Mengenang Sayed Mudhahar Ahmad, Sang Bupati Pencinta Lingkungan Hidup

Share

NUKILAN.id | Tapaktuan – Sayed Mudhahar Ahmad, yang lebih akrab disapa Pak Sayed, adalah Bupati Aceh Selatan periode 1988-1992. Julukan “Bupati Pencinta Lingkungan Hidup” yang disematkan kepada beliau pertama kali muncul di halaman Harian Kompas terbitan 26 Februari 1991. Sosoknya yang visioner dan peduli lingkungan membuatnya menjadi birokrat yang populer di masanya.

Dari penelusuran digital Nukilan.id, Sayed Mudhahar adalah seorang penyair, penulis, dan bupati yang banyak melakukan terobosan di sektor pertanian dan kehutanan Aceh Selatan. Bersama Al Chaidar dan Yarmen Dinamika, ia turut menulis buku “Aceh Bersimbah Darah” yang sempat menjadi bestseller pada tahun 1998-1999.

Keberanian Sayed Mudhahar dalam mengambil tindakan tegas terlihat ketika ia mengusir pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) yang tidak berpihak pada kepentingan daerah dan masyarakat Aceh Selatan. Langkah ini diambil dua tahun setelah ia menjabat sebagai bupati, di tengah banyaknya pengusaha HPH yang tidak tertib aturan dan tak peduli dengan nasib lingkungan Aceh Selatan.

Atas sikap politiknya yang pro-lingkungan, Sayed Mudhahar menerima berbagai penghargaan dari LSM, salah satunya dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada Oktober 1991. Sejak dilantik oleh Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, pada 4 Februari 1988, Sayed terus mengharumkan nama Aceh Selatan dengan meningkatkan pembangunan ekonomi di sektor pertanian.

Sayed Mudhahar juga dikenal sebagai bupati yang berhasil menyumbangkan hasil swasembada pangan terhadap nasional saat Indonesia dipimpin Soeharto. Pasca tumbangnya Soeharto, ia ikut membidani kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh dan pernah memimpin partai berlambang matahari ini selama satu periode.

Lahir di Gampong Kuala Ba’u, Kecamatan Kluet Utara, pada 26 Desember 1946, Sayed Mudhahar adalah putra dari pasangan Sayed Ahmad dan Syarifah Rukaiyah. Sejak muda, ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan memiliki hobi membaca, bertani, dan mencintai alam. Dalam karier jurnalistiknya, ia pernah menjabat sebagai pimpinan redaksi surat kabar Berjuang di Banda Aceh pada tahun 1966-1969. Ia meraih gelar sarjana ekonomi dari Universitas Nomensen Medan, Sumatera Utara, tahun 1977.

Berbekal ilmu ekonomi dan pengalaman birokrasi, Sayed Mudhahar tidak larut dalam kenyamanan pekerjaan. Ia merasa terpanggil untuk membela masyarakat dan menyelamatkan daerah Aceh Selatan, terutama dari sektor lingkungan. Sebelum menjadi bupati, ia bekerja di Pertamina dan perusahaan Mobil Oil saat persiapan kilang LNG PT Arun di Lhokseumawe, sebelum akhirnya kembali ke Pertamina pada tahun 1975.

Pengalaman sebagai Penanggung Jawab Pembangunan Masyarakat Desa (Community Development Program) di PT Arun serta pelaksanaan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) memberinya modal untuk menciptakan terobosan saat menjabat sebagai bupati. Ia meninggalkan kenyamanan bekerja di perusahaan minyak demi membangun Aceh Selatan dan menyelamatkan alamnya dari pengusaha HPH yang disebutnya sebagai sumber kemiskinan dan kemunduran daerah.

Selama masa kepemimpinannya, Sayed membagi wilayah pembangunan sesuai dengan potensi pertaniannya. Labuhanhaji hingga Kuala Batee didominasi oleh tanaman pangan, sementara Kota Fajar hingga Singkil didominasi oleh pertanian dan kehutanan. Kepemimpinan Sayed terbukti sukses dalam misi pembangunan Aceh Selatan, termasuk mengaktifkan semua pelabuhan di wilayah tersebut.

Semoga Sayed Mudhahar Ahmad mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang, terutama bagi generasi Aceh Selatan yang kini tampak semakin lalai. Kebaikan dan dedikasi Sayed akan selalu dikenang sebagai teladan bagi bangsa ini.

Reporter: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News