NUKILAN.id | Opini – Pernyataan Samsul Bahri alias Tiong, anggota DPR RI asal Aceh dari Fraksi Partai Golkar, terkait permintaan penambahan pasukan keamanan di Aceh, memantik reaksi keras dari berbagai pihak. Bukan hanya menjadi bahan diskusi publik, permintaan tersebut dianggap melecehkan peran penting Pangdam Iskandar Muda, Kapolda Aceh, dan Pj Gubernur Aceh. Pernyataan itu juga dipandang sebagai penghinaan terhadap pimpinan dan anggota DPR Aceh.
Pertanyaan pun muncul: Apakah permintaan ini benar-benar mewakili 17 anggota Forbes (Forum Bersama) Aceh di Senayan atau sekadar suara pribadi Tiong? Sebagai informasi, Forbes terdiri dari 13 anggota DPR RI dan 4 anggota DPD RI asal Aceh. Jika permintaan ini tidak melalui kesepakatan bersama, maka klaim Tiong hanya akan dianggap sebagai manuver politik pribadi yang gegabah.
Argumen Dangkal dan Berbau Emosional
Tiong mendasarkan permintaannya pada sejumlah insiden, seperti perusakan baliho, pelemparan granat, dan dugaan ancaman terkait Pilkada Aceh. Namun, alasan ini dinilai tidak cukup kuat untuk menyatakan bahwa situasi keamanan di Aceh membutuhkan intervensi pasukan tambahan.
Pendekatan yang dilakukan oleh Tiong terkesan emosional dan kurang berdasar pada kajian komprehensif. Sebuah keputusan sebesar itu seharusnya dibahas secara kolektif oleh Pangdam Iskandar Muda, Kapolda Aceh, Pj Gubernur, DPR Aceh, dan anggota Forbes Aceh. Melontarkan permintaan tanpa konsultasi hanya akan memperlihatkan lemahnya koordinasi antar-pemangku kepentingan.
Merendahkan Kinerja Aparat
Yang lebih disayangkan adalah implikasi pernyataan Tiong terhadap aparat keamanan di Aceh. Dengan meminta tambahan pasukan, Tiong seolah-olah menyatakan bahwa Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda tidak mampu menjaga keamanan di wilayahnya. Ini jelas mencederai semangat kerja aparat yang telah menunjukkan dedikasi tinggi dalam menjaga stabilitas keamanan di Aceh.
Padahal, Kodam Iskandar Muda dikenal memiliki kemampuan intelijen yang mumpuni untuk mendeteksi potensi gangguan keamanan sejak dini. Begitu pula, Kapolda Aceh telah menunjukkan komitmen dalam penegakan hukum secara profesional. Pernyataan seperti ini hanya akan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi keamanan lokal.
Peran Pj Gubernur dan Politik Lokal
Pj Gubernur Aceh juga tidak lepas dari sorotan dalam konteks ini. Sebagai pembina politik daerah, ia memiliki kewenangan dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan Aceh melalui pengawasan terhadap Kominda (Komite Intelijen Daerah). Keputusan strategis terkait keamanan daerah semestinya melibatkan peran aktifnya.
Tiong juga tidak dapat dilepaskan dari posisi politiknya sebagai bagian dari tim pemenangan salah satu pasangan calon gubernur Aceh. Hal ini memunculkan dugaan bahwa langkahnya lebih berorientasi pada agenda politik daripada kepentingan rakyat Aceh secara umum. Jika benar demikian, pernyataannya justru dapat menjadi pemicu polarisasi dan konflik di tengah masyarakat.
Teguran untuk Golkar
Sebagai salah satu partai pendukung utama perdamaian Aceh, Partai Golkar memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga citra positifnya. Pernyataan Tiong yang dinilai provokatif ini mencoreng nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan Golkar, termasuk komitmennya terhadap perdamaian Aceh pasca-MoU Helsinki.
Sudah sepatutnya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar memberikan teguran keras kepada Tiong. Partai harus memastikan bahwa kadernya tidak menjadi aktor yang memperkeruh situasi politik dan keamanan di Aceh. Dalam konteks ini, peran partai politik sangat penting untuk menjaga harmoni dan kepercayaan publik.
Menjaga Stabilitas Damai di Aceh
Aceh telah melalui perjalanan panjang untuk mencapai perdamaian. Setiap langkah yang diambil harus didasarkan pada kehati-hatian dan kajian mendalam. Permintaan penambahan pasukan tanpa alasan yang kuat tidak hanya akan merusak stabilitas, tetapi juga menciptakan kesan bahwa Aceh kembali berada di bawah bayang-bayang konflik.
Samsul Bahri alias Tiong perlu lebih bijak dalam menyampaikan pernyataan. Jabatan sebagai wakil rakyat adalah amanah untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, bukan sekadar panggung untuk ambisi pribadi. Jangan sampai, karena keliru dalam bersikap, citra damai Aceh yang telah diperjuangkan dengan susah payah kembali ternoda.
Semoga semua pihak dapat belajar dari polemik ini: bahwa stabilitas Aceh adalah tanggung jawab bersama. Keputusan besar, seperti penambahan pasukan keamanan, harus melalui proses yang kolektif, transparan, dan berdasarkan kepentingan masyarakat luas. Peace first, politics later.
Editor: Akil