Mahasiswa Gugat Syarat Domisili Caleg, Ini Respons Pakar Politik

Share

NUKILAN.id | Jakarta – Sejumlah mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Stikubank Semarang, baru-baru ini menggugat Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar syarat pencalonan anggota legislatif diubah, sehingga hanya warga yang telah berdomisili di daerah pemilihan (dapil) yang bisa mencalonkan diri.

Berdasarkan informasi di situs MK, Senin (3/3/2025), gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 7/PUU-XXIII/2025. Para pemohon menyoroti Pasal 240 ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang saat ini mengatur bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hanya perlu bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gugatan mereka berfokus pada Pasal 240 ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang saat ini berbunyi:

(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
c. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mahasiswa tersebut meminta agar pasal itu diubah menjadi:

“Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia asli dan harus memenuhi persyaratan:
c. Bertempat tinggal di daerah pemilihan tempat mencalonkan diri sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum penetapan calon, dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP).”

Menanggapi gugatan ini, Nukilan.id menghubungi Felia Primaresti, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute. Menurut Felia, gugatan ini menarik karena menyentuh aspek representasi politik dan hubungan antara caleg dengan daerah pemilihannya. Ia menjelaskan bahwa ada dua perspektif utama dalam melihat isu ini.

“Pertama, dari sisi idealisme demokrasi, mahasiswa yang mengajukan gugatan ingin memastikan bahwa anggota legislatif benar-benar memahami kebutuhan daerah yang mereka wakili,” kata Felia kepada Nukilan.id pada Minggu (9/3/2025) lalu.

Felia menilai bahwa argumentasi mahasiswa cukup masuk akal. Jika seorang caleg telah tinggal lama di dapilnya, mereka akan lebih memahami permasalahan setempat serta memiliki ikatan emosional dengan masyarakat.

“Ini bisa mencegah praktik, di mana politisi dari luar tiba-tiba masuk ke suatu daerah hanya untuk kepentingan elektoral,” tambahnya.

Fenomena ini, menurutnya, sering kali terjadi dalam politik Indonesia, di mana calon legislatif datang ke dapil hanya saat pemilu tanpa benar-benar membangun hubungan dengan konstituen. Namun, di sisi lain, Felia mengingatkan bahwa ada risiko lain yang perlu diperhatikan.

“Namun, di sisi lain, ada risiko bahwa aturan ini justru mempersempit hak politik warga negara,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa membatasi pencalonan hanya untuk mereka yang sudah tinggal sekurang-kurangnya lima tahun di dapil tertentu bisa bertentangan dengan prinsip keterbukaan politik. Sistem politik di Indonesia berbasis partai, di mana partai menentukan strategi pencalonan berdasarkan faktor elektabilitas, bukan sekadar domisili.

“Beberapa politisi juga punya pengalaman atau kapasitas yang relevan meskipun bukan asli dari dapil tersebut,” jelasnya.

Dengan demikian, ada kemungkinan calon dari luar dapil justru memiliki keahlian atau wawasan yang dapat berkontribusi bagi daerah yang mereka wakili.

Dari perspektif hukum, Felia menilai bahwa perubahan ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ia menilai hal ini bisa menjadi polemik besar dalam ranah hukum dan politik nasional.

“Jika diterapkan, bisa muncul perdebatan lebih lanjut tentang apakah aturan ini menghambat hak konstitusional seseorang untuk dipilih,” ujarnya.

Secara keseluruhan, Felia menilai bahwa wacana ini menarik untuk dibahas lebih lanjut, terutama dalam mencari keseimbangan antara kualitas representasi dan hak politik yang lebih luas.

“Mungkin solusinya bukan sekadar soal domisili, tapi memperketat mekanisme seleksi caleg oleh partai, misalnya dengan menekankan rekam jejak kerja mereka di dapil yang ingin mereka wakili,” pungkasnya.

Dengan adanya gugatan ini, perdebatan mengenai mekanisme pencalonan legislatif diperkirakan akan terus bergulir, mengingat isu representasi dan hak politik merupakan dua aspek fundamental dalam demokrasi Indonesia. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News