NUKILAN.id | Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa calon legislatif (caleg) terpilih tidak dapat mengundurkan diri untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Keputusan ini tertuang dalam putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Dalam putusan tersebut, MK mengubah ketentuan dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi inkonstitusional bersyarat. Artinya, caleg terpilih hanya diperbolehkan mengundurkan diri jika mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum, seperti menteri, duta besar, atau pejabat publik lainnya.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menilai bahwa fenomena pengunduran diri caleg terpilih demi mengikuti Pilkada mencerminkan praktik demokrasi yang tidak sehat. Menurutnya, praktik ini berpotensi menjadi ajang transaksi politik yang melemahkan prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu.
“Calon terpilih yang hendak mengundurkan diri karena ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah adalah tindakan yang melanggar hak konstitusional rakyat sebagai pemegang kedaulatan,” ujar Arsul dalam persidangan.
Keputusan ini sekaligus menegaskan bahwa caleg yang telah dipilih rakyat tidak boleh menggunakan kursi legislatif sebagai batu loncatan untuk meraih jabatan eksekutif di daerah melalui Pilkada.
Nukilan.id menghubungi Felia Primaresti, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, untuk meminta tanggapannya terkait putusan MK ini. Felia melihat keputusan ini sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi yang lebih berintegritas.
“Sebenarnya bisa dibilang langkah maju juga sih, dalam konteks misalnya untuk memperkuat demokrasi yang lebih berintegritas,” kata Felia kepada Nukilan.id pada Sabtu (22/3/2025).
Menurutnya, aturan ini akan mencegah caleg terpilih untuk meninggalkan tanggung jawab yang telah diberikan oleh rakyat demi meraih jabatan lain.
“Implikasinya dengan aturan ini otomatis mencegah caleg terpilih untuk hengkang dari tanggung jawab yang sebenarnya sudah mereka punya, mandat yang sudah rakyat kasih untuk loncat ke jabatan-jabatan lain yang dipilih secara politis,” ungkapnya.
Namun, di sisi lain, Felia juga menyoroti potensi pembatasan hak politik individu akibat aturan ini.
“Nah tetapi di sisi lain, kalau kita ngelihat dari sudut pandang hak politik setiap individu, menurutku ini bisa juga dibilang pembatasan karena menghalangi seseorang untuk mencalonkan diri di kontestasi-kontestasi elektoral lainnya kayak di pilkada,” ujarnya.
Felia menekankan bahwa kebijakan ini bisa berdampak pada individu yang sebenarnya memiliki kapasitas dan keahlian di bidang pemerintahan daerah tetapi terhalang untuk maju.
“Terutama memang misalnya si calon ini yang memang capabel di bidang itu dan mumpuni,” tambahnya.
Karena itu, Felia melihat keputusan ini sebagai dua sisi mata uang yang harus dipertimbangkan dengan bijak.
“Aku ngelihatnya selalu ada trade-off antara menjaga integritas pemilu juga culture demokrasi yang lebih bagus versus memberikan kebebasan politik individu. Jadi aku berangkatnya dari dua sisi,” tuturnya.
Putusan MK ini jelas membawa dampak besar terhadap dinamika politik di Indonesia. Di satu sisi, aturan ini bertujuan menjaga kepercayaan publik terhadap pemilu dan memastikan caleg terpilih menjalankan amanahnya. Namun, di sisi lain, pembatasan ini juga bisa mempengaruhi hak politik individu dalam berpartisipasi dalam kontestasi demokrasi. (xrq)
Reporter: Akil