Mengenal Budaya Tueng Dara Baro (Penerimaan Pengantin Perempuan) Dalam Tradisi Adat Aceh

Share

*Rizki Fadillah

Indonesia yang memiliki beragam suku dan budaya ternyata juga mempunyai aneka ragam adat istiadat dan tradisi dalam prosesi upacara pernikahan. Salah satunya suku Aceh yang merupakan sebuah daerah di Indonesia yang kaya akan perpaduan budaya, meliputi campuran dari budaya Arab, Eropa, Tionghoa serta Hindia.

Adat merupakan salah satu aturan hidup yang melingkupi semua aspek kehidupan masyarakat di Aceh termasuk di dalamnya yang masih dipertahankan dan dijunjung tinggi dalam bumi aceh adalah budaya pada prosesi pernikahan adat Aceh.

Adat pernikahan itu sendiri ialah aturan-aturan yang meliputi nilai dan proses pelaksanaan upacara perkawinan atau pernikahan yang dilakukan tahap demi tahap yang setiap tahapan pelaksanaannya diatur sedemikian rupa dengan berbagai aturan adat yang penuh dengan hikmah dan beragam filosofinya.

Di dalam Islam sangat dianjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan manusia akan berkembang, sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Pernikahan merupakan sesuatu yang disyari’atkan dalam agama Islam, sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk Nya. Al-Qur’an menyebutkan dalam Q.S. adz-zariyat 51:49 : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.

Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode bagaimana sebuah pernikahan itu harus dilaksanakan. Menurut para ulama, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar utama untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secaraumum di masyarakat tersebut. Sebaliknya jika tradisi tersebut tidak berlaku secara umum maka adat tersebut tidak dapat dijadiakan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya dilakukan tradisi tersebut.

Syarat lainnya yang terpenting tidak bertentangan dengan Nash, maksudnya ialah sebuah tradisi atau adat yang bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Al-Hadist. Semuanya dikembalikan )kepada adat-istiadat yang berlangsung pada daerah tersebut. Ada banyak serangkaian pada Prosesi adat pernikahan pada suku Aceh, salah satunya ialah adat Tueng dara baro.

Tueng dara baro, Secara bahasa upacara tueng dara baro bermakna penjemputan atau penerimaan pengantin perempuan (dara baro) di lingkungan keluarga pengantin laki-laki (linto baro).Nilai Filosofi yang terkandung dalam upacara tueng dara baro ini adalah sebagai simbol bahwa seluruh keluarga dan kaum kerabat linto baro berkenan menerima dara baro sebagai bagian dari keluarga besar linto baro. Jika acara tueng dara baro ini tidak dilakukan oleh keluarga linto, maka pihak keluarga dara baro akan merasa berkecil hati (weuh hate)seolah-olah anak gadis mereka tidak diterima di lingkungan keluarga suaminya.

Acara tueng dara baro merupakan upacara terakhir dalam prosesi pernikahan yang dilakukan pada hari ketujuh atau beberapa hari setelah acara intat linto (antar pengantin pria). Tueng dara baro yakni kebalikan dari woe linto (pulangnya mempelai pria) berupa penyambutan dara baro dikediaman linto baro yang prosesi tersebut dimulai dengan memberikan beragam macam kue tradisional khas Aceh, serta penukaran sirih oleh orang tua kedua belah pihak.

Dalam tradisi adat istiadat ini, aneka hidangan kue tradisional disiapkan oleh keluarga dara baro sebagai hantaran berupa wajeb (bubajek) dodol, Boi (kue berbentuk ikan khas aceh), Bungong kaye, Buleukat kuneng, manok panggang, beserta Meuseukat dan dodol sebagai kue yang tak pernah ketinggalan dalam jejeran hidangan pada saat dibawakannya hidangan untuk acara tueng dara baro. Kue ini diolah dengan berbagai macam bentuk ukiran khas Aceh. Ukiran khas ini beragam macam bentuk mulai dari bunga hingga Pinto Aceh.

Seiring dengan perkembangan di era sekarang ini banyak juga di temukan keluarga dara baro yang membawakan kue bolu hias (cake) sebagai salah satu idang bawaan saat acara tueng dara baro.

Kue-kue tersebut dimasukkan ke dalam talam besar atau dalong dan ditutupi dengan sangee yaitu semacam tudung saji yang dibuat dari daun nipah yang dilapisi dengan kain beragam warnanya serta dihiasi denga beraneka motif Aceh.

Proses dan Tatacara Tueng Dara Baro

Menurut sumber yang di kutip dari Majelis Adat Aceh (MAA) Pada acara tueng dara baro diadakan kenduri pesta juga, namun pada dasarnya tidak sebesar atau semeriah ketika kenduri intat linto(antar pengantin pria). Dara baro biasanya hanya diantar oleh kaum wanita saja dengan membawa bahan-bahan adat ke rumah mertuanya. Pada acara tersebut berlaku beberapa adat seperti membawa kue peunulang, seumah mak tuan, dan temeutuek.

Pada hari pelaksanaan kegiatan tersebut, dara baro dikenakan baju adat pengantin lengkap dengan segala perhiasannya. Perhiasan yang dipakai di kepala adalah tusuk sanggul (ada beberapa macam), patham dhoi (mahkota), anting-anting, prik-prik (ayun gumbak) yang letaknya bergantung di rambut kiri-kanan dekat telinga dan bunga hidup melati / seulanga. Kemudian untuk hiasan leher : yang pertama klah taku, baru kemudian di leher digantungkan berbagai atribut yang kadang-kadang sampai menutup dada bagian atas seperti boh ru, talo gulei, kanceng lhee, manek dirham, bing meuh dan banyak lagi jenis perhiasan yang bermotif Aceh. Makanya hiasan leher sangat banyak.

Untuk bagian badan, di atas baju tradisional Aceh, disilangkan di muka dan belakang perhiasan simplah, yaitu lempengan-lempengan bersegi enam yang banyaknya sampai 36 keping. Kemudian pada lengan ada yang namanya ajimat meuraket dan ikai. Sementara, di pergelangan tangan dipakaikan perhiasan gelang dengan nama sawek, gelang pucuk reubung dan beberapa gelang lainnya. Pada jari jemari kiri kanan dipakaikan cincin. Kemudian dipakaikan tali pinggang sampai 10 ruas dan di tengahnya dipasang capeung yang agak besar. Pada pergelangan kaki dipakaikan sepasang gelang kaki canei intan. Sebelum berangkat menuju rumah mertuanya, terlebih dahulu dara baro melakukan seumah bak tuoet (sujud di lutut) kedua orang tuanya. Seumah bak teuoetini mengandung makna memohon izin dan restu pada kedua orang tuanya untuk berangkat menuju ke rumah sang suami.

Mereka dijemput oleh keluarga linto di depan pintu pagar rumah sambil membawa bate ranup (cerana sirih) dan payung. Dara baro dipeusijeuk dan kemudian dituntun menuju pelaminan, sementara rombongan dara baro makan khanduri yang telah disediakan. Namun dara baro juga ikut makan bersama rombongan. Selanjutnya dilaksanakan acara seumah tuan dan kepada dara baro diberikan uang seumah tuan.

Kemudian dara baro dituntun ke dapur untuk berkenalan dengan dapur, ibarat rumah sendiri, dara baro diminta pegang kanot sira (tempat garam), yang melambangkan pandai memasak makanan bagi keluarga, bisa merasakan kekurangan suami dalam hal belanja dan kebutuhan dapur.

Lalu dara baro pegang empang breuh (karung beras) yang mengandung filosofi bisa mengatur urusan dapur dengan hemat, dan tetap memperhatikan pangan keluarga.

Kemudian dituntun kembali ke rumah bagian atas untuk acara berkenalan dengan keluarga besar linto secara lebih dekat. Mulai dari garis ibu, ayah atau bapak sampai anak menantu yang pertama dan seterusnya.

Setelah acara perjamuan makan selesai, makan dilanjutkan dengan prosesi persijuek atau peusunteng dara baro. Peusunteng dara baro mula-mula dilakukan oleh ibu mertua dan pada saat yang bersamaan dara baro melakukan seumeumah ibu mertuanya. Pada saat itu pula ibu mertua dara baro memberikan teumeuntuk yang juga diikuti dengan penyematan cicin pada jari manis dara baro sebagai hadiah seuneurah jaroe dara baro.

Kemudian dara baro dituntun ke dapur untuk berkenalan dengan dapur, ibarat rumah sendiri, dara baro diminta pegang kanot sira (tempat garam), yang melambangkan pandai memasak makanan bagi keluarga, bisa merasakan kekurangan suami dalam hal belanja dan kebutuhan dapur.

Lalu dara baro pegang empang breuh (karung beras) yang mengandung filosofi bisa mengatur urusan dapur dengan hemat, dan tetap memperhatikan pangan keluarga.
Kemudian dituntun kembali ke rumah bagian atas untuk acara berkenalan dengan keluarga besar linto secara lebih dekat. Mulai dari garis ibu, ayah atau bapak sampai anak menantu yang pertama dan seterusnya.

Setelah acara prosesi semua selesai termasuk peusijuek atau ritual doa kebaikan bagi kedua mempelai. Dara baro diharuskan menginap dirumah mertuanya, dan biasanya dara baro menginap dirumah mertuanya selama tiga hari tiga malam. Setelah melewati tiga hari menginap di rumah mertuanya, dara baro dijemput pulang kembali ke gampongnya oleh beberapa orang tokoh adat perempuan gampongnya dan pihak keluarganya. Pada saat penjemputan itu biasanya kepada rombongan yang menjemput dara baro itu akan disajikan jamuan makan oleh pihak keluarga linto.

Saat dara baro kembali ke kampungnya, dahulu ada juga kebiasaan pemberian hadiah kepada dara baro oleh mertuanya. Biasanya jika mertuanya memiliki kemampuan telah menyiapkan hadiah kepada menantunya berupa seekor lembu atau kerbau betina. Namun ada juga yang memberi hadiah berupa seekor kambing betina atau sepasang (sijudo) ayam. Disamping pemberian berupa lembu atau kerbau betina, tidak jarang juga kepada dara baro diberikan hadiah berbagai benda-benda perlengkapan rumah tangga seperti piring, gelas dan perkakas dapur lainnya.

Begitu banyak adat istiadat yang ada pada suku Aceh, dan kita sebagai masyarakat Aceh sudah seharusnya semua aturan adat yang sudah ada harus kita pertahankan bersama dengan sebaik-baiknya agar tetap berlanjut di tengah para masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman yang akan datang. []

Penulis ini adalah Mahasiswi Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Langsa. Sebagai Peserta KPM Tematik Berbasis DR Medsos 2021

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News