Muslahuddin Daud, Mengenang 17 Tahun Tsunami Aceh, Sebuah Memori untuk Peringatan Dini

Share

Oleh Muslahuddin Daud*

Hari itu 17 tahun yang lalu, di pagi buta dengan roda dua besi tua, aku meluncur menuju Alue Naga, salah satu muara sungai di Kota Banda Aceh, menyalurkan hobi memancing dan menikmati indahnya pemandangan laut.

Inilah caraku mengembalikan energi, mendapatkan inspirasi sekaligus memenuhi hajat tubuh yang berstamina tinggi.

Matahari baru saja menampakkan diri dua depa di ufuk timur. Aku persis sudah berdiri di atas batu besar paling ujung kuala Alue Naga, entah kenapa ada dorongan batiniah yang membawaku ke tempat ini, biasanya pilihan utamanya adalah kuala Gampong Jawa, lokasi di mana sejawat memancing sudah sangat mengenal diriku sangat lihai dalam mengangkat satu persatu ikan segar dari berbagai jenis.

Setelah 45 menit berlalu, tetapi belum ada satu pun sentuhan pancingku, umpan udang hidup masih segar menari menggoda sang pemangsa. Tiba-tiba, batu besar tempatku berdiri bergoyang sangat kencang, mula-mula aku menjaga kestabilan posisi sambil berdiri, tapi kemudian aku tak kuasa, terpaksa duduk melepaskan gagang pancing, dan memegang erat batu yang masih kokoh berdiri. Beberapa kali tanganku hampir telepas dari pegangan akibat kuatnya goyangan. Andai saja tanganku terlepas, boleh jadi aku korban gempa 8,9 SR pertama.

Di saat berjuang dari kejatuhan, mataku masih sempat memandang jauh suasana pinggir pantai, pohon kelapa saling bertabrakan, para nelayan yang masih di pinggir pantai tidak ada yang sanggup berdiri, semuanya terduduk dengan tangan di atas pasir menjaga keseimbangan tubuh. Setelah 7-8 menit goyangan yang menakutkan itupun berhenti.

Aku masih di atas batu sambil menoleh ke ke kanan dan kiri, sejenak aku tertegun ternyata batu tempatku duduk merupakan satu-satunya batu yang tak bergeser dari posisinya. Dua menit aku bingung mau melakukan apa, mataku kemudian tertuju pada pancing yang mata ujungnya masih ada udang dan masih menari dengan mata yang bercahaya, aku tergoda untuk kemudian melempar lagi pancingku.

Tetapi, tiba-tiba ombak normal setinggi 3 meter menerjang batu tempatku berdiri, ini tidak biasa, rasa takut menghampiri. Perlahan aku meninggalkan lokasi melewati bongkahan batu yang sudah dipenuhi air laut.

Tujuh menit lamanya aku membutuhkan waktu hingga tiba di bibir kuala Alue Naga. Setiba di sana aku disambut lelaki tua yang berusia 74 tahun, tanpa sungkan kami langsung terlibat diskusi gempa yang menurutnya pernah terjadi tahun 1964 dengan kekuatan yang hampir sama.

Tiba-tiba pemandangan aneh di depan mata terjadi, air laut di bibir sungai bergerak sangat cepat menuju laut, sebuah tarikan yang sangat dahsyat, aku kehilangan kata, hingga mata tertuju pada ikan yang menggelepar di dasar sungai, melihat nelayan yang berlabuh di lautan kering. Aku gelisah, tidak tahu apa yang sedang kusaksikan. Pak Tua menyuruhku memanggil nelayan pulang, aku gunakan suara terbesar memanggil mereka.

Saat itulah dari kejauhan aku melihat semacam gelombang berdinding meluncur dengan cepat menuju pantai. Naluri nelayanku berkata, kenapa gelombang ini tidak pecah? Ini pasti ada sesuatu yang salah, tanpa pikir panjang kuhidupkan sepeda motor melaju kencang menuju arah Simpang Mesra, persimpangan menuju kampus USK.

Tapi perjalananku tidak mulus, jalan yang kulalui sudah ambruk akibat longsor karena gemba, tidak ada pilihan lain, motorku harus kumasukkan dalam lubang, aku tidak mengerti mengapa aku terlalu kuat mengangkat motorku dari dalam lubang. Setelah lubang pertama, aku kembali meluncur hingga masuk lubang kedua dengan melakukan hal yang sama.

Namun sesampai di lubang ketiga, aku merasa ajalku tiba karena lubangnya menganga cukup besar, aku tidak ada pilihan motor kembali kumasukkan dalam lobang dan dengan sekuat tenaga kuangkat kembali. Tanpa kusadari, gelombang tsunami (waktu itu belum tahu namanya) siap menerjangku dari belakang.

Benar saja, air kencang bak air bah itu menghantamku saat tenaga terakhirku mengangkat motor dalam lubang jalan, akupun tak mengerti mengapa tenagaku blm habis padahal dua lubang sebelumnya telah menguras tenaga cukup banyak. Tsunami membasahi tubuh dan motorku, tapi ajaib lagi motor yang basah tapi masih bisa menyala. Aku beruntung lubang ketiga itu hampir mendekati jembatan Krueng Cut. Sebenarnya air mencapai ketinggian 10 meter, tapi karen dua sisi jalan sungai mengering akibat air surut ke laut hingga tidak sepenuhnya tumpah.

Dalam kondisi yang sekarat dan basah kuyup, aku sempat menoleh ke belakang, gelombang kedua datang. Saat itulah jembatan Alue Naga dengan panjang 100 meter patah dihantam gelombang dengan suara yang bergemuruh. Dalam kondisi ketakutan, aku terus melaju dengan kencang menghindari kejajaran air hingga sampailah ke Simpang Mesra.

Di persimpangan itu, aku berhenti lima detik untuk berpikir ke mana aku akan berlari, arah motorku berputar menuju Jeulingke. Aku terbayang wajah putriku yang berumur 8 bulan, Aisya. Hanya butuh tiga menit aku tiba di rumah, aku memandang sekeliling melihat wajah-wajah yang pucat sedang duduk bersimpuh menanti datangnya gempa susulan.

Saat itulah aku berteriak, “Air laut naik, air laut naik, kita harus lari!” dan benar saja, tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh yang sangat besar. Sulit dilukiskan dengan kata-kata, aku hanya punya kesempatan menarik tangan istriku, Tia, yang datang menghampiriku ke motor yang kuparkir. Ketika kuajak lari dia malah masuk kamar, rupanya dia mengambil uang cash kami Rp26 juta yang sengaja aku ambil untuk membeli tanah yang jatuh tempo pembayaran hari itu. Setelah dia keluar, gelombang besar dengan warna hitam pekat bercampur lumpur tambak Desa Tibang siap menghantam kami, lari adalah solusi.

Namun hanya mampu 30 meter, gelombang tsunami sudah membalut kami dalam lumpur dan berbagai jenis material bangunan seperti besi, seng, potongan kayu, dan lain-lain. Air terus menyeret, hingga posisi kami berada di antara arus besar dan pintu pagar sebuah rumah.

Beruntung kami tidak terseret dalam arus besar karena jalur sudah penuh sesak dengan mobil-mobil yang hanyut dan bangunan lain. Air mematahkan pagar dan membawa kami persis di depan pintu rumah itu. Tiba-tiba mobil Kijang hanyut pas di depan kami dan siap menghimpit kami ke dinding rumah, kalau itu terjadi, kami sudah tiada, tetapi ketika kami menutup mata menanti himpitan mobil, tiba-tiba suara besar menggelegar, pintu rumah patah dan menyeret kami masuk ke dalam rumah.

Tia tiba-tiba pingsan, tubuhnya nyaris tak berbenang, ketika air memutar-mutar kami dalam ruang tamu itu, aku masih mampu mengontrol agar benda tajam tidak menusuk kami. Aku berupaya menggunakan apa pun untuk bisa terapung, akhirnya aku menemukan lemari piring yang sedang berputar mengitari ruangan. Aku berusaha menaiki lemari itu sambil mengangkat istriku, akhirnya kami berhasil naik dan air menyeretnya ke sudut ruangan dan tidak berputar lagi.

Ketika berada dalam posisi di pojok, aku berpikir sudah aman dan air tidak naik lagi, tiba-tiba mataku menoleh ke dinding sebelah kanan, aku terkejut bahwa posisi air dua meter lebih tinggi dari posisi di atas lemari. Tiba-tiba, suara seperti halilintar terdengar, ternyata dinding rumah patah, dan tak ayal lagi air kembali naik dan mengangkat posisi lemari di mana kami naiki, beruntung air tidak membawa lemari keluar rumah, lemari itu dihimpit pojokan dinding beton, air terus naik hingga menghampiri plafon lantai dua. Aku berharap plafon itu triplek agar dapat kutinju untuk bisa tembus ke atas, tapi apa daya, plafon itu cor beton padat.

Saat itulah aku pasrah, ketika ruang bernapas tinggal 5 cm lagi, aku sudah berucap, “Ya Allah, aku ini hamba-Mu dan milik-Mu, dari-Mu aku berasal dan sekarang saatnya aku siap kembali pada-Mu”.

Aku semakin tak mengerti, akhir kalimatku itu sekaligus mengakhiri masuknya air gelombang tsunami. Allah memberi sisa ruang bernapas di atas lemari dan plafon rumah, tentu aku belum lega karena bisa saja semenit kemudian air naik lagi.

Dalam pikiran yang tidak menentu tangisan anak kecil masuk ke telingaku. Aku menoleh sekeliling ternyata anak itu berada di atas kayu tidak jauh dari ujung kakiku, dengan sekuat tenaga kakiku meraih kayu dan berhasil menarik anak itu ke atas lemari. Dengan sisa tenaga tangan kananku menopang istriku dan tangan kiri menopang anak laki berusia 2,5 tahun. Dua jam lamanya aku bertahan dengan tangan telentang membopong dua manusia hingga terdengar suara desiran air turun dengan sangat pelan.

Tepat pukul dua siang, aku bisa melepaskan mereka, menyandarkannya di sudut dinding seraya mengambil kayu, mengukur kedalaman air dalam rumah. Ketika air tersisa 1,5 meter, kemudian aku mencari tahu di mana tangga lantai dua rumah, mengangkat istri dan anak itu ke lantai dua rumah, sesampai di sana aku teringat sesuatu, ternyata uang Rp26 juta yang mengitari pingganggku telah hanyut dibawa air.

Aku belum menangis, tapi hatiku sangat sesak, ketika melihat pemandangan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, gedung, rumah, toko, sekolah, semua sudah rata, hamparan lautan sepanjang mata memandang. Lima jam berlalu, air tsunami surut hingga tinggal 1,5 meter.

Secara perlahan kesunyian menyeruak, suara tangisan mulai terdengar, rintihan meminta pertolongan terus bertambah. Setiap detik ada pemandangan baru, paling tidak di depanku ada mobil L300 dgn empat mayat terjejer rapi. Sedikit berpaling ke kanan di sana ada seorang nenek yang selamat dari sebatang pohon mangga kecil dan puluhan keanehan lainnya terhidang di depan mata.

Tepat pukul lima sore, di tengah dada yang sesak dan air mata yang kering, tiba-tiba terdengar suara yang menjurus padaku sambil memanggil, “Ada si Mus di situ? Anaknya selamat di atas lantai dua toko.”

Suara Bang Acin, yang juga tetanggaku membuatku gemetar, bulu kudukku berdiri, saat yang sama aku seakan kembali bertenaga. Aku menoleh ke kiri, minta permisi pada istri yang masih dalam posisi setengah sadar. Aku turun dalam lumpur tebal yang dipenuhi benda-benda yang hanyt oleh tsunami, atap seng seperti kerupuk yang diremas, kayu-kayu dengan paku tajam siap menghujam, patahan besi akan berakibat fatal bila tertusuk atau terinjak.

Aku terus berjalan di tengah sampah berlumpur menuju arah toko tempat di mana anakku berada, darah bercucuran di mana-mana akibat sulitnya menghindar dari benda tajam. Meski hanya berjarak 200 meter, aku membutuhkan waktu 40 menit. Ketika tiba di toko itu dan memandang putriku Aisya (Icha) yang tidak berbusana, badannya penuh lumpur, dari kepala, mulut, hingga telinga, serta mulut. Sungguh aku ingin berteriak, tapi suaraku mendadak hilang, hanya suara sesak ketika aku mampu menyentuhnya dari tangan Kak Ruhama, kakak iparku, yang menggendongnya sebelum gempa hingga tsunami terjadi.

Aku ingin membasuh Icha, tapi apa daya, tidak ada apa pun yang tersedia, tidak ada air, hanya lumpur di kanan kiri. Aku memutuskan membanya ke mamanya, aku menggendongnya sembari memandang bibirnya yang bergetar kedinginan yang berwarna kecokelatan. Aku berhasil membawa Icha ke mamanya, saat itu aku tidak sanggup melihat mereka berpelukan, pelukan seorang ibu dan bayinya yang berusia delapan bulan yang masih telanjang dan berlumpur. Aku putuskan kembali turun ke lumpur dengan hajat mencari air dalam botol, meski sadar ini pekerjaan gila yang tidak ada hasilnya.

Setelah setengah jam pencarian, aku menginjak seperti botol Aqua dan memungutnya dalam lumpur. Itulah harta karunku hari itu, air yang bisa membasuh muka istri dan anakku.

Tak lama berselang, abang iparku, Bang Din, mengajak menurunkan Mamak yang selamat di atas atap rumah, dia terbantu dengan bantal tidurnya yang tiga kali tenggelam hingga selamat. Kami harus memapahnya turun, karena kakinya terkilir dan tubuhnya yang banyak luka kena atap seng. Kami juga menjemput Kak Ruhama dari atas toko untuk kami satukan satu tempat sebelum memutuskan harus ke mana.

Hari mulai gelap, keadaan mencekam tidak terlihat satu pun cahaya meski hanya korek api. Setiap beberapa kaki melangkah kami bertemu mayat bergelimpangan. Aku dan Bang Din, harus memapah Mamak yang tidak bisa berjalan.

Kami tiba di lokasi terdekat yang tidak ada air pukul 12 malam di Ie Masen Kayee Adang. Kami berkumpul di masjid, kemudian kami diajak ke rumah saudara pukul dua malam. Kami melalui malam dengan keadaan tidak menentu sambil gempa senantiasa menghentak dalam jangka waktu yang pendek.

Besok pagi (27/12/2004) PR kami menanti, mencari mayat Bapak mertua, yang pada saat tsunami berada di atas kursi roda karena baru saja kena musibah tabrakan. Pukul tujuh pagi, dengan baju berlumpur tsunami kami mencari mayat Bapak, tetapi hingga siang hari belum juga ditemukan, kemudian kami mengangkat mayat-mayat lain ke masjid Gampong Peurada, hanya dalam waktu sehari masjid sudah penuh dengan mayat yang kami jejerkan, dengan harapan ada keluarga yang mengenalnya.

Hari kembali gelap, kami kembali ke Ie Masen untuk kemudian kembali besok mencari mayat bapak dan berhasil kami temukan pukul empat sore. Mayat beliau sudah diangkat oleh orang lain dan ditaruh di trotoar jalan. Kami membawanya dan disemayamkan di Ie Masen.

Hari berikutnya kami pulang ke Pidie dengan truk. Namun musibah kembali menimpa kami, Kak Ruhama yang menggendong anak saya terkena tetanus di mana seng membelah punggungnya, akhirnya nyawanya tidak bisa diselamatkan.

Mamak juga mengalami hal yang sama sehingga kami harus kembali membawanya ke Rumah Sakit Fakinah untuk dirawat tetanus. Mamak berhasil selamat atas pertolongam dokter dari Spayol. Di Rumah Sakit Fakinah, setiap pagi buta aku menjadi penerjemah dokter Spayol dalam merawat banyak pasien.[]

Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Provinsi Aceh

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News