NUKILAN.id | Opini – Tidak terasa kita akan memasuki momentum transisi pemerintahan setelah melewati pemilihan presiden yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Tahap demi tahap telah selesai dilaksanakan, mulai dari kampanye, mencoblos di bilik suara, penghitungan hasil, putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres), hingga adanya Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih periode 2024-2029.
Indonesia bukan lagi di fase memperdebatkan siapa pemimpin terbaik, siapa pemimpin yang layak, siapa pemimpin yang harus dipilih. Bukan lagi berada di fase terpecah-pecah karena nomor, warna partai, pilihan politik, hingga kepentingan lainnya. Namun, Indonesia ada pada tahap di mana putusan KPU ini menjadi dasar untuk kita kembali bersatu dan berharap kepada pemimpin yang telah terpilih dapat memberikan kebijakan sebaik-baiknya dan sepenting-pentingnya untuk rakyat Indonesia.
Pada saat debat kelima Pilpres 2024 pada 4 Februari 2024 yang bertemakan kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi, salah satu program yang diusung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, adalah makan gratis. Bahkan, Prabowo Subianto sepanjang debat menyebutkan delapan kali frasa ‘makan gratis’. Dalam debat tersebut dijelaskan bahwa program makan gratis ini diharapkan dapat memastikan tercapainya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Sebelumnya, pada 20 Desember 2023 dalam acara Konsolidasi Nasional Relawan Prabowo-Gibran Digital Team di Jakarta, anggaran yang diperlukan untuk merealisasikan program tersebut mencapai Rp450 triliun, seperti yang disampaikan oleh anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Hashim Djojohadikusumo. Baru-baru ini, dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024, Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bakal menggelontorkan anggaran sampai Rp800 miliar per hari untuk mendanai program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Jika diimplementasikan secara penuh, akan menjangkau hingga 82,9 juta penerima dengan anggaran sebesar Rp400 triliun. Kepala Badan Gizi Nasional juga menyebutkan bahwa program ini menjadi bagian dari investasi besar pemerintah dalam memperkuat sumber daya manusia (SDM) melalui penyediaan makan bergizi secara gratis kepada jutaan penerima.
Dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024-2045, salah satu poin yang diatur adalah pemanfaatan produksi lokal, termasuk pangan daerah. Meski demikian, konsep dalam RPJPN belum memberikan target keberhasilan makan bergizi gratis dalam hal meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Dari perspektif regulasi, program Makan Bergizi Gratis ini memerlukan dukungan yang kuat dari legislatif tentu karena pelaksanaannya tidak lepas dari jumlah anggaran negara yang akan dikeluarkan dan konsistensi program selama lima tahun ke depan. Di beberapa negara, penyediaan makanan bergizi di sekolah telah diatur melalui undang-undang. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat National School Lunch Act 1946, di Jepang ada Shokuiku Kihon HÅ 1954, di Finlandia Perusopetuslaki 1998, di Brasil Lei No. 11,947/2009, di Swedia Skollagen 2010, di India National Food Security Act 2013, dan di Inggris ada Children and Families Act 2014.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 juga menjadi penting sebagai dasar penguatan program makan bergizi gratis dalam lima tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. RPJMN memberikan kerangka strategis yang jelas dalam menetapkan prioritas pembangunan, termasuk upaya peningkatan gizi masyarakat. Dengan mengikuti acuan ini, program makan bergizi gratis dapat dirancang secara sistematis dan terukur, memastikan alokasi sumber daya yang efisien serta pencapaian target-target pembangunan yang spesifik. Selain itu, integrasi program ini dalam RPJMN memungkinkan pengawasan dan evaluasi yang lebih baik, sehingga efektivitas dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dapat dipantau secara berkala, mendukung tercapainya visi pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Program unggulan Presiden dan Wakil Presiden terpilih ini tentu harus dilandasi oleh perencanaan yang matang dan berkualitas. Menggelontorkan Rp800 miliar per hari tentu bukanlah angka yang kecil, apalagi sumbernya berasal dari anggaran negara. Pemerintah melalui Bappenas, Badan Gizi Nasional, serta kementerian/lembaga terkait perlu mengkaji dan merumuskan bagaimana teknis pelaksanaan di lapangan, siapa saja target penerima, tata kelola dan kewenangan, hingga apa saja indikator keberhasilan program ini.
Berbicara soal teknis pelaksanaan di lapangan, tentu cakupannya sangat luas. Mulai dari apa saja nutrisi dalam makan bergizi gratis yang tepat, siapa saja tender yang terlibat, pemilihan menu makan bergizi gratis, hingga bagaimana keterlibatan antar pihak yang mendukung berjalannya program ini. Selain itu, perlu adanya sinkronisasi data tentang siapa saja target penerima, apakah data yang ada saat ini sudah akurat sebagai calon penerima yang tepat sasaran. Karena sifatnya adalah data nasional, maka diperlukan sinkronisasi data yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota. Harapannya, data yang akurat bisa menargetkan penerima makan bergizi gratis yang tepat sasaran, sehingga bisa mencapai tujuan awal dari program ini.
Hal lainnya yang perlu dirumuskan adalah bagaimana tata kelola dan kewenangan. Tentu bagian ini merupakan hal yang harus diperhitungkan secara hati-hati. Perlu adanya regulasi yang memberikan dasar hukum kepada pihak-pihak yang terlibat, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, desa/kelurahan, hingga pemangku kepentingan lainnya. Kebijakan atau keputusan yang diambil harus berasal dari adanya kewenangan yang diamanatkan oleh regulasi. Pembagian kewenangan yang jelas dapat mencegah terjadinya maladministrasi, serta titik kulminasinya menjadi upaya preventif pencegahan korupsi.
Berbicara tentang tata kelola sebagai pelaksanaan suatu program yang bersumber dari keuangan negara haruslah mengedepankan good governance. Dibutuhkan transparansi serta keterbukaan dalam pelaksanaan makan bergizi gratis. Kita perlu melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu, di mana malpraktik dan korupsi pada Proyek Strategis Nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah terjadi karena tata kelola yang tidak berkualitas, sehingga memberikan ruang/celah kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan sepihak dari berjalannya program tersebut.
Yang tidak kalah penting adalah menetapkan apa saja indikator keberhasilan pelaksanaan makan bergizi gratis. Saat ini belum tergambar secara jelas apa sebenarnya target dari makan bergizi gratis ini. Berbicara tentang perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) cakupannya masih sangat luas, apalagi jika dibayangkan sampai 2045. Apakah program ini menargetkan perbaikan gizi anak Indonesia, apakah menargetkan penurunan stunting, dan lain sebagainya. Perlu ada upaya merumuskan indikator yang tepat dari pelaksanaan program ini. Keterlibatan publik dan akademisi bisa menguatkan tercapainya pelaksanaan program ini sehingga tepat sasaran.
Menggelontorkan Rp800 miliar per hari bukanlah angka kecil yang sumbernya berasal dari anggaran negara. Pengelolaan keuangan negara dalam hal ini makan bergizi gratis harus didasarkan pada pengelolaan yang matang, sehingga setiap satu rupiah yang dikeluarkan dari uang rakyat dapat dipertanggungjawabkan.
Pelibatan publik, akademisi, teknokrasi, dan berbagai pihak merupakan langkah awal untuk memantapkan program makan bergizi gratis. Semua program tujuannya adalah baik untuk rakyat, namun tujuan ini harus semakin dimantapkan dengan pelaksanaan yang kredibel, sehingga apa yang menjadi cita-cita pemerintah melalui program ini dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Penulis: Nicholas Martua Siagian, S.H. (Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia)