Saturday, April 27, 2024

Multiusaha Kehutanan yang Adil

Oleh: Hariadi Kartodihardjo*

UU Cipta Kerja mengganti jenis bisnis kehutanan dengan satu jenis bisnis, yakni multiusaha. Bagaimana agar cara baru ini adil dan melindungi lingkungan?

DALAM berbagai diskusi membahas mengenai perizinan berusaha pemanfaatan hutan yang saya ikuti, wakil-wakil pengusaha umumnya mengatakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan aturan turunannya mendukung kepentingan mereka. Pengusaha di sini tidak termasuk masyarakat yang mengusahakan perhutanan sosial, karena perhutanan sosial bukan menjadi bagian dari perizinan berusaha dalam UU Cipta Kerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan memang mengatur kemudahan-kemudahan berusaha. Misalnya jangka waktu pemanfaatan hutan pada hutan produksi paling lama 90 tahun dan bisa diperpanjang (pasal 150). Selain itu pemegang izin berusaha bisa melalui multiusaha yang meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu, pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (pasal 149).

Hampir dua dekade lalu, tepatnya pada 2004—yaitu pada saat diskresi mengenai perizinan restorasi ekosistem dicanangkan—telah lahir ide dasar mengelola hutan produksi berbasis bentang alam (landscape), dengan substansi seperti multiusaha kehutanan saat ini.

Argumen utama pengelolaan berbasis bentang alam pada saat itu adalah upaya meningkatkan produktivitas hutan alam, agar secara ekonomi dan politik tidak mudah digusur oleh kepentingan sektor lain yang mempunyai produktivitas lahan lebih tinggi, seperti perkebunan atau perumahan.

Saat itu berbagai pihak yang membahasnya percaya bahwa keberadaan hutan harus dijaga oleh hukum positif agar tak dikonversi untuk tujuan lain. Soalnya, waktu itu ekspansi produksi nonkehutanan karena dorongan mekanisme pasar sedang tumbuh. Sementara produksi nonkehutanan senantiasa menggusur pemanfaatan sumber daya alam yang tidak efisien.

Fakta seperti itu tentu—bahkan tampak hingga hari ini—masih sulit diterima. Sebagian besar pelaku industri kehutanan percaya bahwa kebenaran bersumber dari hukum. Fakta kebenaran lainnya yang didukung oleh ekonomi, sosial maupun politik, cenderung dianggap “seharusnya tidak terjadi” karena semua orang harus taat hukum, padahal berbagai kejadiannya tidak sesederhana itu.

Data tahun 2020 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa perizinan usaha hutan alam sebanyak 258 unit dengan luas 18,86 juta hektare. Sedangkan usaha hutan tanaman sebanyak 295 unit dengan luas 11,24 juta hektare. Sementara itu hutan yang diusahakan dalam bentuk restorasi ekosistem sebanyak 16 unit tak lebih dari 600.000 hektare. Adapun hutan untuk perhutanan sosial di hutan produksi baru 4,5 juta hektare.

Semua perizinan itu—dengan luas sekitar 35,8 juta hektare—menempati hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 69,72 juta hektare. Persoalannya, hutan produksi yang dimanfaatkan usaha kehutanan secara legal hanya seluas 51%.

Apakah usaha-usaha itu karena didorong aturan semata? Apakah perizinan berusaha dan multiusaha kehutanan mampu meningkatkan luas pemanfaatan hutan sekaligus meningkatkan produktivitasnya? Apakah tidak ada kontribusi persoalan ekonomi, sosial, kelembagaan maupun politik?

Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) melaporkan pada 2020, ada 201 usaha hutan tanaman tidak menanam pohon dan tidak punya rencana kerja tahunan (RKT). Sementara 82 bisnis di hutan alam tidak mengurus RKT dan tidak melakukan penebangan.

Penyebabnya adalah rendahnya harga kayu bulat dan tingginya biaya produksi termasuk biaya transaksi, baik kayu bulat dari hutan alam ataupun tanaman. Selain itu juga ada konflik sosial dan intervensi usaha-usaha oleh perizinan lainnya, yang pada kasus tertentu mendapat dukungan otoritas resmi sehingga terjadi pemborosan.

Distorsi harga dengan berbagai akar persoalan itu dalam dua dekade terakhir belum terpecahkan. Penyebabnya politik nasional lebih membela industri yang mengekspor produk berbahan baku kayu dengan harga murah. Harga log dari hutan alam bisa naik hanya akibat surutnya air sungai yang tidak bisa mengangkut log tersebut.

Beberapa bulan lalu, seorang pengusaha mengatakan, karena problem-problem itu harga log mencapai lebih dari Rp 2 juta per meter kubik. Selebihnya, harga log itu tidak pernah beranjak naik dan selalu mendekati biaya produksi. Akibatnya mereka berhenti menebang.

Fakta itu bisa menjadi cermin bahwa secara umum peluang usaha dari multiusaha kehutanan akan berkembang apabila kebijakan ekonomi kehutanan mendukungnya, terutama dalam menetapkan struktur pasar yang menentukan harga komoditas dari multiusaha itu.

Sayangnya, Undang-undang Cipta Kerja yang semula ditujukan mengintegrasikan kebijakan nasional, tetap berpola pada kebijakan masing-masing sektor. Dalam hal ini, usaha kehutanan tidak menjadi bagian dari kebijakan perdagangan dan pasar. Padahal untuk mempertahankan hutan tidak mungkin dilakukan, terutama oleh swasta, bila hutan dinilai rendah atau bahkan tidak bernilai dalam struktur perdagangan.

Bagaimana mereka harus memproduksi sesuatu yang hasilnya tidak laku dijual? Untuk itu sebaiknya, dalam peraturan pemerintah yang akan mengatur perizinan berusaha dalam hutan produksi, perlu ada sinkronisasi yang menimbang masalah tersebut.

Terkait permukiman dalam kawasan hutan, termasuk dalam area perizinan berusaha, Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 memberikan penyelesaian melalui skema reforma agraria, proses penataan batas kawasan hutan, perhutanan sosial, dan hutan adat (pasal 29).

Demikian pula apabila bisnisnya berbentuk pertambangan, perkebunan kelapa sawit, atau bentuk lainnya di dalam kawasan hutan, tersedia instrumen pengampunan melalui pasal 12A, 17A, 110A, dan 110B di Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Karena itu perlu penguatan kelembagaan pelaksanaannya, termasuk tata kelolanya. Dalam hal ini, upaya meniadakan potensi konflik kepentingan perlu menjadi prioritas, karena biaya penataan batas kawasan hutan, misalnya, ditanggung perusahaan.

Sebab, konflik kepentingan bisa menyebabkan lambatnya penataan batas izin selain menyebabkan hasilnya hanya memenuhi prosedur legalitas tanpa memenuhi legitimasi masyarakat. Padahal multiusaha memerlukan harmoni pengusaha dan masyarakat di sekitarnya.

Pada akhirnya, peluang kebijakan multiusaha dan konsesi 90 tahun, sangat tergantung pada respons perusahaan. Saya menganggap kemudahan itu sudah cukup sebagai dorongan menepis stigma di masyarakat pada umumnya, bahwa usaha kehutanan menjadi penyebab kerusakan hutan dan tidak melindungi ruang hidup rakyat.

Mengutip John Elkington dalam “Green Swans: The Coming Boom in Regenerative Capitalism” (2020) bahwa “bebek buruk” kapitalisme bisa berubah menjadi “bebek hijau” yang menyelamatkan dunia. Caranya, perusahaan berkontribusi mewujudkan norma sosial, tata kelola global, dan pertumbuhan ekonomi adil dan melindungi planet ini. Operasi perusahaan mesti terwujud dan tecermin dalam sistem nilai (value system), untuk memastikan bahwa tujuan bisnis berkontribusi pada kemajuan masyarakat.

Elkington menegaskan pula bahwa nilai berbagi (shared value), apalagi nilai pemegang saham (shareholder value), bukan pemandu tata kelola perusahaan yang memadai untuk tantangan dunia saat ini dan mendatang. Ketika perusahaan menganut sistem nilai, bisnis tidak lagi menjadi entitas yang merugikan masyarakat dan lingkungan, karena perusahaan melihat dirinya sebagai bagian dari pembangunan ekonomi hijau.

*Hariadi Kartodihardjo adalah Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB.

Sumber: www.forestdigest.com

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img