NUKILAN.id | Jakarta — Angka golput yang cukup tinggi kembali menjadi perhatian dalam Pilkada Serentak 2024 yang digelar pada 27 November lalu. Fenomena ini memunculkan pertanyaan, apakah golput dapat menjadi ekspresi kekecewaan yang efektif dalam sistem demokrasi Indonesia?
Hilarius Bryan Pahalatua Simbolon, Koordinator Lab Demokrasi, menyampaikan pandangannya terkait hal ini. Ia menilai, gerakan golput belum sepenuhnya efektif sebagai bentuk partisipasi publik dalam sistem demokrasi.
“Dalam konteks dulu dan kini, tidak sepenuhnya gerakan ini menjadi efektif karena bentuk partisipasi publik melalui golput ini belum sepenuhnya diakomodir oleh sistem kepemiluan kita. Artinya, dalam aspek regulasi, golput ini belum diakui sepenuhnya untuk mengakomodir suara atau aspirasi masyarakat,” jelas Hilarius kepada Nukilan.id, Sabtu (30/11/2024).
Ia menambahkan, efektivitas golput akan lebih terlihat jika sistem pemilu mampu mengakomodasi opsi ini, seperti menyediakan kolom khusus untuk golput. Dengan begitu, ekspresi kekecewaan terhadap calon yang ada dapat memiliki dampak yang lebih nyata pada sistem demokrasi.
“Misalnya dengan kotak atau kolom golput disediakan, maka ekspresi kekecewaan yang ditimbulkan dari golput itu jauh lebih bisa berdampak efektif pada sistem kerja demokrasi kita,” katanya.
Dalam Pilkada Serentak 2024, sebagian masyarakat memilih tidak menggunakan hak pilihnya, baik karena kekecewaan terhadap para calon maupun berbagai alasan lain. Namun, tanpa mekanisme yang jelas untuk mengakomodasi suara golput, dampak dari aksi ini masih terbatas pada simbolis belaka. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah