Melacak Jejak Sejarah Aceh di Bulan Mei

Share

NUKILAN.id | Banda Aceh – Mei, bulan kelima dalam kalender Masehi, menjadi saksi bisu berbagai peristiwa penting dalam sejarah Aceh. Dari masa ke masa, bulan ini menyimpan cerita heroik, pengkhianatan, peperangan, hingga upaya damai yang terus mengiringi perjalanan Serambi Mekkah. Meskipun banyak yang melupakan, peristiwa-peristiwa ini tetap dikenang sebagai bagian penting dari sejarah panjang Aceh yang penuh liku.

Setelah melakukan penelusuran digital dan merujuk berbagai referensi, Nukilan.id kali ini menyajikan berbagai peristiwa penting yang terjadi pada bulan Mei dalam sejarah Aceh. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan sejarah para pembaca dan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang perjalanan Aceh.

Salah satu peristiwa heroik yang layak dikenang adalah kegagalan serangan Portugis di Pedir pada tahun 1521. Armada laut Portugis di bawah pimpinan Jorge de Brito berupaya menyerang Pedir, namun upaya ini berhasil digagalkan berkat bantuan dari 1.000 tentara dan enam gajah perang dari Kerajaan Aceh Darussalam. Pimpinan armada Portugis, Jorge de Brito, tewas dalam pertempuran ini. Kisah ini menjadi simbol kegigihan dan keberanian Aceh dalam menghadapi ancaman asing, sekaligus menegaskan peran strategis Aceh di Selat Malaka.

Pada 12 Mei 1869, Sultan Mansyur Syah memberi gelar kepada seorang Tionghoa bernama Ang Pi Auw yang berhasil mendekati Sultan dengan menyamar sebagai mualaf. Dia diberi nama baru, Chik Putih, dan diangkat sebagai Panglima Setia Bakti. Namun, belakangan Ang Pi Auw kembali berpihak kepada Belanda dan berperan dalam penyerangan Belanda ke Idi pada 7 Mei 1873. Peristiwa ini menggambarkan kompleksitas politik dan diplomasi di Aceh, serta bagaimana intrik dan pengkhianatan mewarnai perjuangan melawan kolonialisme.

Mei juga menjadi bulan penuh pertumpahan darah selama masa kolonial Belanda. Pada 11 Mei 1904, Kampung Penosan diserang oleh Belanda, menewaskan 191 pria dan 95 perempuan serta anak-anak. Peristiwa serupa terjadi di Kampung Tempeng pada 18 Mei 1904, di mana 125 pria dan 51 perempuan serta anak-anak menjadi korban. Serangan-serangan ini menunjukkan betapa brutalnya upaya Belanda dalam menaklukkan Aceh, serta bagaimana masyarakat Aceh tetap gigih melawan penjajahan meski harus menelan banyak korban jiwa.

Pada masa pendudukan Jepang, Mei 1943 menjadi titik awal pembentukan satuan Heiho di Aceh. Jepang merekrut pemuda lokal untuk memperkuat pertahanan di Aceh, yang kemudian ikut serta dalam latihan militer dan bergabung dengan tentara reguler. Pasukan Heiho ini menunjukkan bagaimana pendudukan Jepang mempengaruhi dinamika militer di Aceh dan membentuk struktur pertahanan yang kelak berperan dalam masa perjuangan kemerdekaan.

Setelah Indonesia merdeka, Aceh terus menjadi daerah yang penuh gejolak. Pada 16 Mei 1949, Tgk Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengantisipasi serangan Belanda. Namun, ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang tidak memenuhi aspirasi Aceh untuk menjalankan pemerintahan berlandaskan syariat Islam mendorong Tgk Daud Beureueh mendeklarasikan perlawanan melalui bendera Darul Islam.

Dekade berikutnya, pada 20 Mei 1977, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) didirikan oleh Hasan Tiro dengan dukungan dari tokoh-tokoh Aceh yang tidak puas dengan kondisi politik dan sosial. GAM menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintahan Indonesia dan menuntut kemerdekaan Aceh. Gerakan ini memperpanjang daftar konflik bersenjata di Aceh yang terus berlangsung hingga penandatanganan kesepakatan damai di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Tragedi Simpang PT KKA pada 2 Mei 1999 menjadi contoh lain dari kekerasan yang terjadi di Aceh. Unjuk rasa damai berujung pada penembakan membabi buta oleh tentara, menewaskan 65 orang dan melukai 125 lainnya. Insiden ini menambah daftar panjang pelanggaran HAM di Aceh dan menegaskan pentingnya upaya damai untuk menghentikan kekerasan.

Mei 2003 menandai dimulainya status darurat militer di Aceh, yang diumumkan oleh Presiden Megawati. Ribuan tentara dan polisi dikerahkan untuk meredam konflik, namun hanya memperpanjang penderitaan rakyat Aceh. Status ini baru dicabut pada Mei 2005, setelah gempa bumi dan tsunami mengguncang Aceh, membuka jalan bagi kesepakatan damai di Helsinki.

Sejarah Aceh di bulan Mei adalah cerita tentang perjuangan, pengorbanan, dan harapan. Peristiwa-peristiwa ini tidak hanya menjadi bagian dari catatan sejarah, tetapi juga pelajaran berharga tentang keteguhan dan keinginan untuk mencapai kedamaian. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari sejarah panjang ini, dan terus berupaya menjaga perdamaian dan keadilan di Aceh serta seluruh Indonesia.

Reporter: Akil Rahmatillah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News