekanisme evaluasi lembaga peradilan agar lebih transparan dan akuntabel.
“Semestinya, semakin besar nilai korupsi, semakin tinggi pula posisi jabatan pelakunya. Karena di negara yang sehat, besar kecilnya kerugian negara lazimnya berkorelasi langsung dengan luasnya kewenangan yang disalahgunakan,” ujarnya.
Dengan nada retoris, Nicholas pun menutup pernyataannya dengan pertanyaan yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi negara hukum seperti Indonesia.
“Maka pertanyaannya: mengapa para pengendali kekuasaan itu tak juga tersentuh?” tanyanya.
Pernyataan dan analisis ini menyiratkan bahwa menaikkan gaji hakim memang penting, namun tanpa pembenahan struktur dan budaya hukum secara menyeluruh, langkah tersebut bisa jadi hanya tambal sulam—solusi jangka pendek untuk masalah yang jauh lebih dalam. (XRQ)
Reporter: Akil