Merawat Anak Disaat Teman Sebaya Menyusun Mimpi

Share

NUKILAN.id | Feature – Disaat kampanye perlindungan perempuan dan anak gencar digaungkan di berbagai panggung resmi, kenyataan di pelosok desa bercerita lain. Satu demi satu remaja perempuan terjerat dalam lingkaran pernikahan dini, bukan karena pilihan, melainkan paksaan keadaan.

Salah satunya adalah Bunga (nama samaran), yang terpaksa mengubur masa mudanya demi menyandang status sebagai istri dan ibu diusia yang masih belia.

Ketika Nukilan.id menyambangi sebuah desa di Aceh Selatan pada Rabu, 2 April 2025, tampak seorang perempuan muda duduk di teras rumah mungilnya, memangku putrinya yang baru berusia enam tahun.

Ia baru berumur 25 tahun, tetapi wajahnya tampak lebih tua dari usianya. Kerutan halus di dahi dan pandangan matanya yang kosong menyiratkan beban yang dipikulnya sejak remaja.

Bunga dinikahkan pada tahun 2018, ketika usianya baru menginjak 18 tahun. Bukan karena cinta atau restu yang matang, tapi karena satu hal yang sering menjadi alasan utama terjadinya pernikahan dini: pergaulan bebas yang berujung pada kehamilan di luar nikah.

“Orang tua saya sangat malu waktu itu. Mereka tidak mau nama keluarga rusak, jadi saya dinikahkan cepat-cepat,” ungkap Bunga dengan suara pelan, nyaris berbisik.

Pernikahan itu bukan hanya mengakhiri masa remajanya, tapi juga memutus seluruh jalur pendidikan yang ia rancang sendiri. Ia terpaksa keluar dari sekolah saat duduk di kelas XII SMA. Sejak saat itu, buku pelajaran berganti menjadi popok bayi dan daftar belanja dapur.

Antara Stigma dan Kehidupan Baru

Perjalanan menjadi istri dan ibu pada usia yang begitu muda tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sementara teman-temannya sibuk mempersiapkan diri masuk universitas, Bunga sibuk menenangkan anaknya yang rewel di tengah malam.

“Ada rasa iri, pasti. Teman sebaya saya ada yang sudah jadi guru, ada yang jadi perawat. Saya disini, jaga rumah, masak, cuci baju, rawat anak. Itu saja hidup saya sekarang,” ucapnya sambil tersenyum kecut.

Stigma di masyarakat tak kalah menyakitkan. Dibalik keinginan keluarganya untuk “menjaga nama baik”, Bunga harus memikul rasa malu yang tidak ditanggung bersama. Pergaulan bebas dan kehamilan di luar nikah membuatnya dikucilkan secara sosial.

Di mata sebagian orang, ia adalah simbol “gagalnya moral anak muda”.

Ketika Angka Tak Lagi Sekadar Statistik

Kasus seperti yang dialami Bunga bukanlah satu-satunya di Aceh. Data dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh mencatat bahwa pada tahun 2023, sebanyak 1.310 anak mengajukan dispensasi perkawinan.

Dari jumlah tersebut, 1.263 di antaranya adalah anak perempuan—sebuah angka yang sangat mengkhawatirkan.

Tren ini berlanjut pada tahun 2024. Data terbaru menyebutkan bahwa hingga saat ini, telah terjadi 531 kasus pernikahan dini di Aceh.

Dari total 29.339 peristiwa pernikahan yang tercatat, sebanyak 482 pengantin perempuan dan 49 pengantin laki-laki masih berusia di bawah 19 tahun. Artinya, mayoritas pernikahan dini tetap dialami oleh anak perempuan.

Jika dirinci berdasarkan wilayah, Aceh Utara menempati posisi tertinggi dengan 22 kasus pernikahan dini sepanjang tahun 2024. Kabupaten lain yang juga mencatat angka tinggi adalah Bireuen dan Aceh Timur.

Fenomena ini banyak terjadi di wilayah pedesaan dan umumnya berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi rendah.

Beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan anak antara lain adalah minimnya edukasi seksual yang komprehensif, ketimpangan gender, serta budaya patriarkal yang memaksa anak perempuan menikah dini demi “menjaga kehormatan keluarga”.

Desakan keluarga, kondisi orang tua yang sudah lanjut usia, hingga praktik perjodohan juga turut memperburuk situasi. Padahal, dampak dari pernikahan dini sangat besar, terutama bagi anak perempuan.

Laporan UNICEF menyebutkan bahwa anak yang menikah di usia muda memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga, putus sekolah, dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan antargenerasi.

Siapa yang Melindungi Anak?

Secara hukum, Indonesia telah menaikkan batas usia minimal untuk menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Namun, di lapangan, praktik pemberian dispensasi nikah oleh pengadilan agama masih marak terjadi, terutama dalam kasus di mana anak perempuan telah terlebih dahulu hamil.

Di Aceh, yang menerapkan kekhususan dalam bentuk Syariat Islam, situasi ini menjadi lebih kompleks. Di sejumlah desa, pernikahan anak masih dianggap sebagai “solusi” atas persoalan moral, bukan sebagai bentuk kegagalan sistem pendidikan maupun keluarga.

Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut berperan aktif dalam mencegah praktik pernikahan usia dini.

Ajakan tersebut ditujukan mulai dari tingkat desa melalui keterlibatan kader-kader PKK dan aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), hingga pemerintah kabupaten/kota dan provinsi.

“Dampak dari perkawinan anak tidak hanya akan dirasakan oleh anak yang dinikahkan, tetapi juga akan berpengaruh pada anak yang dilahirkan. Ini berpotensi memicu kemiskinan antargenerasi,” kata Meutia sebagaimana diberitakan oleh waspadaaceh.com.

Mimpi yang Terhenti, Harapan yang Tertinggal

Kini, di usia 25 tahun, Bunga mencoba menerima kenyataan hidupnya. Ia sudah tidak berharap kembali ke sekolah, tapi berharap suatu saat bisa membuka usaha kecil agar tidak terus bergantung pada suaminya yang bekerja serabutan.

“Kalau saya tidak bisa lanjut sekolah, biarlah. Tapi saya mau anak saya nanti bisa sekolah tinggi. Jangan seperti saya,” katanya, sambil memeluk anak perempuannya erat.

Di sudut rumah yang sederhana itu, Bunga bukan sekadar potret statistik. Ia adalah suara yang terbungkam, mimpi yang terpotong, dan harapan yang berjuang untuk tetap tumbuh di tengah tanah yang kering.

Pernikahan dini mungkin dianggap solusi sesaat untuk menyelamatkan nama baik keluarga. Namun siapa yang bertanggung jawab ketika kehidupan anak yang dinikahkan itu terhenti sebelum sempat dimulai? (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img

Read more

Local News