Penulis: Prabu Yudianto
Nukilan.id – Aceh selalu masyur sebagai serambi Mekkah. Budaya Islam yang dibawa dari Timur Tengah kental terasa dalam setiap lini kehidupan. Baik perkara busana, tarian, musik, hingga kuliner. Betapa Aceh menjadi miniatur dari budaya yang nun jauh di barat Nusantara.
Sedangkan Kupang yang berada di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah cerminan budaya timur Indonesia. Meskipun pengaruh agama dan budaya Islam juga kuat, namun NTT tetap menyimpan identitas khas Melanesia. Kupang dan NTT juga masyur dengan keindahan alam yang eksotis.
Tentu kita maklum, kedua daerah tersebut punya perbedaan budaya yang tegas. Terpisah sejauh 5000 km tentu membentuk ciri khas spesifik dari kedua daerah. Apalagi bicara perkara kuliner.
Kuliner sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan pangan daerah tersebut. Budaya setempat juga punya andil dalam karakteristik kuliner. Dan tentunya perbedaan ini menambah keberagaman di Nusantara. Kembali dalam semboyan Indonesia “bhinneka tunggal ika”, berbeda-beda tapi tetap satu.
Baca juga: Segarnya Air Kelapa Muda di Jalan Imam Bonjol Banda Aceh
Namun bagaimana jika warga Aceh ingin menikmati kuliner khas Kupang? Apakah harus melewati ribuan kilometer dan ratusan jam agar dapat mencicipi nikmatnya makanan khas NTT? Jika kita mengenang era kerajaan, tentu ini harus dilakukan. Apalagi dengan transportasi yang belum maju, menikmati makanan khas Kupang NTT hampir seperti keniscayaan.
Mungkin masyarakat Kerajaan Samudera Pasai merindukan kemewahan ini. Membayangkan sajian khas dari negeri nun jauh di timur Nusantara seperti mimpi yang tak terbeli. Apalagi jika bicara sajian kuliner yang otentik.
Seperti yang sudah disampaikan, perkara kuliner sangat bergantung pada ketersediaan bahan pangan di daerah masing-masing. Bahan pangan yang unik ini membuat sajian setiap daerah punya otentisitas tersendiri. Semisal sei sapi dari Kupang. Dengan bahan baku dan pengasapan yang khas, sei sapi yang otentik akan sulit diperoleh diluar Kupang.
Baca juga: Disbudpar Aceh Dorong Pelaku Wisata Manfaatkan Medsos
Namun apa jadinya jika masyarakat Aceh bisa merasakan nikmatnya sajian kuliner khas Kupang? Dan tentu saja, sajian yang otentik. Bukan sekadar sajian yang mirip dan dipaksakan, namun sajian yang seperti datang langsung dari NTT. Tentu ini akan menjawab kerinduan masyarakat Aceh. Dan seperti membalas rindu kerajaan Samudera Pasai yang kesulitan mencicipi kuliner otentik khas Kupang NTT.
Warung Daging Asap (WDA) ingin menjawab kerinduan ini. Berawal dari Medan, WDA ingin membawa cita rasa sei yang otentik dan halal menuju Aceh. Tepatnya di Lhokseumawe. Tidak sekadar membawa kuliner abal-abal dan menumpang nama besar sei, WDA menyajikan sei sapi dan ayam yang otentik selayaknya disajikan dari dapur Kupang NTT.
Baca juga: Sempat Terpuruk, Kini Sektor Pariwisata Aceh Mulai Bangkit
WDA menyajikan sei sapi dan ayam dengan bumbu yang pas serta marinasi yang tepat. Teknik pengasapan khas Kupang menjamin rasa yang otentik sampai ke lidah penikmatnya. Dan tentu saja, sei sapi dan ayam dari WDA 100% halal!
Tanpa sadar, WDA telah menyatukan Aceh dan Kupang dalam rasa. Kini warga Aceh tidak lagi harus susah payah memperoleh sei sapi dan ayam yang otentik. Jika Kerajaan Samudera Pasai masih berdiri, mungkin kerinduan mereka dapat terjawab oleh WDA (Warung Daging Asap).[]
Baca juga: Logika Hukum Pilkada di Aceh