Monday, May 6, 2024

Lanskap Poros Politik Pilkada Aceh 2024: Tantangan Pluralisme Elit dan Dinamika Demokrasi

NUKILAN.id | Banda Aceh – Sorotan publik Aceh terus tertuju pada dinamika poros politik menjelang Pilkada 2024 di provinsi ini. Ulasan poros pengusung bakal calon pemilihan kepala daerah (Pilkada) sudah marak diperbincangkan di publik Aceh.

Sorotan masyarakat Aceh terus tertuju mencermati sekaligus prediksi seperti apa landskap poros politik Pilkada 2024 di Provinsi Aceh. Pembentukan poros sangat tergantung kekuatan partai politik maupun individu di arena kekuasaan yang memiliki agenda kepentingan dan agenda masing-masing.

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Nukilan.id, Aryos Nivada, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala mengungkap beragam perspektif mengenai kemungkinan konfigurasi poros politik dalam kontestasi mendatang.

Dalam analisisnya, Aryos menggarisbawahi bahwa Aceh memiliki keanomalian tersendiri dalam hal poros politik dalam dinamika politik lokal, khususnya di Pilkada 2024. Sebab Aceh bisa terbagi ketiga poros ke empat poros politik berkemungkinan terjadi.

“Ilustrasinya poros pertama kalangan partai nasional (parnas), selanjutnya poros dari kalangan partai lokal, kemudian kolaborasi parnas dan parlok, dan terakhir poros jalur perorangan, independent,” ungkap Aryos kepada Nukilan.id pada Jumat (26/4/2024).

Hal tersebut ungkap Aryos berdasarkan pengalaman dari tiga kali Pilkada Aceh pasca konflik, telah terjadi hal unik perlakuan politik lokalnya. Saat Pilkada 2006 berlangsung hanya dua poros politik yakni dari parnas dan perorangan. Masuk di era Pilkada 2012 terjadi tiga poros politik yaitu parnas, parlok dan perorangan. Pilkada 2017, dimana poros terbentuk kombinasi antara parnas dan parlok, parnas, dan perorangan.

“Fakta saat Pilkada 2006 berlangsung hanya dua poros politik yakni dari parnas dan perorangan. Pilkada 2012 terjadi tiga poros yaitu parnas, parlok dan perorangan. Hal menarik ketika Pilkada 2017, dimana poros terbentuk kombinasi antara parnas dan parlok, parnas, dan perorangan,” ujar Aryos.

Setelah memahami jejak sejarah politik lokal Aceh di Pilkada, memunculkan tanda tanya besar bagaimana landskap poros Pilkada Aceh 2024? Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu, Aryos berpendapat bahwa wajib memahami arah dan gerak partai politik di Aceh hasil Pemilu 2024.

Berdasarkan peta parlemen DPRA terbaru hasil pemilu 2024, rincian partai memiliki kursi banyak yakni Partai Aceh dominan sebanyak 20 dari 81 kursi, disusul Golkar 9 kursi, PKB 9 kursi, Nasdem 10 kursi. Atas sajian data itu, Menurut Aryos, hanya Partai Aceh yang mampu melanggeng tanpa beban mengusung kandidatnya di kontestasi Pilkada 2024.

“Sedangkan partai lain harus berjibaku membangun komitmen berkolaborasi mencukupi syarat 15% sebanyak 13 kursi harus terpenuhi mengusung pasangan kandidat di Pilkada,” ungkap Aryos.

Menurut Aryos, meski beberapa partai nasional maupun lokal dapat mengusung calon dengan suara sah, namun catatan pentingnya itu diluar kompetitor jalur perorangan yang ikut serta nantinya. Ia berpendapat, bisa saja tidak menutup peluang pengalaman serupa di Pilkada 2012 terulang kembali, dimana porosnya Parnas, Parlok dan perorangan. Atau malahan sebaliknya irisan kolaborasi tetap terbentuk antara parnas dan parlok.

“Misalkan Nasdem dengan beberapa partai bersatu untuk memenuhi syarat mengusung kandidat, sama halnya dengan Demokrat, Golkar, dan PKB berlomba-lomba membentuk poros sendiri. Itu pun ada catatan khususnya harus memiliki pasangan calon yang diusung di Pilkada 2024,” kata Aryos.

Masing-masing poros politik tentunya akan berusaha memperoleh dukungan dan legitimasi dari masyarakat dengan mempromosikan visi, program, dan kandidat yang mereka dukung. Persaingan antara poros politik ini sering kali menjadi sorotan utama dalam kontes politik, mempengaruhi narasi dan dinamika kampanye serta akhirnya hasil dari pemilihan itu sendiri.

Menurut analisis Aryos, keuntungan politik tak hanya tentang persaingan terbuka, namun juga mengarah pada pragmatisme politik yang membuat partai politik berperan sebagai partai kartel. Dalam konteks ini, partai-partai menjelma menjadi agen negara, memanfaatkan sumber daya negara untuk mempertahankan eksistensi mereka.

“Pragmatisme inilah yang pada akhirnya menjadikan ideologi bukanlah faktor pengikat dalam membangun sebuah koalisi, namun hanyalah untuk memaksimalkan kekuasaan,” ucap Aryos blak-blakan.

Pilkada Aceh 2024, menurut Aryos akan menjadi panggung utama bagi persaingan sengit antara poros politik yang berkompetisi memperebutkan kursi kekuasaan. Dalam dinamika pesta demokrasi ini, konfigurasi poros politik telah menjadi penentu utama dalam stabilitas politik dan keamanan wilayah ini.

Aryos mengungkapkan bahwa, Pilkada Aceh 2024 adalah manifestasi dari pluralisme elit, di mana persaingan ini menjadi ajang berbagai kelompok elit saling beradu strategi untuk memperoleh kepercayaan dan dukungan dari masyarakat. Dengan mengusung paket jagoan masing-masing, poros politik menampilkan ragam visi dan misi yang mereka tawarkan kepada publik.

“Kita dapat memahami bahwa lanskap poros politik dalam Pilkada Aceh 2024 mencerminkan dinamika pluralisme politik dan persaingan elit dalam konteks sistem multipartai. Dalam hal ini, analisis terhadap poros politik menjadi penting dalam memahami dinamika politik lokal dan perkembangan demokrasi di Aceh,” tutup Aryos.

Sebagai catatan, memahami dinamika poros politik di Pilkada Aceh 2024 perubahan dan pergeseran dalam poros politik dapat menjadi cermin dari perubahan dan perkembangan politik yang terjadi dalam masyarakat Aceh, memperkaya pemahaman kita tentang proses demokratisasi dan politik lokal di Indonesia.

Reporter: Akil Rahmatillah

spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Must Read

- Advertisement -spot_img

Related News

- Advertisement -spot_img